Makna lain dari kalimat bijak nrimo ing pandum adalah ‘selalu merasa cukup dengan kekayaan yang kita miliki.’ Tidak menuntut, tidak protes meski keadaan menghimpit sampai sesak. Gaji di bawah 2,3 juta rupiah, yang mana termasuk golongan warga miskin, ya wajib diterima.
Saya tidak bisa membayangkan kalau warga Jogha geger gedhen dan protes kepada Gubernur dan Raja. Bisa-bisa tahun depan prestasi menjadi provinsi termiskin di Pulau Jawa akan lepas ke Jawa Tengah. Kita, sebagai orang dengan KTP Jogja tidak boleh membiarkannya. Prestasi itu, setidaknya, harus dijaga kalau tidak bisa ditingkatkan.
Oleh sebab itu, saya mengusulkan kepada semua warga miskin untuk merayakan kemiskinan. Kalau perlu Gubernur dan Raja menentukan satu hari nasional untuk menjadi “Hari Miskin se-Jogja”.
Di hari spesial itu, semua aktivitas harus berhenti. Warga masuk ke rumah masing-masing, lalu bertapa, dan merenungi makna “akar hening”. Syahdu sekali. Biarkan wisatawan luar dan investor yang menikmati Jogja secara lebih proper. Biarkan mereka foya-foya bersenang-senang dan mengeruk potensi daerah karena kita semua nggak punya uang untuk sekadar healing.
Healing-nya warga Jogja itu menggerutu di angkringan, tapi diam saja, karena tidak punya daya mengubah situasi. Eits, ini bukan kekurangan. Inilah bentuk pengalaman nrimo ing pandum. Hati saya sangat terenyuh.
Terima kasih Gubernur dan Raja Jogja
Terakhir, sekali lagi, saya ingin mengajak warga Jogja untuk menghaturkan terima kasih kepada Gubernur dan Raja. Tanpa kolaborasi mereka berdua, prestasi menjadi provinsi termiskin di Pulau Jawa tidak bisa kita raih.
Mengingat kita sama-sama nggak punya duit, saya mengusulkan patungan sesama warga untuk beli karangan bunga tanda terima kasih. Kalau patungan kan jatuhnya lebih ringan.
Lagian, bukankah warga Jogja sudah terbiasa untuk mengatasi segala masalah itu sendirian? Sampah terbengkalai, warga pilah sampah. Klitih tidak teratasi, warga diminta tidak keluar malam. Ya kalau mau beli karangan bunga, mari kita patungan.
Menderita itu memang enak kalau bersama-sama. Kalau sudah begitu, apa kamu nggak bangga banget menyandang KTP asli Jogja? Kalau saya sih bangga banget.
Penulis: Yamadipati Seno
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Jogja Istimewa: Ketika Trotoar Lebih Penting dari Rumah Rakyat