Jogja (Sudah Tidak) Istimewa, Gunungkidul (Tetap) Merana

Jogja (Sudah Tidak) Istimewa, Gunungkidul (Tetap) Merana. (Unsplash.com)

Jogja (Sudah Tidak) Istimewa, Gunungkidul (Tetap) Merana. (Unsplash.com)

Tulisan Mas Jevi Adhi di Terminal Mojok yang berjudul “Jogja Istimewa, Gunungkidul Merana” sukses membuat memori lama soal kabupaten ini terpanggil lagi. Sebuah momen di mana ditinggal nikah membuat saya agak goyah. Selama lebih dari tiga bulan saya healing di Gunungkidul.

Yah, waktu itu, nggak ada istilah healing di momen seperti ini. Waktu itu, namanya “lari dari kenyataan” dan menghabiskan waktu dengan senang-senang. Waktu itu pula, saya diajak teman untuk menyingkir barang sejenak dari Kota Jogja. Dan yang sejenak itu berubah jadi tiga bulan dalam sekejap mata. 

Teman saya ini memang baik banget. Dia tahu bahwa saya hanya akan makin tenggelam dalam alkohol jika tidak pergi sebentar dari Jogja. Dia menawarkan sejuk di puncak-puncak pegunungan dan kehangatan manusia di Gunungkidul. Dan begitulah, tidak terasa, tiga bulan berlalu begitu saja.

Selama tiga bulan itu, di antara senang-senang kulineran dan main ke pantai, saya menyaksikan beberapa hal kecil yang menyenangkan sekaligus terasa ironis. Izinkan saya menjelaskan beberapa di antaranya.

#1 Soal UMR yang “tak terasa tapi berbahaya”

Seperti yang dijelaskan Mas Jevi, Kabupaten Gunungkidul mencatatkan “dua prestasi” terkait UMK. Pertama, dengan Rp1,9 juta per bulan, jadi yang terendah di DIY. Kedua, berhasil masuk 15 terbawah UMK di Indonesia. Ini catatan sekarang, ya. Ketika saya minggat dari Jogja pada 2009, kalau tidak salah ingat, UMK-nya malah lebih rendah lagi.

Namun, saat itu, banyak anak muda di Gunungkidul yang belum sepenuhnya aware dengan bahaya kondisi ini. Jadi, selama tiga bulan di sana, saya cukup sering jajan di “Bakso Toilet” yang bernama asli Bakso Pak Wariyun. Warung bakso termasyhur yang berada di belakang toilet terminal. Dan si sana, obrolan soal UMK dan UMR pernah muncul ke permukaan.

Lantaran cukup lama berada di sana, saya jadi akrab dengan teman-teman dari teman yang menampung saya. Pada 2008, mereka masih sangat berharap dari sektor pariwisata sebagai pemasukan. Maklum, di tahun-tahun itu, Pantai Indrayanti lagi muncul ke permukaan sebagai salah satu destinasi terbaik. Sebuah kondisi yang membuat banyak anak muda percaya diri lantaran masih banyak pantai yang sebetulnya nggak kalah cantik.

Artinya, masih banyak lokasi yang bisa “dijual” oleh warga lokal dan menjadi andalan di sektor pariwisata. Yah, kalau ngomong Gunungkidul, top of mind-nya memang pantai. Oleh sebab itu, di akhir pekan, nggak heran kalau jalanan di sana didominasi pelancong berplat AB Kota Jogja dan Sleman.

Saya mendengarkan obrolan ini dengan perasaan biasa saja. Saya ikut senang karena jadi bakal sering diajak ke pantai sama warga lokal, yang mana pasti nggak perlu bayar retribusi. Nah, soal “eksodus” anak muda untuk mencari pekerjaan di luar Gunungkidul itu sama sekali nggak terbayangkan.

Begitulah, lantaran tak pernah terbayangkan, jadi beberapa orang yang saya kenal waktu itu jadi nggak siap. Banyak dari mereka yang sudah bekerja di Kota Jogja. Lebih banyak lagi yang sudah sampai di Cikarang, Jakarta, sampai Malaysia. Kenapa begitu?

Karena, sekali lagi, sangat terang seperti yang dijelaskan Mas Jevi, banyak anak muda Gunungkidul yang tidak ikut menikmati “kue pariwisata”. Yah, minimal, dapat remah-remah saja. Porsi terbesar justru dinikmati oleh investor dan orang kaya dari Jakarta dan kota-kota besar lainnya.

Warga lokal sebatas jadi guide, buka warung kelapa muda, menyewakan tikar atau payung pantai, jualan oleh-oleh, jaga retribusi, sampai kuliner di tempat wisata. Eh, mereka yang kerja di hotel yang “agak lumayan” itu ada juga yang dari Kota Jogja, lho. 

Pemasukan mereka ada yang terbilang lumayan. Tapi, tetap saja, untuk ukuran orang lokal. Pemilik dari hampir semua “sumber lapangan kerja” adalah orang luar. Kok saya yakin?

