Baru-baru ini terdengar berita duka kecelakaan yang terjadi di Alun-Alun Kebumen dan Jalan Malioboro KW ala-ala Jogja. Kebetulan yang meninggal itu adalah teman dekat saya satu gereja. Saya sangat berharap tulisan ini dapat membukakan mata Pemerintah Kebumen untuk mengesahkan Alun-Alun Kebumen, bangunan yang sedang dibangun, dan Jalan Soekarno Hatta (yang disebut Jalan Malioboro KW).
Ini menjadi berita duka buat saya sendiri dan teman-teman, karena kami sempat tidak menyangka hal ini menimbulkan korban jiwa lagi dan lagi. Sudah puluhan.
Setiap kota pasti memiliki identitas atau karakteristik kotanya sendiri agar menjadi kota yang populer untuk banyak orang. Namun, apa jadinya jika hanya menyontek, apa bedanya dengan plagiasi?
Kita para mahasiswa dituntut untuk tidak plagiasi. malah pariwisata secara terang-terangan meniru kota lain. Kenapa Kebumen harus mencontoh Jogja? Apakah Jogja merupakan kota yang patut untuk dicontoh, untuk diteladani? Padahal ya nggak gitu juga.
Daftar Isi
Ketika identitas Kebumen berubah
Baru-baru ini, yang semula identitas atau karakteristik layout kota Kebumen Beriman berubah drastis berubah menjadi Kebumen Semarak. Dahulunya, Kebumen merupakan kota yang sangat kuat dengan corak agama Islam. Bahkan di sepanjang Jalan A Yani terdapat tulisan doa dalam Bahasa Arab. Namun, apa daya, sekarang Kebumen berubah drastis.
Dahulunya, Kebumen hanya sebagai suatu lintasan untuk perjalanan dari Jogja ke Purwokerto atau dari arah timur ke barat dan sebaliknya. Namun sekarang, tidak lagi seperti itu dan sudah lebih modern. Beberapa jalanan di Kebumen berubah nama. Dapat diberikan contoh Jalan Pahlawan menjadi jalan Soekarno Hatta.
Tidak hanya jalan, di sepanjang Jalan Soekarno Hatta ini yang awalnya terdapat satu pembatas, namun dibongkar, dan berubah menjadi satu arah. Sepanjang jalan tersebut didirikan lampu jalan yang mirip dengan Malioboro Jogja. Tidak hanya lampu jalan namun juga terdapat kursi di trotoar yang dibuat sedemikian rupa dengan Malioboro Jogja.
Di sepanjang jalan Soekarno Hatta ini juga terdapat angkringan dan warung makan seperti di Malioboro. Apakah pemerintah tidak berfikir pada tempat atau daerah lain yang tersingkirkan? Seperti penjual yang biasanya mangkal berada di depan Gereja Katolik Kebumen, berada di depan Masjid Kauman, dan tempat lainnya.
Pada kenyataannya penjual tersebut disuruh pindah dan berjualan di sepanjang Jalan Veteran dan jalan lainnya yang diluar dari jalan tersebut. Beredar isu didirikan layout seperti ini karena ingin meramaikan alun-alun dan Jalan Soekarno Hatta, namun tidak didirikan layout tersebut pun masih tetap ramai. Apakah ini merupakan salah tatanan?
Baca halaman selanjutnya: Kebumen mau ngapain? Kok malah nyontek Jogja!
Jogja saja salah urus, kok, dicontoh sih?
Alun-Alun Kebumen juga sudah berubah, yang mana sekarang terdapat sebuah bangunan kapal. Di sepanjang alun-alun tersebut terdapat bola-bola seperti desain titik nol KM Jogja.
Banyak keluhan dari masyarakat sekitar yang mengeluhkan bahwa jalannya menjadi jauh, harus puter-puter dulu.
“Lha ini kan kota kecil ya, ngapain sih harus nyontek Jogja. Jogja, kan, kota besar,” kata Mardi, salah satu masyarakat Kebumen.
Tidak hanya layout atau desain kota Kebumen yang dibuat mirip sedemikian dengan Jogja. Ada juga acara Kebumen International Expo. Terdengar menarik jika adanya International Expo, namun yang sangat diherankan adalah hanya mendatangkan artis dari Indonesia saja, lantas International-nya di mana? Apakah menjadi terlihat keren?
Mengapa Kebumen tidak menciptakan karakteristik atau identitasnya sendiri? Mengapa harus mencontoh kota lain? Apakah ini merupakan strategi dari kota Jogja untuk mengurangi dampak over tourism yang terjadi di Jogja? Sehingga dengan begitu masyarakat Indonesia tidak perlu datang lagi ke Jogja melainkan ke Kebumen?
Lantas kita sebagai masyarakat setempat merenungkan untuk apa Kebumen ini menjadi seperti ini? Motifnya kemana dan apa yang mau dicapai oleh Kebumen? Toh sebentar lagi akan ada pergantian Bupati.
Mau dibawa ke mana kota ini?
Masyarakat mulai berasumsi bahwa ide ini merupakan ide dari Bupati, Pak Arif. Namun ini hanyalah asumsi dan hanyalah opini belaka. Selebihnya kita hanya bisa menerka dan tidak tahu mau dibawa ke mana identitas kota ini.
Saat masih memiliki identitas Kebumen Beriman dahulu tidak diperbolehkan untuk mendirikan Mal. Namun, dapat dilihat saat ini sudah ada Trio Mall dengan bioskop, guardian, dan ada rumah hantunya.
Tidak hanya mall, pemerintah juga menghabiskan dana untuk lampu merah di setiap perempatan yang dulunya tidak ada. Apakah ini strategi Kebumen untuk menjadikannya kota besar? Kalau gitu kenapa malah nyonten Jogja? Aneh!
Penulis: Helena Yovita Junijanto
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Kebumen Boleh Jadi Kabupaten Paling Miskin Se-Jawa Tengah, tapi Potensi Alamnya Paling Kaya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.