Joker dan Pria yang Ditolak (Spoiler Alerts)

joker

joker

Malam Minggu kemarin adalah malam yang benar-benar spesial bagi saya. Bukan karena saya sedang jatuh cinta, bukan pula karena cinta saya diterima sang pujaan apalagi karena saldo di rekening bertambah. Bukan. Spesial, karena baru kali ini saya merasa puas nonton film di bioskop. Jujur saja, saya tidak pernah merasa sepuas ini usai menonton film. Biasanya, saya akan bersikap biasa-biasa saja tatkala keluar dari gedung bioskop perkara satu, dua atau tiga film. Lucunya, dari sekian film yang saya tonton sepanjang tahun ini, tak satu pun yang memenuhi ekspektasi saya. Itu karena trailernya kayak iklan merek shampoo yang begitu menggoda. Saya terbuai duluan. Seolah-olah menampilkan adegan-adegan yang bikin mind-blowing dan bikin tambah penasaran. Tapi, setelah ditonton, trailer dengan film utuh, hadeh, saya seperti patah hati kemudian.

Nah, akhirnya saya menemukan satu trailer yang membuat rasa penasaran saya terbayarkan. Dari detik pertama hingga detik terakhir mata saya menyimak dengan seksama. Saya terkesima. Hingga trailer itu berakhir, saya lantas berdiri dari kursi dan tepuk tangan. Saya juga iseng-iseng membaca beberapa review soal film itu. Bahkan, koran-koran internasional memberikan apresiasi yang tinggi terhadap film ini. Baru beberapa minggu penayangan udah sebanyak itu reviewnya. Gila parah!. Tidak cukup sampai disitu, film ini juga digadang-gadang akan memenangkan piala Oscar, loh!. Inilah film yang saya tunggu-tunggu dan saya wajib menontonnya. Hingga pada akhirnya, saya kemudian memutuskan untuk menonton film itu dengan rekan kerja saya. Dua pemuda berangkat dari utara menuju selatan hanya untuk memuaskan rasa penasaran. Hahaha…..

Joker, bagi saya adalah film terbaik yang saya tonton sepanjang tahun ini. Saya tidak kecewa menontonnya. Trailer dan film utuhnya sukses bikin saya terbayang-bayang. Mungkin hingga beberapa hari ke depan. Karena itu, saya bela-belain menulis uneg-uneg ini di Terminal Mojok. Eeeee, tapi tunggu dulu, tulisan ini mengandung spoiler, gais. Saya sarankan supaya kalian terlebih dulu menonton filmnya sebelum membaca uneg-uneg ini. Tapi, kalau masih ngotot ingin membacanya. Ya, silakan. Tanggung sendiri akibatnya.

Joker, seorang pria, yang bermimpi menjadi komedian. Ia bercita-cita ingin membuat orang tertawa, ingin melakukan beberapa hal baik, tetapi mimpinya perlahan dihancurkan oleh masyarakat yang menganggap pribadinya sebagai lelucon. Film ini gelap, jauh lebih gelap dari kisah cintamu yang dingin dan penuh kesunyian. Sangat gelap, Bung! Uppss…

Seorang pria yang kesepian, tidak diperhatikan, diabaikan dalam lingkungan sosialnya.

Ia bahkan mengatakan: is it just me or is it getting crazier out there? Pertanyaan ini terpatri kuat dalam kepala dan menohok saya. Saya percaya kita semua berpikir seperti Joker hari ini. Yang kita miliki sekarang hanyalah pikiran negatif. Baik pikiran positif atau negatif, ini hanya masalah perspektif. Ibarat nonton film bokep, pikiran negatif dan pikiran positif sulit dibedakan. Emang siapa yang mampu membaca pikiran orang kalau di kepalanya ada pikiran negatif dan positif ketika menonton film bokep?  Pikiran orang siapa yang tahu? Ehh, kok malah bahas bokep?