Gimana nggak yakin kalau paman salah satu teman saya hampir jadi pemilik sebuah resor di Gunungkidul. Dia sudah ikut bid untuk sebuah lokasi. Namun, akhirnya kalah sama taipan ibu kota.

Orang Gunungkidul seperti nggak jadi tuan rumah di ladang sendiri. Dan, jangan salah, kondisi ini sudah dimulai sejak lama. Ketika orang-orang kaya, baik dari Kota Jogja sampai ibu kota, lebih “punya ide” untuk mengeksploitasi sebuah kekayaan alam. Oleh sebab itu, banyak anak muda yang memilih untuk hengkang.

Mereka ingin jadi “tuan rumah”. Yah, setidaknya, tuan rumah di kontrakan sederhana, di sebuah daerah industri yang jauh dari sejuknya pegunungan di kampung halaman.

#2 Cap udik yang bertahan sampai sekarang

Kamu merasa nggak kalau kesejahteraan ekonomi berpengaruh secara langsung kepada derajat manusia?

Dulu, waktu saya masih bocah, salah satu makian yang terkenal di Kota Jogja itu bunyinya kayak gini: “Dasar cah Tepus. Ndeso banget!”

Di mana Tepus itu berada? Ya tentu saja di Gunungkidul. Sekarang, Tepus sudah menyandang status “Desa Wisata”. Masih gersang dan berbatu, tapi agak lebih dikenal secara positif ketimbang zaman dulu.

Dulu itu, Tepus adalah bayangan orang Jogja untuk sebuah lokasi yang teramat sangat jauh. Sangat terpencil. Gersang. Nggak menarik. Udik. Makanya, cocok untuk makian “Ndeso”. Artinya, kamu yang jadi sasaran makian adalah orang terbelakang secara pendidikan dan kesejahteraan. Sangat nggak menarik. Bikin malu saja untuk dijadikan kawan sepermainan.

Celakanya, gaung makian itu masih terdengar samar sampai sekarang. Nggak lagi pakai isitilah “Tepus”, tapi Gunungkidul secara keseluruhan. Dari Tepus, berubah menjadi “cah nggunung”. Makian yang sama yang dipakai untuk menyindir orang Menoreh, Kulon Progo.

Istilah “cah nggunung” atau “anak gunung” bukan merujuk seorang remaja yang mencintai alamnya. Namun, identik dengan makian bahwa kamu itu udik karena tinggal di gunung.

Kondisi ini seperti membenarkan sebuah pengertian yang dituliskan oleh Mas Jevi, yaitu “Adoh Ratu, cedhak watu.” Orang Gunungkidul itu lebih akrab sama “batu” ketimbang “Ratu” yang bersemayam di Kota Jogja. Ratu di sini merujuk kepada Raja ya, yang berarti Pak Sultan. Dan jauh di sini merujuk ke batin, bukan jarak.

Jogja itu apa masih istimewa?

Sebagai warga asli Jogja, saya sering mengulang pertanyaan itu di dalam hati. Apakah kampung halaman saya masih istimewa? Jujur saja, kok saya merasa sisi itu sudah nggak terlalu relevan.

Gimana ya, terminologi “istimewa” itu kan artinya ‘lain daripada yang lain’ atau ‘luar biasa’. Merujuk ke sesuatu yang sempurna di semua lini. Nah, sampai di sini, saya sebetulnya lelah menjelaskan banyaknya sisi negatif yang mengemuka di Jogja dan sekitarnya.

UMR? Sudah sering. Klitih yang namanya diubah hanya demi sebuah citra? Iya, sudah sering. Kekerasan rasial? Sering juga. Jalanan makin ruwet? Iya juga. Ya kalau hal-hal negatifnya sama kayak kota lain, bagian mana dari Jogja yang masih istimewa. Hanya karena status pimpinan daerah? Ya bisa juga, sih.

Namun, apakah status itu secara otomatis membuat warganya punya kehidupan yang istimewa? Silakan dirembug dengan kepala dingin dan hati yang lapang.

Gimana ya, di tengah perubahan status dari “Berhati nyaman” ke “Istimewa”, Gunungkidul khususnya, masih tetap merana. Apalagi sekarang ini. Yah, ini semua hanya simbol. Hanya kata-kata hari ini yang terdengar merdu untuk diucapkan.

Semuanya bergantung kepada kualitas individu untuk memuliakan dan peduli kepada sesama. Kalau sisi itu nggak ada, ya anggap saja pemimpin daerah itu nggak ada. Yang ada cuma takhta itu untuk rakyat, demi kesejahteraan rakyat. Bukan untuk orang lain yang terlalu nyaman menyandang status “pemimpin rakyat”.

Penulis: Moddie Alvianto W.

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA 5 Warung Bakso Gunungkidul Paling Enak yang Sebaiknya Dicoba.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version