Joki Strava, Bukti Olahraga Lari Kini Semakin “Kejam”

Joki Strava, Bukti Olahraga Lari Kini Semakin “Kejam” Mojok.co

Joki Strava, Bukti Olahraga Lari Kini Semakin “Kejam” (unsplash.com)

Beberapa waktu terakhir media sosial ramai membahas joki Strava. Pusat keramaian ini berawal dari salah satu cuitan di media sosial X atau Twitter. Ada akun yang menawarkan jasa joki Strava bagi mereka yang malas lari, tapi tetap ingin pamer catatan Strava mereka di media sosial. Entah jasa ini sungguhan ada atau sekadar candaan belaka. Yang jelas, kemunculan Joki Strava bisa sindiran keras bagi banyak orang.

Strava adalah aplikasi yang memungkinkan penggunanya untuk mencatatkan aktivitas olahraga. Aplikasi ini memiliki fitur untuk membagikan catatan aktivitas olahraga ke media sosial. Nah, catatan inilah yang kerap berseliweran di medsos dan menjadi tuntutan sosial bagi sebagian orang. Apalagi bagi mereka yang teman-temannya aktif berolahraga lari atau mengikuti komunitas. 

Joki Strava dan tuntutan gengsi

Joki Strava mungkin terdengar konyol. Namun, kalau mau merenungkannya lebih dalam, kemunculannya semacam jadi pengingat bagi banyak orang betapa berat tuntutan sosial itu. Kalau tidak punya pendirian yang kuat, bukan nggak mungkin jadi individu yang diombang-ambing tuntutan lingkungan sekitar. Kondisinya semakin rumit kalau dikit-dikit FOMO alias Fear of Missing Out. FOMO adalah perasaaan takut untuk tertinggal karena suatu aktivitas atau tren tertentu yang sedang ramai di masyarakat. 

Sebenarnya bukan FOMO-nya yang salah, yang keliru adalah menghalalkan berbagai cara supaya tetap bisa ikut tren. Pada akhirnya, olahraga lari tidak lagi dilihat sebagai sarana menyehatkan tubuh, tapi sebatas memenuhi gengsi dan tuntutan sosial. 

Jauh sebelum joki strava muncul, olahraga yang satu ini sebenarnya sudah mendapat banyak nyinyiran. Bagaimana tidak, olahraga yang awalnya murah meriah cukup bermodal niat, pakaian olahraga, dan sepatu nyaman perlahan berubah jadi olahraga mahal. Kini lari seolah-olah harus menggunakan pakaian olahraga kece, sepatu mahal, hingga pelengkap lain seperti smartwatch. Bahkan, nggak sedikit yang mulai mengeluhkan komunitas-komunitas lari yang  terkesan eksklusif. 

Sebenarnya olahraga yang “naik level” seperti lari nggak selamanya buruk. Selain mengemas olahraga menjadi lebih asyik, banyak juga dampak positifnya untuk perekonomian. Terutama melalui penjualan barang-barang terkait olahraga lari dan acara-acara lari. Namun, di balik “naik level” tadi ternyata banyak harga yang harus dibayar. 

Alarm pada hal yang lebih buruk 

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, penawaran joki strava ini entah betulan atau hanya bercanda saja. Namun, terlepas dari benar tidaknya jasa ini, Joki Strava hanya pucuk dari gunung es. Kalau mau merenung lebih jauh, kemunculan jasa Joki Strava kombinasi dari gengsi dan masyarakat yang hanya berorientasi pada hasil. 

Kalau dipikir-pikir, dua hal itu selalu saja bisa menciptakan lapangan kerja informal lain. Tengok saja joki skripsi, joki ujian masuk universitas, hingga joki tes pekerjaan. Tindakan-tindakan tidak terpuji yang muncul dari tuntutan-tuntutan sosial yang melelahkan. Mungkin orang-orang lupa ya kalau proses-proses yang dilalui tanpa joki sebenarnya lebih bernilai daripada hasil yang diraih dengan bantuan joki itu. 

Penulis: I Wayan Bhayu Eka Pratama
Editor: Kenia Intan

BACA JUGA 11 Istilah dalam Olahraga Lari buat Kalian yang Masih Pemula

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version