Jogja Tidak Pantas Lagi Menyandang Kota Wisata dan Kota Pendidikan karena Tidak Bisa Dinikmati oleh Warganya Sendiri

Jogja Kota Salah Urus dan Sulit Dinikmati Warganya Sendiri (Unsplash)

Jogja Kota Salah Urus dan Sulit Dinikmati Warganya Sendiri (Unsplash)

Jogja, saya bukan lagi ingin mencintaimu, tapi telah mencintaimu dengan sederhana. Sepuluh tahun lebih tinggal di dalamnya, menikmati segala keistimewaanmu, yang terus terluka dan makin hari kian menganga.

Ya, menganga. Tepat di malam saya tiba, sepulang tugas kerja di pulau seberang, sambil menatap langit-langit kamar, saya membatin, “Sudah jelas Jogja tidak sedang baik-baik saja.” Saya masih ingat masa awal saya tinggal di Bumi Mataram. Rasanya, dulu semuanya serba adem ayem.

Namun, hari-hari ini, kita harus mengakui secara jujur bahwa Jogja sedang terluka, membuat warganya sendiri menderita. Mulai dari lingkungan sosialnya, pariwisatanya, predikat kota pendidikan, hingga kesejahteraan rakyat. Mari kita memotret Jogja secara jujur.

Jogja kini seperti daerah terpinggirkan yang tidak memikirkan warganya sendiri

Jogja itu cuma daerah pinggiran. Ia menjadi daerah pinggiran Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Gunung Kidul. Ia hanya sebatas pusat keramaian.

Kemacetan, bising klakson, dan ribuan kendaraan menggeser suara-suara keramahan khas masyarakat Jawa. Selain itu, tembok-tembok tinggi perumahan, hotel mewah yang jelas bukan milik warga lokal dengan UMR minim, menutupi ladang-ladang milik warga. Orang Jogja mau membangun hotel? Bisa menyambung hidup saja sudah kewalahan.

Soal UMR, apakah benar kenaikan menjadi berkah? Nyatanya tidak, ketika para penentu kebijakan mau menengok mata lelah para buruh yang pusing menutup biaya sekolah anaknya. Maklum, biaya pendidikan semakin mahal dan seperti bukan milik orang miskin.

Sudah sulit sekolah sampai pucuk tertinggi, anak muda Jogja masih tenggelam dalam pengaruh kejahatan jalanan. Solusi? Saya belum merasakannya. Saat ini, yang saya rasakan adalah menghilangnya rasa “welas asih” yang ratusan tahun menyatu dengan jogja. Jogja kota pendidikan? Tidak, itu salah. Saat ini, Jogja adalah kota gangster. Apakah para penentu kebijakan tidak memikirkan masa depan para peserta “bonus demografi” ini?

Baca halaman selanjutnya: Jogja, sebuah kota wisata dan pendidikan, tapi bukan untuk warganya sendiri.

Pariwisata yang salah urus

Siapa yang berani menyangkal kalau Jogja adalah kota wisata? Saya kira tidak ada. Sektor pariwisata di sini sangat basah dan itulah alasannya kota ini tidak berhenti bersolek. 

Namun, yang harus membayar semuanya adalah warga lokal. Menyedihkan, ketika rakyat Jogja yang harus mengorbankan tanahnya demi turis terpuji yang memenuhi jalanan setiap tahunnya. Semuanya terjadi begitu saja dan warga lokal hanya punya jatah menjadi penonton. Hidup sejahtera berkat pariwisata? Ah, itu hanya mereka, para stakeholder dan pemilik modal dari luar daerah.

Semuanya karena pariwisata yang salah urus. Ketika ruas jalan tidak pernah bertambah, warga lokal mendapat imbauan untuk diam di rumah saja. Harga-harga melambung dan tidak ada yang mengontrol. Kemacetan terjadi untuk menyenangkan para turis.  

Berapa kali kasus tukang parkir liar mematok harga secara ngawur di kawasan wisata? Sudah ada pencegahan secara nyata? Berapa kali muncul warung makan kaki lima memasang harga begitu mahal? Ah, saya tidak bisa menyalahkan mereka begitu saja dan kamu tahu alasannya. 

Belum lagi masalah soal sampah. Sudah? Belum! Sejak akhir Januari 2024 hingga awal Februari 2024, banjir kian menjadi teman akrab jalanan di Jogja dan Sleman yang baru selesai dipercantik. Jalanan cantik dan aspal bagus untuk siapa, sih?

Kota pelajar yang problematik

Promosi segala romantisme yang ada di Jogja adalah senjata yang akan makan tuannya. Termasuk romantisasi bahwa kota ini adalah kota pelajar.

Secara kuantitas, memang benar, ada banyak sekolah berkualitas dan kampus bagus di sini. Tetapi, bagi saya, ada hal fundamental yang harus selesai sebelum menyebut Jogja kota pelajar. Pertama, Jogja belum berhasil menjadikan pendidikan sebagai sesuatu yang dapat diakses secara murah dan mudah oleh semua orang. Kedua, tingginya biaya UKT dan lain-lainnya masih menghantui para calon-calon intelektual yang menempuh pendidikan di kota ini.

Mau merasakan pendidikan di sekolah bagus, misal sejak TK, kudu mengeluarkan biaya puluhan juta. Kuliah? Menderita sekali orang miskin yang seperti nggak layak mendapatkan pendidikan di sebuah kota yang katanya kota pendidikan.

Berita menyedihkan kerap kali mewarnai beranda hape saya. Misalnya soal kasus mahasiswi di kota pendidikan yang memilih mengakhiri hidup karena tidak mampu membayar uang kuliah. Kalau begini, apa masih layak menyandang status kota pelajar? Apa nggak lebih tepat disebut pabrik penyumbang tenaga kerja?

Bagaimana? Pertama, kita harus jujur mengakui kalau kota ini sedang tidak baik-baik saja. Kedua, kita semua tidak boleh menutup mata akan kenyataan yang ada. Kita semua ingin mencintai Jogja sepenuhnya. Namun, Jogja sendiri seperti enggan dicintai, tapi malah meresahkan warganya sendiri.

Penulis: Faiz Al Ghiffary

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Madiun, Kota dengan Ruang Publik yang Berlimpah Lebih Memesona ketimbang Jogja yang Katanya Kota Pendidikan

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version