Jogja, si manis berlabel “Kota Pelajar”. Barangkali saat ini sudah naik kasta menjadi Kota Pendidikan Premium. Mimpinya adalah pendidikan untuk semua. Realitanya, semua yang punya uang.
Ibarat angkringan yang tiba-tiba berubah menjadi restoran bintang lima. Rakyat kecil kini cuma bisa berdiri di luar sambil melihat menu. Bedanya? Kalau di restoran, kita bisa pulang sambil nahan malu kalau nggak jadi beli. Di pendidikan? Pulang sambil nahan harapan yang mati.
Daftar Isi
UMR Jogja vs UKT: Duel yang tidak adil
Apa artinya Kota Pelajar jika penduduknya sendiri tak bisa ikut menikmati pendidikan? Mahasiswa pendatang dari kota-kota besar berdatangan membawa koper besar berisi pakaian, gadget, dan akses ke rekening orang tua mereka.
Mereka mengisi bangku-bangku kampus, memadati kos eksklusif di daerah Seturan, memesan kopi mahal di kafe instagramable, dan sibuk membicarakan “tujuan hidup” sambil mem-posting foto dengan tagar #kuliahdimana.
Sementara itu, anak-anak muda lokal memandang dari jauh. Mereka punya mimpi, tentu saja. Tapi, bagi sebagian besar warga Jogja, kampus hanya bisa dinikmati melalui poster, bukan dari dalam kelas.
Biaya UKT yang “dihitung adil” malah jadi jebakan. “Pendapatan rendah, tapi kok golongan UKT tetap tinggi?” Ya, entahlah, mungkin algoritma perhitungan UKT lebih pintar dari manusia.
Di sini, pendidikan itu bukan lagi hak saja, tapi hak istimewa. Mau jadi pelajar? Syarat pertama, punya rekening tebal. Mau pintar tapi miskin? Sabar, pendidikan bukan soal kemampuan, tapi “Bisa bayar atau nggak?”
Mari bicara angka. UMR Jogja? Sekitar Rp2 juta per bulan. Biaya kuliah? Rp7-Rp20 juta per semester. Kalau pendidikan adalah jembatan menuju kesuksesan, jembatan ini terbuat dari emas murni, dan tiket masuknya jelas bukan untuk rakyat jelata.
Mau kerja sambil kuliah? Silakan, tapi siap-siap badan remuk, otak kosong, dan dosen bilang, “Kamu kurang fokus, Nak.”
Di kota ini, para orang tua bukan lagi nabung buat beli tanah atau sawah, tapi buat bayar UKT. Kalau tidak sanggup? Nah, pendidikan berubah jadi hiburan. Cukup lihat gedung kampus dari jauh sambil berkata, “Nanti kalau kaya, aku kuliah di situ.”
Kampus besar memang keren. Gedungnya tinggi, AC dingin, dosennya nge-Zoom dari luar negeri. Tapi uang kuliah? Lebih dingin dari sikap gebetan yang nggak pernah bales chat. Mahal, Bung! UMR aja cuma Rp2 juta. Di mana logikanya UMR vs UKT? Ini duel yang bahkan wasitnya sudah tahu siapa pemenangnya.
Ironi berkelas internasional, warga Jogja yang tertinggal
Di balik gedung-gedung tinggi ber-AC, diisi pelajar dengan sepatu bermerek, ada warga lokal yang sibuk menghitung receh di parkiran. Anak petani? Anak tukang becak? Kuliah di sini? Ah, jangan terlalu muluk.
Kampus sudah jadi pusat bisnis dengan tagline: “Mencetak pemimpin bangsa.” Tapi, mereka lupa bilang, bangsa mana? Soalnya yang lulus kebanyakan datang dari luar kota, pulang membawa ijazah dan kenangan indah di kafe estetik.
Sementara anak-anak Jogja sendiri? Mereka sibuk ngangkut cucian mahasiswa kos atau jaga warung kopi sambil pasang manis muka: “Monggo, Mas. Ini diskon spesial.” Jogja jadi semacam hotel eksklusif. Pendatang disambut, tuan rumah jadi pelayan.
Ironi Jogja yang mengubur pemiliknya
Ki Hadjar Dewantara, sang Bapak Pendidikan, pasti menangis di pojokan melihat apa yang terjadi. Semangat “Lawan Sastra Ngesti Mulya” membawa manusia menuju kemuliaan melalui pengetahuan, kini sudah menjelma jadi slogan kosong yang penuh debu.
