Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Pepatah itu sangat tepat menggambarkan kondisi saya saat ini. Dua tahun tinggal di Jerman membuat saya mempunyai beberapa kebiasaan baru, yang bisa dibilang jauh dari kebiasaan lama saya selama di Indonesia.
Hidup di Eropa yang menganut budaya sangat berbeda dengan Asia menjadi tantangan tersendiri buat saya. Hal sepele memang, tapi efeknya besar untuk orang Asia macam saya. Ini nggak sesepele ganti menu yang biasanya nasi terus diganti menu lain. Sama sepelenya, tapi punya efek yang besar.
Berikut adalah kebiasaan-kebiasaan baru yang bakal muncul jika kita hidup di Jerman.
Daftar Isi
Jarang mandi
Hidup di Eropa, khususnya Jerman, saya pikir cocok untuk orang yang males mandi (tapi badannya nggak bau, itu). Kenapa? Karena kalian jadi nggak wajib-wajib amat mandi tiap hari.
Contohnya saya, yang mandi dua hari sekali, bukan dua kali sehari. Iya betul, inilah yang saya lakukan selama tinggal di Jerman untuk urusan mandi.
Sebenarnya ini sangat lumrah di Eropa. Tapi untuk saya yang awalnya menganut budaya sering mandi tentu tidak biasa dan sulit untuk mengubah, dan saya dipaksa untuk terbiasa dengan ini. Alasannya, karena memang udara di Eropa berbeda, lebih kering dan kelembabannya rendah. Jadi bukan karena jorok ya.
Selain itu banyak orang Jerman yang bilang jika sering mandi kulit akan rusak. Lah kok bisa? Saya sempat tidak percaya dan mencoba membuktikan. Dan benar saja, kulit saya jadi bersisik dan kering sekali. Jadi mulailah saya percaya jarang mandi itu perlu.
Jika ingin berangkat kerja, cukup mencuci muka dan menggosok gigi saja, sangat menghemat waktu juga kan. Cocok sih buat orang-orang yang mageran dalam urusan mandi.
Baca halaman selanjutnya: Memilah sampah di Jerman…
Memilah sampah di Jerman
Pengolahan sampah di Jerman memang saya acungi dua jempol. Bagaimana tidak, mereka sangat disiplin dalam memilah dan membuang sampah. Mereka punya empat jenis tempat sampah utama yang dibedakan berdasarkan warna. Yaitu, warna coklat sampah organik yang gampang didaur ulang, warna kuning sampah plastik, warna hijau sampah kertas, dan warna hitam sampah yang sulit di daur ulang.
Sebenarnya masih banyak jenis tempat sampah lainnya yang bisa bikin pusing. Seperti tempat sampah untuk baterai. Saya pernah ditegur waktu awal-awal di Jerman karena pernah membuang sampah baterai ke tempat sampah hitam. Karena saya pikir itu termasuk sampah yang susah terurai, eh ternyata ada tempat sampah sendiri untuk baterai.
Dua tahun di Jerman, membuat saya punya rasa hati-hati dalam membuang sampah. Kepekaan terhadap memilah sampah pun saya bawa waktu saya balik ke Indonesia tahun lalu. Ketika ingin membuang kertas, saya otomatis mencari tempat sampah bewarna hijau, lupa jika di Indonesia tidak ada hal serupa. Selain itu Jerman juga membuat saya terbiasa untuk mengantongi sampah jika saya tidak menemukan tempat sampah.
Mengumpulkan botol
Di Indonesia, kemasan minuman botol plastik atau kaleng tidak begitu berharga. Tapi Jerman, setiap kemasannya bernilai uang. Singkatnya, di setiap botol minuman yang kita beli bisa ditukarkan dengan uang senilai 25 sen. Ini adalah cara pemerintah Jerman untuk menjalankan sistem daur ulang di mana seseorang bisa menukarkan botolnya melalui sebuah mesin dan mendapat uang.
Dari sinilah saya memulai hobi untuk mengumpulkan setiap botol atau kaleng minuman yang saya beli. Tidak hanya saya, tentu kebanyakan orang akan punya hobi ini. Kalau sudah dirasa cukup banyak terkumpul, biasanya saya tukarkan dengan bahan makanan. Contohnya dengan 8 botol minuman bekas saya bisa menukar dengan 1 kg beras, lumayan kan. Ini buat saya jadi seperti menabung saat nanti tidak punya uang.
Itulah mengapa banyak yang bilang jadi pemulung di Jerman bisa jadi kaya. Saya pernah melihat ada warga asing yang menukarkan dua karung besar botol bekas, saya rasa ada itu 300 botol. Bisa kebayang kan berapa uang yang dia dapat. Dan juga jangan kaget, jika tiba-tiba di jalan ada orang yang nyamperin karena melihat cuma untuk minta botol kosong yang kita pegang, itu sudah biasa.
Membuat janji temu di Jerman itu wajib!
Yang sangat menonjol dari kebiasaan orang Jerman adalah keteraturan dalam waktu dan menjadwalkan segala hal. Seperti contoh, membuat janji temu. Di Jerman sekenal dan sedekat apa pun kamu dengan seseorang, tidak bisa begitu saja bertemu dan berkunjung tanpa janji temu. Iya, udah saklek begitu.
Saya pun mulai menyadari menerapkan hal itu pada diri saya. Jika ingin bertemu seseorang saya terbiasa menghubungi jauh-jauh hari. Biasanya, setelah itu saya mencatat semua janji temu yang saya punya di kalender detail dengan jamnya dan lokasinya, tentu agar tidak lupa.
Selain itu, ketika kita ingin membuat janji temu baru, kita bisa melihat janji temu apa saja yang sudah kita punya. Apakah waktunya pas, atau bertabrakan dsb.
Menolak ajakan dadakan dan acara tak terencanakan tidak jarang saya lakukan. Tentu dengan alasan, saya sudah punya janji terlebih dahulu. Buat saya sendiri, sebenarnya hal ini bagus, karena saya merasa lebih terstruktur dalam masalah kegiatan.
Hidup di negara orang memang memaksa kita untuk mempunyai kehidupan baru, tentu dengan kebiasaan baru pula. Dan mau tidak mau, kita harus terbiasa. Ada yang bersifat positif juga negatif. Apa pun itu, semua bisa jadi pengalaman dan cerita untuk kita simpan.
Penulis: Aminatus Sholihah
Editor: Rizky Prasetya