Rasa-rasanya iklim kehidupan di Indonesia memang benar-benar memberikan notifikasi kencang bahwa jurusan BK mendapat panggilan penting. Sebab, ditimbang-timbang, hampir sebagian besar warga negeri ini sering dibuat pusing lebih dari tujuh keliling oleh tingkah polah petinggi negaranya. Ada yang tiba-tiba bikin aturan aneh, ada yang rajin pidato tapi isinya kosong melompong. Ada pula yang sibuk klarifikasi sana-sini tanpa pernah merasa salah. Kalau bukan karena mental baja, mungkin sudah banyak rakyat yang antre konseling tiap Senin pagi.
Jurusan BK seolah ditakdirkan bak juru selamat di tengah suasana semrawut semacam ini. Bayangkan, rakyat tiap hari disuguhi drama politik, kena macet berjam-jam, harga sembako naik-turun seperti roller coaster. Sementara solusi yang datang sering kali cuma berupa kalimat sakti: “Sabar, nanti juga terbiasa.”
Sabar matamu. Bukannya terbiasa, justru makin lelah lahir batin.
Dari sini BK bukan hanya jurusan kuliah yang membahas teori konseling, tapi juga cermin betapa bangsa ini butuh ruang aman untuk waras bersama.
Kenapa harus BK?
Harus BK dong. Loh ini bukan maksain, tapi coba dipikir. Psikolog sama Psikiater itu penting, iya, tapi mereka mainnya di level klinis. Artinya orang sudah parah dulu, sudah sakit dulu, baru ditangani. Lah, terus yang tiap hari kepalanya mumet karena kerjaan nggak kelar, dompet makin tipis, atau bos hobinya rapat dadakan, itu siapa yang ngurus? Masa harus langsung dibawa ke psikiater? Keterlaluan kalau begitu.
BK ini hadir biar orang nggak jatuh. Kasarnya, psikolog sama psikiater itu tukang tambal ban, sedangkan BK itu yang ngajarin cara nyetir biar ban nggak bocor tiap minggu. Jadi jangan diremehin. Wong justru di kondisi semrawut kayak Indonesia ini, BK lebih relevan daripada motivator instan di YouTube yang modal kata “jangan menyerah” doang.
Lagian, jangan salah, BK itu bukan seperti yg orang bayangkan hanya sebatas tempat orang “curhat-curhatan”. BK punya metode, punya teori, bahkan punya strategi pencegahan yang sistematis. Di BK mereka belajar bagaimana orang bisa adaptif menghadapi masalah, bukan sekadar ngasih wejangan basi macam “ya sudah, sabar aja.” Justru BK ini yang paling sering nyemplung ke masalah sehari-hari, dari anak sekolah yang bingung jurusan sampai orang dewasa yang kehilangan arah hidup.
Kalau semua dilempar ke psikolog dan psikiater, ya ampun, negara bisa-bisa kekurangan tenaga medis jiwa.
Makanya, relevansi BK di Indonesia itu jelas banget. Hidup di negara yang hobi kasih kejutan tiap hari, kita butuh lebih banyak pagar mental daripada tukang tambal. Psikolog dan Psikiater tetap penting, tapi BK-lah yang langsung menyambut ketika orang mulai goyah, yang ngajari kita cara tetap jalan lurus meski jalannya berlubang. Jadi, kalau ada yang masih meremehkan BK, mungkin dia belum sadar aja betapa rapuhnya kita hidup di negara semrawut ini.
Jangan bilang mental warga Indonesia baik-baik saja
Kalau ada yang masih ngeyel bilang kesehatan mental rakyat Indonesia itu baik-baik saja, coba tengok datanya. Lebih dari 19 juta orang berusia 15 tahun ke atas mengalami gangguan mental menurut RISKESDAS 2018, angka yang setara dengan 11% populasi dewasa. Di kalangan remaja, survei nasional I-NAMHS (2021) malah bikin kening berkerut: 1 dari 3 remaja (34,9%) melaporkan gejala masalah mental, dan sekitar 2,45 juta di antaranya sudah terdiagnosis gangguan mental seperti kecemasan dan depresi. Namun ironisnya, hanya 2,6% dari mereka yang benar-benar sempat ditangani profesional dalam setahun terakhir. Jadi, bukan cuma rakyatnya yang pusing, tapi sistemnya pun bikin tambah pening.
Lebih miris lagi, praktik pasung masih terjadi di negeri yang katanya sudah modern. Laporan Human Rights Watch menyebutkan ada sekitar 18.000 orang masih dipasung, dan 57.000 orang pernah mengalaminya. Padahal, pasung itu sudah dilarang sejak 1977.