Pendidikan bukan lagi tentang memanusiakan manusia. Ia adalah bisnis elite yang menjual masa depan dalam paket cicilan mahal. Jangan harap jadi pintu kemerdekaan, jika melewatinya saja rakyat kecil pasti terengah-engah.
Kampus-kampus di Jogja hari ini bagaikan toko-toko eksklusif. Warga lokal hanya jadi penonton. Mereka hadir sebagai pelayan kantin, tukang parkir, atau penjaga kos pelajar pendatang.
Bahkan di tanah kelahiran mereka sendiri, mereka tidak menyukai tamu yang diundang. Lucunya, mahasiswa dari luar daerah, yang datang dengan koper penuh rupiah, justru mendominasi ruang-ruang diskusi, laboratorium, dan seminar ber-AC. Adil? Tidak. Tapi siapa yang peduli?
Pendidikan: Alat pembebasan atau penindasan?
Paulo Freire pernah mengatakan bahwa pendidikan harus memerdekakan, bukan menindas. Di Jogja, konsep ini justru jungkir balik.
Pendidikan tinggi menjadi mekanisme “perbudakan modern”, jika tidak bisa membayar, silakan minggir. Mahasiswa-mahasiswa memproduksi bak barang pabrik, siap saji untuk pasar kerja, tapi kosong dari kesadaran kritis.
Tidak ada lagi ruang bagi pendidikan sebagai alat pemberdayaan. Slogan kampus mungkin berbicara soal moral, masa depan bangsa, atau keadilan, tapi lembar tagihan bicara lebih jujur: “Bayar dulu, baru boleh mimpi.”
Kampus: Tempat berilmu atau pabrik gelar?
Ironisnya, meski mahal, kualitas pendidikan terkadang-kadang lebih zonk daripada diskon toko online. Kuliah lima tahun, hafal powerpoint dosen, menyampaikan cuma jago ngetik “Mohon maaf saya belum mendapat pekerjaan.”
Kampus-kampus berlomba-lomba menanam slogan indah di gerbangnya: “Unggul, Berkualitas, dan Berdaya Saing Global.” Tapi kenyataannya? Lulusan mereka sering kalah saing sama anak TikTok yang membuat konten tiga menit.
Kalau begini terus, jangan salahkan anak muda kalau lebih milih jadi influencer daripada pelajar. Setidaknya, jadi influencer bayarannya jelas, nggak perlu nyicil 10 tahun buat lunasin biaya kuliah.
Jogja, kota pelajar yang gagal jadi rumah sendiri
Kita harus jujur, Jogja hari ini lebih ramah pada turis daripada warganya sendiri. Anak-anak lokal melihat kampus-kampus besar seperti gedung Disneyland menarik, megah, tapi tiket masuknya bikin nangis. Kota ini bangga jadi pusat pendidikan, tapi menjadikannya gagal aksesibel. Gagal memahami bahwa ilmu bukan hak kaum elite.
Tamansiswa berdiri di kota ini hampir seabad lalu dengan idealisme sederhana, pendidikan untuk semua, tanpa memandang status ekonomi. Namun kini, gedung-gedung mewah berdiri gagah, tapi idealisme itu terkapar. Jika pendidikan adalah hak semua rakyat, maka di Jogja hak itu sudah menjadi barang langka. Hanya ada di etalase mahal yang dijaga ketat oleh penjaga bernama “kemampuan ekonomi”.
Ki Hadjar Dewantara pernah berkata: “Pendidikan itu memerdekakan.” Tapi hari ini, pendidikan di Jogja lebih suka memperbudak, menindas, dan menutup pintu rapat bagi rakyat kecil. Ki Hadjar, maafkan kami, sebab di kotamu sendiri, ajaranmu kami ludahi tanpa malu.
Jogja masih menempelkan julukan “Kota Pelajar” dengan bangga. Tapi kita semua tahu, itu cuma manis untuk menyembunyikan kalimat realita pahit. Kota ini mungkin masih penuh dengan pelajar, tetapi bagi anak-anak lokal, pendidikan adalah mimpi mahal yang hanya bisa diucapkan sambil memandang bintang. Sebuah kota pelajar yang lebih ramah pada isi dompet daripada kecerdasan dan impian anak bangsa.
Selamat datang di Jogja. Kota pelajar bagi yang mampu, kota penonton bagi yang tidak.
Penulis: Karunia Kalifah Wijaya
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Ironi dan Fakta Kota Pelajar: Ketika Remaja Asli Jogja Justru Tidak Bisa Menikmati Bangku Kuliah
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.