Cinta Terhalang restu, sudah biasa. Cinta bubar di tengah jalan akibat ketahuan selingkuh, sebab “Aku Lebih memilih dia, atau karena aku tidak cinta kamu lagi seperti dulu, sudah basi. Kini seseorang menuntut orang lain agar punya kesempurnaan. Hingga sekedar cek-cok pun juga perihal kesempurnaan. Tidak ada lagi romantisasi aku cinta kau apa adanya dan kata-kata gombal naif yang kadang bikin perut kontraksi ingin boker lainnya.
Dulu, saya sering heran melihat cewek-cewek yang jealous ketika pasangannya menonton blue film. Saya sih nggak habis pikir “Apaan sih, biarin aja kali, cowok mah wajar nonton yang begituan.” Hingga akhir-akhir ini saya sering sekali melihat tweet berseliweran di timeline twitter tentang keinsecure-an para wanita dengan tubuhnya karena membaca komen cowok yang suka membanding-bandingkan cewek dengan artis dari film dewasa yang mereka tonton. Komentar perihal jerawat, komedo, ih kamu gendutan, ih kamu kurusan, ih muka mu kusam, memang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan persoalan ‘mendalam’ dalam artian 18++, contohnya saja seperti yang saya baca dari salah satu sender dalam konten #KamisMalam milik @brian.khrisna:
“Dari Luar mulus kaya papan karambol, pas ke bawah item kaya oli samping”.
Brian Khrisna yang terbiasa memberi tanggapan dengan caption yang membuat perut kaku tiba-tiba berubah menjadi sedikit lebih serius dibandingkan biasanya:
“Serius dikit. Sebenernya ga masalah kok. Toh itu daerah lipatan, pasti menghitam. Buat cewek-cewek jangan minder yaa..”
Saya juga sempat menemui cuitan dari salah satu akun base yang lewat di timeline tentang ‘bentuk dan warna vulva wanita yang menggelap dan bergelambir itu normal’, daan ketika saya lihat komentar-komentarnya, miris sekali pemirsaa…
“emang ya normal nder, tapi ya gimana ya kadang yang bikin insecure tuh cowok-cowok yang pengen daleman kita sama percis sama pemain bokep yang mulusnya warbyasa” (@stuckonew89)
“Jujur aku insecure karena hal ini, dan ga pengen nikah aja jadinya” (@akalpena)
“Apalagi yang ada berita soal suami ceraikan istri gara-gara pantatnya hitam, i-mean isn’t that mulus also. Jadi takut sumpah takut” (@akalpena)
Sekarang saya paham mengapa banyak wanita yang jealous ketika pasangannya menonton film yang demikian. Di samping karena merasa insecure dengan diri sendiri, beberapa juga takut dibanding-bandingkan oleh pasangan. Belum lagi apabila pasangan tiba-tiba memiliki standar ideal baru dalam urusan bercinta—yakni yaa harus seperti di blue film. Body-nya harus seperti di blue film, desahnya harus sama seperti di blue film, tahan lamanya harus sama seperti di blue film.. dan well, pada akhirnya yang terjadi berikutnya hanya cek-cok antar pasangan karena salah satu pihak merasa kehidupan seks-nya tidak memuaskan karena secara visual mereka tidak mendapatkan gairah seperti apa yang mereka lihat di film ketika bercinta. Padahal faktanya, konsep bercinta tidak seperti itu.
Industri blue film merupakan industri yang paling menguntungkan di dunia dan lebih menguntungkan daripada industri di bidang teknologi dan retail. Setiap tahunnya industri blue film meraup untung sekitar US$13 miliar dari 13.000 blue film yang diproduksi. Jumlah tersebut melampaui rata-rata pendapatan hollywood pertahunnya. Selain itu, seperti yang dilansir dari Stop Porn Culture, industri porn video meraup lebih banyak keuntungan setiap tahunnya dari perusahaan teknologi sekelas Google, Microsoft, Amazon, dan Netflix.