Masalahnya bukan sekadar budaya, tapi juga pemerintah yang cuma kasih jatah kurang dari 1% dari anggaran kesehatan untuk mental health,. Lengkap dengan fasilitas yang compang-camping: hanya 48 rumah sakit jiwa se-Indonesia dan sekitar 800 psikiater untuk melayani lebih dari 270 juta penduduk. Bayangin, satu psikiater harus ngurus ratusan ribu orang.
Kondisi ini nggak bisa dilepas dari bagaimana negara memperlakukan warganya. Kebijakan yang berubah tiap minggu, tekanan ekonomi yang nggak pernah stabil, dan pelayanan publik yang bikin stres adalah bahan bakar tambahan buat gangguan mental. Bahkan di kalangan tenaga kesehatan sendiri, survei Nusantara Sehat menunjukkan 7,1% mengalami depresi dan 10% mengalami stres psikologis saat ditugaskan di daerah terpencil.
Jadi kalau hari ini rakyat gampang meledak di media sosial atau gampang putus asa dengan hidup, jangan buru-buru salahin mental individunya. Kadang biang keroknya ada di sistem yang sejak awal bikin orang makin rapuh.
Prospek BK
Jangan salah, lulusan BK itu kerjaannya nggak cuma motong rambut panjang anak sekolah. Prospeknya luas banget, hampir di semua lini. Di sekolah dan kampus, mereka jadi konselor yang bisa membimbing murid atau mahasiswa menghadapi stres akademik dan pilihan karier. Di rumah sakit, mereka masuk ke tim Binroh atau konseling pasien supaya pemulihan fisik juga diiringi kesehatan mental. Terakhir, di lapas, BK adiksi hadir untuk membimbing narapidana mengelola perilaku dan adaptasi sosial.
Selain itu, lulusan BK juga bisa jadi penyuluh di Kemenag, membimbing masyarakat soal problem kehidupan sehari-hari, atau konselor perusahaan, membantu karyawan menghadapi stres dan burnout. Ada pula yang bekerja di program sosial dan komunitas, mengelola kesehatan mental masyarakat, serta menjadi konselor daring atau psikopedagogik di platform digital. Dengan kata lain, prospek BK nyaris tak terbatas: pendidikan, kesehatan, sosial, keagamaan, perusahaan, hingga ruang digital—semua bisa jadi arena bagi mereka beraksi.
Jurusan yang nggak cuma ngedukung individu, tapi bangsa
Kalau setiap individu sudah memiliki ketahanan mental yang baik, secara konsekuensi logis, dampaknya akan terasa skala besar. Orang-orang yang tangguh secara psikologis cenderung lebih mampu menghadapi tekanan pekerjaan, mengelola konflik sosial, dan mengambil keputusan secara rasional, sehingga produktivitas meningkat.
Di tingkat komunitas, ketahanan mental individu menciptakan lingkungan sosial yang lebih stabil, mengurangi konflik, kekerasan, dan perilaku destruktif. Jika fenomena ini meluas, secara nasional akan terbentuk populasi yang adaptif, resilien, dan mampu mengantisipasi tekanan sosial-politik maupun ekonomi, sehingga kesehatan mental dan kesejahteraan masyarakat meningkat secara signifikan.
Dengan kata lain, BK bukan sekadar membina individu, tapi berpotensi menjadi instrumen penting dalam pembangunan sumber daya manusia dan kualitas hidup bangsa.
Komunitas konselor yang saling membantu
Tidak seperti jurusan lain yang biasanya berhenti hanya sampai mendapat sertifikat, BK punya rumpun pegiatnya sendiri. Lulusan yang menghadapi tantangan baru—entah itu program konseling di sekolah, perusahaan, atau komunitas daring—bisa langsung berjejaring dengan sesama konselor, bertukar strategi, pengalaman, dan solusi nyata. Jaringan ini memastikan bahwa setiap konselor tidak berjalan sendiri, sehingga kualitas layanan tetap terjaga.
Ekosistem dukungan seperti ini membuat BK bukan hanya membina individu, tapi juga memperkuat jaringan profesional yang berkelanjutan. Dengan komunitas yang saling membantu, penanganan masalah mental menjadi lebih efektif, adaptif, dan mampu menjangkau masyarakat secara luas. Jadi, lulusan BK selain hanya siap menghadapi tantangan personal atau institusi. Soal kontribusi pada kesejahteraan mental masyarakat secara keseluruhan pun terkondisikan dengan rapi.
Sudah, nggak usah banyak menggugat soal ini. Kalau dipikir-pikir, memang negara ini butuh konselor yang banyak. Gunanya adalah sebagai pilar penting supaya masyarakat tetap waras di tengah segala keruwetan hidup sehari-hari. Jadi ya, wajar kalau jurusan BK jadi salah satu yang paling dibutuhkan di Indonesia.
Penulis: Sayyid Muhamad
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Punya Guru BK yang Beneran Ngasih Konseling Adalah Sebuah Privilese
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