Yowes, kembali ke topik. Sepikir dengan ucapan Descartes, Cogito Ergo Sum (aku berpikir, maka aku ada), barangkali, Joker ingin menegaskan kembali bahwa cara berpikirnya yang sedemikian rupa yang membuatnya tetap ada. Ia hidup dengan cara seperti itu. Ia memiliki keyakinan yang teguh. Kuat bagai karang di lautan. Tak tergoyahkan. Cara berpikir yang berbeda dari orang lain semakin meneguhkan eksistensinya. Meskipun, orang lain tidak mengakui eksistensinya, karena mereka berpikir bahwa semua yang dilakukannya adalah keburukan. Masalahnya, orang-orang terkadang melihat sesuatu itu hanya dari satu perspektif saja.

Ya, saya sepakat dengan ucapan Joker bahwa orang-orang di luar sana semakin gila. Pekerjaan, kehidupan, karier, tanggung jawab, utang, dan stress terus menghantui. Belum lagi, para jomblo di luar sana yang gila karena cinta. Cinta sepihak. Cinta tak berbalas. Cinta yang bertepuk sebelah tangan. Kurang belaian. Cinta yang ditolak, dukun bertindak. Syediiih~

Tanpa kita sadari, kita semua dikelilingi oleh perasaan-perasaan yang sama seperti Joker. Di kelilingi oleh kesedihan, patah hati, kegelapan, kesepian, trauma, penghinaan, ketidaktahuan dan yang paling penting adalah ketakutan. Ketakutan untuk memulai melangkah. Ketakutan untuk menjadi salah. Ketakutan untuk gagal. Ketakutan untuk mulai nembak doi duluan. Semua itu sebab kita takut tidak diterima, padahal, kita belum memulai.  Dasar manusia lemah!

Seperti yang saya katakan di awal tulisan, Joker ini benar-benar mind-blowing. Tidak berlebihan bila saya katakan film ini adalah mahakarya luarbiasa. Saya seolah-olah jatuh ke dunia yang gelap, di mana kesenjangan sosial antara yang terkemuka dan yang miskin dibangunkan oleh seorang pria yang secara mental rusak—yang hampir tidak menemui jalan keluar, sampai kabut delusinya menjebol ke dalam kekerasan psikopat yang tidak terikat.

Joaquin Phoenix sukses memerankan karakter Joker. Dia benar-benar membuat setiap adegan dalam film menjadi hidup, tegang dan kadang membuat saya tidak tidak nyaman untuk duduk. Meskipun, pada saat yang bersamaan, saya sebenarnya mulai merasa bersimpati dan kasihan dengan karakternya.

Lantas, pertanyaan yang masih menganggu pikiran saya: mengapa orang tidak bisa menerima orang lain? Saya sadar bahwa manusia tidak pernah berhasil menciptakan masyarakat yang sepenuhnya damai dan menerima untuk jangka waktu yang lama. Untuk menerima orang lain, saya harus mau belajar tentang mereka. Perjalanan menerima orang lain, terutama mereka yang tidak kita ketahui latarbelakangnya adalah jalan yang panjang. Tidak hanya membutuhkan waktu tetapi juga upaya dan sepasang telinga yang mau mendengar. Sejujurnya, tidak semua orang mau menyisihkan hal-hal seperti itu untuk belajar tentang orang lain. Akar masalahnya adalah: stereotip kasar, asumsi tak berdasar, dan gosip keji.

Kita adalah makhluk yang tidak sempurna, rentan terhadap anomali dan kesalahan. Tetapi, jika ingin mengatasi prasangka, kita harus mulai belajar menerima orang lain. Yang harus kita lawan adalah musuh dalam diri kita sendiri, bukan orang lain. Jika orang-orang masih keras kepala tidak mau melakukan perubahan yang diperlukan untuk kebaikan bersama, maka impian kedamaian dalam komunitas toleran adalah mimpi yang masih sangat jauh.

Btw, saya ingin menontonnya lagi untuk merasakan intensitas yang terbangun dalam film itu—dari awal hingga selesai, seperti rollercoaster. Yihiiiii!! (*)

BACA JUGA Lima Filosofi Sederhana Orang Jawa yang Bisa Mendamaikan Hati atau tulisan Roy Simamora lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version