Setelah enam tahun di Fakultas Filsafat dan tak kunjung lulus jua, saban tahun, saya melihat sebuah pola yang ajeg. Pola ini merupakan kesempatan bekerja pasca-lulus dari fakultas yang katanya paling suram jika membicarakan masa depan.
Pola pertama adalah mereka yang waton entuk pekerjaan. Bodo amat perihal jabatan, yang penting bisa kerja. Banyak anak filsafat kontemporer ini yang ketika lulus kuliah, jadi pegawai bank. Banyak yang bilang ini merupakan degradasi lulusan jurusan filsafat.
Tapi, para cerdik cendekia sekalian mungkin luput satu hal, bagi mahasiswa lulusan filsafat, dapat kerjaan saja udah sujud syukur alhamdulillah. Tapi sekalinya jadi, lulusan filsafat memang jadi beneran. Sebut saja Puthut EA, Dea Anugrah, Eka Kurniawan, hingga Beni Satryo. Tapi, kalian harus paham satu hal, nggak semua lulusan filsafat bernasib mujur seperti Puthut EA.
Pola kedua, seperti apa yang sudah kalian duga sebelumnya, yakni adalah mereka yang meneladani sikap sempurna Socrates ketika menghadapi kaum Sofis—atau nama lainnya ya nganggur dan mbacot dari satu cakruk ke cakruk lainnya.
Sejak pandemi ini, satu pola lagi jebul muncul dengan lantang ke permukaan. Yakni mereka yang memutuskan untuk jadi peternak lele saja pasca-mudik ke kampung halaman. Saya salah satu contohnya, walau belum lulus, saking hopeless-nya, saya sudah menyiapkan satu kolam berisikan bibit lele dan sudah panen sebanyak enam kali.
Ibu saya pernah ngendikan begini, “Mending masuk sekolah perawat, ketimbang masuk filsafat.” Saya yang nggleleng mengatakan bahwa saya bisa membuktikan, di filsafat saya bakalan jadi orang. Enam tahun berlalu, saya pun membuktikan semua itu. Ya, saya membuktikan bahwa menuruti apa kata ibu, nggak ada salahnya juga.
Ada satu guyonan di Fakultas Filsafat yang sepertinya menjalar dari tahun ke tahun. Begini, “Anak lain, ketika lulus dan nganggur, bakalan stres. Kalau anak filsafat beda, karena sejak masuk kuliah, mereka sudah disiapkan untuk jadi pengangguran.”
Lulusan filsafat, katanya sih akan menjadi lulusan yang paling tahan mental perihal pengangguran. Ha gimana nggak tahan mental, Buooos, sejak open recruitment KKN saja sudah ada woro-woro, “Daftarkan segera, segala jurusan—kecuali jurusan filsafat.”
Saya pun bertanya, kenapa jurusan filsafat nggak boleh daftar? Jawaban mereka logis juga, katanya, “Kita mau cari anggota KKN yang kerja, bukan hanya sekadar merenung memikirkan nasib bangsa tanpa eksekusi yang nyata.” Buajinduuul.
Setelah dipikir masak-masak, selain jadi penulis kondang, lulusan filsafat memang cocok jadi peternak lele. Jika dibuat klasemen, posisi satu jelas penulis. Posisi kedua sastrawan. Posisi ketiga boleh lah jadi PNS. Nah, posisi keempat adalah peternak lele.
Menjadi peternak lele itu merupakan sikap kontemplatif yang adiluhung. Dan lulusan filsafat paham betul medan terjal itu. Louis O. Kattsoff, pengarang buku Pengantar Filsafat yang menjadi kitab bagi maba-maba filsafat pernah bilang, kegiatan kefilsafatan adalah merenung.
Kolam lele yang mambunya sebelas dua belas dengan telek lencung, bisa jadi medan pelarungan pemikiran untuk merenung. Merenung ini bukan ngalamun lho, ya. Ha nek ngalamun, di cakruk saja beda. Tetapi, merenung itu lebih kepada menyusun sistem pengetahuan dan memahami dunia di mana kita berpijak.
Ketimbang di suasana singup perpustakaan filsafat yang parfumnya bikin pening kepala, perenungan ini lebih syahdu jika dilakukan di pinggiran kolam lele. Ketika melihat lele, ada semacam reflektif yang paripurna, juga mengubah konsep kesadaran luar biasa perihal apa itu alam semesta.
Hegel misalnya, menyusun sistem kefilsafatannya dengan berdialektika. Yakni saling bertukar pikiran serta kritik dari orang lain. Atau Berkeley dengan sebuah sistem berupa berdialog. Nah, ini saatnya bagi para mereka peternak lele yang merasa jadi pecundang lulusan filsafat untuk membuat sistem kefilsafatan yang baru; bermonolog di depan para lele.
Lho, saya nggak bercanda. Menurut saya, para lele ini nggak lebih berengsek dari kawan-kawan di kelasmu yang hobi bertanya saat presentasi, namun goblok ketika berdiskusi. Para lele ini lebih tenang, licin, dan sigap jika kalian beri pelet.
Menurut saya lele-lele ini jauh lebih memberikan pelajaran. Setidaknya, ketimbang para dosen yang hobinya setengah semester pertama baca PPT, lantas setengah semester lagi nyuruh mahasiswa presentasi. Lele-lele ini lebih ulet dalam menyusun suatu bagan yang konsepsional. Arti lain, lele-lele yang pating kecupak di kolam ini memberikan kesadaran generalisasi dan abstraksi dalam pikiran kalian sendiri.
Lha nek dosen hanya baca PPT atau rencangmu yang presentasi, rencana kerja kefilsafatan apa yang kalian dapatkan kecuali angop dan ngantuk? Lele-lele jauh lebih perhatian. Ketika kalian sedang nongski, para lele ini akan riuh membuka mulutnya dan ngibas-ngibas kumisnya hanya untuk mendengarkan kalian sambat babagan urip.
Mata kuliah apa wes yang paling wangun yang diajarkan di fakultas filsafat? Marxisme? Bahkan sebuah paham yang kelewat kuno ini bisa kalian adaptasi ketika memutuskan untuk menjadi peternak lele. Coba saja pandang wajah lele-lele kalian, lalu rasakan betapa tersiksanya hidup umpek-umpekkan di dalam kolam lele yang sempit dan kecil itu.
Hanya mahasiswa jurusan filsafat yang mau memikirkan nasib lele hingga sebegitu dalamnya. Mahasiswa perikanan juga sih, tapi biarkan artikel ini jadi panggung anak jurusan filsafat.
Bagi kalian yang mau masuk jurusan filsafat, jangan ragu lagi. Stigma menjadi atheis sekarang sudah bergeser menjadi lulusan terbaik untuk ternak lele. Saya yakin kok, semisal di Prancis sana ada ikan indie sejenis lele, alih-alih mbribik Simone De Beauvoir, Jean-Paul Sartre pasti bakalan muntir jadi filsuf eksistensialis dan memilih untuk fokus ke dunia karier ternak lele.