Jogja Hanya Cocok untuk Tempat Singgah, Kurang Nyaman Jadi Tempat Menetap

Jogja Hanya Cocok untuk Tempat Singgah, Kurang Nyaman Jadi Tempat Menetap Mojok.co

Jogja Hanya Cocok untuk Tempat Singgah, Kurang Nyaman Jadi Tempat Menetap (unsplash.com)

Orang bilang, Jogja itu bikin betah. Buktinya banyak orang datang ke sana niatnya hanya untuk kuliah, tapi malah jadi kerasan dan nyaman untuk singgah. Memang banyak kejadian seperti itu, tapi tidak sedikit pula yang meninggalkan daerah ini setelah lulus kuliah. Bahkan, tidak hanya mereka yang perantauan, orang asli Jogja pun banyak yang memutuskan mengadu nasib di daerah lain. 

Kata beberapa teman, daerah ini memang asyik untuk singgah secara sementara seperti untuk menempuh pendidikan atau untuk berwisata, tapi tidak untuk menetap selama-lamanya. Jogja tidak sepenuhnya mencerminkan slogannya “Berhati Nyaman”. Ada beberapa hal  dari Jogja yang membuatnya tidak nyaman. 

#1 UMR kecil, tidak sebanding dengan kebutuhan masyarakat

Sudah jadi rahasia umum kalau UMR di Jogja itu nggak seberapa. Beberapa tahun ke belakang kenaikan UMR-nya memang lumayan, tapi masih saja tertinggal dengan daerah lain. Lebih mengenaskannya lagi, besaran UMR ini tidak sebanding dengan kebutuhan sehari-hari. Contoh paling sederhana, beli gorengan di Jogja bisa dengan duit Rp500 perak saja. Kini, ada yang menjual 2.000 dapat 3 saja sudah syukur karena rata-rata harga gorengan di Jogja sudah seribu rupiah per biji. 

Itu baru gorengan, belum kebutuhan-kebutuhan lain yang lebih fundamental seperti pendidikan. Asal kalian tahu, Kalau kita ingin menyekolahkan anak di sekolah swasta yang kualitasnya bagus. SPP anak TK hingga SD di sekolah swasta minimal Rp500.000 per bulan. Itu belum biaya pendaftaran, daftar ulang setiap tahun, dan iuran-iuran lainnya. Gaji UMR yang hanya Rp2 jutaan hanya bisa tertawa miris melihat kenyataan itu. 

Tidak heran kalau banyak orang Jogja kemudian merantau ke daerah lain untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Dengan bekerja di luar kota, mereka bisa membiayai kehidupan keluarganya yang ada di Jogja tanpa khawatir. Bahkan, mereka bisa merencanakan liburan, hal yang mewah bagi warga Jogja yang sehari-hari dibayar UMR.  

#2 Buka usaha di Jogja tidak semudah bayangan

Saat Covid-19 lalu, teman saya dan suaminya menjadi salah satu korban PHK di kantornya. Mereka bekerja di Tangerang. Beberapa saat setelah kejadian itu, orang tua mereka meminta untuk kembali saja ke rumahnya di Gunungkidul. Teman saya akhirnya mengikuti kata orang tuanya, sambil berharap nanti di rumah bisa membuka usaha sendiri.

Ternyata harapan itu hanyalah harapan. Menjalankan berbagai usaha di bidang makanan tidak membuat teman saya ini untung justru malah makin buntung. Mungkin daya beli masyarakat yang rendah jadi salah satu alasannya. Mengapa bisa demikian? Karena memang pasarnya tidak berkantong tebal. 

 Singkat cerita, teman saya pun kembali merantau. Di perantauan mereka memulai bisnis di bidang makanan kembali. Dan hasilnya? Teman saya masih bertahan di perantauan hingga saat ini. Bahkan, setiap lebaran dan tahun baru, mereka mampu untuk mudik. Ini menunjukkan, sesusah-susahnya mereka hidup di perantauan, mereka masih bisa membuahkan untung.

#3 Perputaran ekonomi tidak cepat, bikin sambat

Menurut cerita salah seorang teman yang merantau di pinggiran Jawa Timur, perputaran ekonomi di Jogja memang berbeda jauh. Menurutnya, pengusaha-pengusaha di Jogja masih memakai konsep memperkaya diri, sehingga warga lokalnya tidak bisa ikut menikmati apa yang ada di Jogja. Hal ini menekan perputaran ekonomi karena hanya segelintir pihak saja yang menikmati keuntungan. 

Berbeda dengan tempat tinggal teman saya yang ada di Jawa Timur. Di sana, ada banyak taman kota yang dibangun secara merata di daerah dan dikampanyekan secara aktif di medsos pemerintahan. UMKM yang berjualan di sana pun mendapatkan container secara free. Tak hanya itu, ada tempat wisata sederhana seperti mini zoo atau edupark yang memberikan harga khusus untuk warga lokal setempat. Tujuannya adalah untuk melestarikan wisata lokal setempat yang akhirnya bisa dengan mudah memutar ekonomi.

Saya tidak ada maksud buruk, hanya ingin memaparkan kenyataan yang terjadi di Jogja. Realitasnya, narasi tentang Jogja yang nyaman untuk hidup tidak sepenuhnya benar. Ada hal-hal yang perlu dilihat kembali sebelum menggolongkan Jogja tempat yang nyaman untuk hidup bahkan menghabiskan masa tua. Semoga lewat tulisan ini, Jogja bisa segera berbenah. 

Penulis: Umi Hartati
Editor: Kenia Intan

BACA JUGA 3 Daerah Tidak Ramah Perantau di Jogja yang Perlu Dihindari

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version