Namun, tahukah kalian, wahai cowok/cewek yang sudah addict dan tidak bisa lepas dari dekapan porn vid, bahwa sedikit banyak, kalian telah dibodohi oleh rumah produksi blue film? (agak kasar sebenarnya menyebut ini pembodohan, karena yang namanya bisnis ya tetap saja bisnis: Semua pebisnis ingin memberikan produk terbaik demi keuntungan terbaik, dan semua konsumen ingin mendapatkan produk terbaik demi kepuasan terbaik, bukan?)
Baiklah, mari kita buka dengan kesempurnaan wujud aktris pemain blue film. Sudah jelas terlihat dan terpampang nyata keelokan lekuk serta kemulusan, ditambah beningnya bagian organ seksual aktris wanita yang sudah masuk pada tahap tidak masuk akal. Sebelum mental kalian tamat, yang perlu diingat adalah…
…produksi film adalah sebuah bisnis. Dalam bisnis pasti ada yang dijual, dan yang dijual dalam blue film adalah estetika. Maka sudah jelas dalam proses produksi, dilakukan banyak sekali touch up make-up dan editing khususnya pada bagian tubuh ‘yang dijual’ tersebut. Belum lagi ditambah dengan operasi dan treatment pada bagian seksual yang memperkuat kesempurnaan dan godaan.
Selain itu, Ternyata banyak wanita yang mengidamkan organ seksual pria yang super oh waw so big seperti di blue film dan berujung menggerutu ketika melihat milik pasangannya tidak sesuper itu. Padahal percayalah, hanya ada sedikit wanita yang bisa menghadapi ukuran organ seksual pria yang terlampaui besar. Menurut Seymore Butts, salah seorang produser film dewasa kondang, cukup banyak aktris blue film yang sebenarnya merasa kesakitan ketika beradegan seks dengan bintang porno yang ber-organ besar.
“Saya biasanya mengedit wajah aktris yang tampak kesakitan, karena itu mengganggu. Itu bisa menghilangkan fantasi penonton”. kata Butts.
Ngomong-ngomong soal editing, ternyata, proses edit blue film memakan biaya yang lebih besar dibandingkan bayaran aktris dan aktor blue film itu sendiri. Proses editing memang memainkan banyak sekali peran dalam pembuatan blue film. Contohnya saja yang terjadi pada orgasme. Bagi yang tidak tahu, kebanyakan orgasme yang terjadi pada aktris blue film adalah palsu. Untuk mendapatkan scene orgasme berkali-kali, produser film biru menyiasatinya menggunakan sudut kamera untuk memecahkan kantung air demi sebuah orgasme buatan.
Begitu pula editing yang terjadi pada durasi pemain dan semangat bermain yang tak pernah mati. Memang merupakan rahasia umum bahwa banyak di luar sana yang iri dengan kekuatan aktris dan aktor blue film, hingga sempat muncul anggapan bahwa aktris dan aktor yang digaet oleh industri tersebut hanyalah orang-orang yang memiliki kelebihan dalam berhubungan badan. Padahal sebenarnya produksi blue film mirip prosesnya dengan pembuatan film-film pada umumnya, yakni dilakukan penggabungan rekaman per-frame setelah banyak sekali dilakukan proses cut-scene, take ulang action, dan editing, hingga taraaa… pecahan-pecahan adegan tersebut akhirnya menjelma menjadi film utuh dengan durasi panjang yang bikin ngiler mata dan batin.
Semua adegan yang terdapat dalam blue film sama sekali tidak menggambarkan apa yang terjadi di kehidupan nyata. Lantas, apabila jumlah spesies penuntut dan jumlah spesies insecure terus menerus bertambah, akankah suatu saat kaum berbahaya ini semakin berkembang jumlahnya dan menjadi budaya? Mungkinkah ada suatu masa kita hidup di era dimana muncul story dengan latar background hitam dengan caption : “Jika cintamu adalah hasil doktrin blue film, aku bisa apa?” (*)
BACA JUGA Kumpulan Kisah UwU di Balik Aksi Mahasiswa di Jakarta atau tulisan Helda Pebita lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.