Jogja, Kota Pelajar yang Mengajarkan Saya Ikhlas Menderita

Jogja, Kota Pelajar yang Mengajarkan Saya Ikhlas Menderita

Jogja, Kota Pelajar yang Mengajarkan Saya Ikhlas Menderita (unsplash.com)

Kalau ada lomba daerah dengan UMR paling sabar se-Indonesia, Jogja pasti juara bertahan. Tahun 2025, UMP Jogja Rp2,26 juta, UMK Kota Rp2,65 juta. Angka ini kalau dilihat di kertas memang tampak resmi dan rapi. Tapi begitu diturunkan ke dapur rumah tangga, angka itu terasa kayak uang kembalian parkir. Ada tapi kecil banget.

UMK Jogja itu ibarat sinetron Indosiar: panjang, penuh janji kebahagiaan, tapi ujung-ujungnya bikin nangis juga.

Rp2,6 Juta bisa buat apa?

Katakanlah Mas Bejo, buruh harian di Jogja, gajinya sesuai UMK Rp2,65 juta. Tiap bulan, gajinya 1 juta habis buat kontrakan di pinggiran Sleman. Lalu 500 ribu buat bensin dan parkir dan 500 ribu buat makan. Itu pun harus sering-sering masak tempe sama sayur bayam. Sisa 650 ribu? Buat listrik, pulsa, dan kalau ada sisa ya… ditabung. Ditabung? Hehehe, bercanda.

UMK Jogja itu ibarat bensin motor yang cuma cukup buat jalan dari rumah ke SPBU doang. Bisa sampai, tapi langsung habis.

Tanah di Jogja, mimpi yang kini jadi mitos

Sekarang mari kita beralih ke masalah tanah. Ngomongin tanah di Jogja itu kayak ngomongin mantan. Dulu dekat, sekarang jauh.

Ambil contoh keluarga Bu Siti. Suaminya kerja jadi satpam di kampus swasta, gajinya UMR. Bu Siti jualan jajanan pasar di kampung. Mereka pengin banget beli tanah di Sleman biar bisa bikin rumah sederhana. Harga tanah di sana? Rp4 juta per meter! Ukuran minimal 60 meter udah habis Rp280 juta.

Dengan penghasilan mereka, butuh 13 tahun nabung full tanpa makan, tanpa sakit, tanpa nikahan anak, tanpa beli gas LPG. Itu cuma buat tanahnya, lho, belum bangunannya. Jadi ya sudahlah, akhirnya mereka memilih kontrak rumah di pinggiran Kulon Progo. Dekat dengan bandara baru, tapi jauh dengan mimpi lama.

Kuliah mahal kayak harga ego

Jogja katanya Kota Pelajar. Tapi biaya kuliah di sini sekarang lebih mirip harga tiket konsep Coldplay kelas VIP.

Contohnya Rani, anaknya Bu Siti. Pinter, nilainya bagus, keterima di salah satu kampus negeri top di Jogja. Tapi pas lihat UKT Rp9 juta, keluarganya langsung kaget. Itu setara tiga bulan gaji bapaknya, dan enam bulan dagangan ibunya.

Akhirnya, Rani terpaksa ambil kuliah di kampus swasta kecil, karena ada potongan biaya. Bukan karena nggak mampu belajar, tapi nggak mampu bayar. Di Jogja, ternyata kualitas otak kadang kalah sama ketebalan dompet.

Beasiswa? Ada. Tapi rebutannya kayak rebutan kursi kosong bus Trans Jogja jam pulang kerja. Banyak yang pinter, tapi kursinya terbatas.

Jogja murah? Murah buat siapa?

Banyak wisatawan bilang, “Wah, Jogja murah, ya.” Ya jelas murah, Mas. Kamu ke sini cuma tiga hari, makan gudeg Rp15 ribu, sewa motor Rp70 ribu, terus pulang.

Akan tetapi buat anak kos kayak Bima, mahasiswa rantau asal Kebumen, Jogja nggak murah. Kontrakan Rp900 ribu, listrik token, WiFi Rp150 ribu, bensin Rp300 ribu, makan sehari-hari Rp30 ribu. Total? Satu bulan hampir Rp2 juta. Itu belum bayar kuliah.

Belum lagi kalau ada tamu mendadak teman SMA main ke kos. Ujung-ujungnya traktir di kafe hipster, sekali nongkrong bisa habis Rp70 ribu. Itu sama aja tiga kali makan nasi kucing di angkringan.

Jogja memang murah… kalau kamu turis. Tapi buat yang hidup di sini tiap hari? Kota ini terasa mahal, meskipun orangnya tetap maksa nyengir.

Jogja, mantan yang selalu bikin rindu tapi juga bikin sakit kepala

Jogja itu kayak mantan cantik yang dulu sederhana, dulu suka makan pecel lele di pinggir jalan, dulu seneng diajak nongkrong di angkringan. Tapi sekarang, setelah “naik level”, dia lebih suka makan steak wagyu di resto mahal, nongkrong di kafe rooftop, dan temenan sama investor luar kota.

Kita, yang dulu pernah jadi orang penting di hidupnya, sekarang cuma bisa ngeliatin dari jauh sambil nyesek. Mau balik? Bisa, tapi kita cuma jadi penonton. Jogja tetap cantik, tapi bukan lagi untuk kita.

UMR kecil, tanah mahal, biaya kuliah selangit, semua ini bikin Jogja mirip acara reality show: penuh drama, penuh ketidakadilan, tapi kita tetap nonton karena telanjur sayang.

Kota yang mengajarkan satu hal: ikhlas

Pada akhirnya, Jogja itu sekolah kehidupan. Dari Jogja, kita belajar bahwa nggak semua yang manis di awal, manis juga di akhir. Kita juga belajar kalau murah itu relatif: murah buat turis, mahal buat warga. Awalnya Kota Pelajar, bisa pelan-pelan berubah jadi kota investor. Investor yang datang ke sini semakin bertambah.

Ikhlas juga menjadi hal penting yang dipelajari di Jogja. Ikhlas lihat rumah kontrakan tiap tahun naik, ikhlas bayar kuliah sambil ngutang, dan ikhlas kerja sebulan penuh cuma cukup buat bayar hidup tanpa bisa mikir masa depan.

Jogja memang istimewa. Tapi istimewanya kadang kayak hadiah undian. Keren buat dipajang di iklan, tapi jarang bisa kita nikmati sendiri.

Jadi, apa Jogja masih istimewa?

Kalau pertanyaannya seperti itu, jawabannya tergantung. Kalau kamu turis yang mampir tiga hari, Jogja tetap surga murah meriah. Kalau kamu mahasiswa anak pejabat, Jogja tetap kota pelajar.

Akan tetapi kalau kamu buruh, pegawai rendahan, anak kos kere, atau warga lokal yang tiap bulan harus jungkir balik ngatur gaji UMR? Jogja bukan lagi kota pelajar, ia sudah berubah menjadi kota penuh penderitaan.

Meski begitu, kita tetap saja nggak bisa membenci Jogja. Sama kayak mantan. Bikin sakit hati, bikin nangis, tapi entah kenapa tiap kali ada yang menyebut namanya, hati kita tetap hangat.

Jogja mungkin bukan lagi kota yang kita kenal. Tapi ia selalu menjadi kota yang kita cintai, meski cinta itu makin terasa mahal.

Penulis: Karunia Kalifah Wijaya
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA 3 Pekerjaan yang Bisa Bikin Kamu Kaya di Jogja Tanpa Jadi Budak Freelance.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version