Di minggu kedua setelah rilis di bioskop Indonesia, 17 Mei 2019, sensasi John Wick sebagai film laga masih terasa di benak para penonton yang mengikuti chapternya sejak awal. Bahkan beberapa video-video yang direkomendasikan di YouTube masih kerap muncul soal Kang Cecep dan Yayan. Merekalah aktor laga Indonesia yang konon dipanggil untuk terlibat di babak ketiga John Wick. Kalau menurut kalian biasa aja atau itu sebuah prestasi.
Tapi mungkin sutradara Chad Stahelski ingin merangkul semua penonton di segala penjuru Bumi sehingga harus melibatkan orang Indonesia. Atau mungkin juga karena sosok Yayan dan Cecep sudah waktunya diakui khayalak Internasional karena debut mereka berdua sebagai aktor laga sudah harum semerbak—tapi bisa jadi juga hanya sensasi saja. Begitulah pintu kemungkinan, tidak pernah tertutup rapat untuk sekalian manusia alam yang mau-maunya berpikir.
Selain kental dengan sensasi, film John Wick sejak awal dipenuhi rasa menunggu. Ending film selalu menyisakan kemungkinan kisah berlanjut. Seperti babak sebelumnya yang ditutup dengan pemburuan John Wick setelah melanggar aturan di kawasan steril The Continental dan telah membunuh salah satu petinggi High Table.
“Kita perlu aturan, dan itulah pembeda kita dengan hewan,” ujar pimpinan hotel The Continental yang menjunjung ketertiban dan profesionalitas di area hotel. Sebagai manusia, rasanya perlu mempunyai kesepakatan yang harus dijaga dan dihormati. Siapapun pelanggarnya mereka harus diberi konsekuensi, seperti penolakan John Wick yang tidak mau menjadi pembunuh lagi saat dia punya janji diatas koin yang membekas darah jarinya.
Saya tidak akan mengulas tuntas bagaimana cerita Derek Kolstad berkembang—melainkan bagaimana kita sebagai penonton Indonesia belajar, dan terus belajar, untuk mengarungi dunia sinematografi yang baik. Alat yang canggih memang hambatan utama kita, tapi tidak membuat orang-orang macam kita yang 3 abad lamanya dijajah untuk mundur, kan? Saya juga sempat terpikir tentang siapa kita sebenarnya bagi para filmmaker dunia. Apakah mungkin suatu saat nanti film Indonesia bisa berjaya suatu saat nanti?
“Ya mungkin lah,” ujar para pelaku sinema tingkat Perguruan Tinggi.
“Tidak bisa secepat itu. Pram saja lama sekali untuk diakui kita sendiri, meskipun sudah di mana-mana bukunya diterjemahkan.”
“Dua tahun ini Festival Film Cannes mengakui karya-karya Asia. Shopfilter dan Parasite itu orang-orang karya benua kita lo.”
“Yah kalo ngomongin karya Jepang dan Korea Selatan sangat mungkin. India apalagi. Cuma kita ini yang tidak haus prestasi.”
“Loh film dokumentasi Sexy Killers itu karya orang Indonesia lo, apa ya sebagai dokumenter itu tidak dilirik?”
“Sudahlah kita tunggu.”
Semua jawaban dari apapun pertanyaannya kepada kami adalah kepasrahan dan terus menunggu. Paling-paling jawaban yang aman dan menenangkan adalah “belum waktunya” untuk kita. Ya sudah, toh kita juga punya tingkat kesabaran untuk menunggu, seperti detik-detik akan ditayangkannya Avengers: End Game bagi pecinta hero dan John Wick sebagai penyuka action yang ciamik.
Memang tidak bisa mengalahkan hebohnya Avengers: Endgame dan People Power 22 Mei kemarin kalau di Indonesia. Padahal di Amerika Serikat informasi yang dilansir Associated Press, pendapatan John Wick: Chapter 3 ini mampu menggeser Avengers: Endgame yang bertengger di angka satu Box Office. Lagi-lagi sensasi yang didapatkan dari film ini menjadi bertambah dan rasa menunggu untuk menggeser pendapatan film Titanic bukanlah hal yang jauh dari mustahil.
Kemarin saat menonton di minggu pertama Kursi Empire XXI Kota Jogja penuh. Padahal itu jam-jam orang masih sibuk Tarawih, dengerin kultum, atau sedang tadarusan. Percaya atau tidak kursi penonton dipenuhi laki-laki dengan beragam umur. Kalaupun ada perempuan yang diajak pacarnya menonton pasti dia seringkali tidak ngeh dengan alur ceritanya. Memang begitu adanya kami orang-orang kota kalau pacaran di bioskop. Tidak ada yang jauh lebih penting selain kebersamaan—begitu mungkin jargonnya orang pacaran.
Kebersamaan sering membuat nonton film itu hambar namun juga bisa membuat berlumuran sensasi. Dan jikalau mengingat Mei 2017 saat aku nonton bersama teman di kota yang sama namun tempat berbeda maka rasa menunggu itu cukup membekas. Kisah yang belum tuntas di setiap babak harus dibayar lunas di babak selanjutnya—seperti kata Eka Kurniawan, dendam harus dibayar tuntas.