Saya orang Bangkalan Madura yang beberapa waktu lalu ke Jember. Waktu yang singkat sudah cukup untuk menyadarkan saya bahwa Bangkalan tertinggal jauh, teramat jauh.
Bangkalan, salah satu kabupaten di Pulau Madura, tak tidak lebih dari sekadar daerah mangkrak yang bersembunyi di balik julukan Kota Dzikir dan Sholawat. Dibandingkan dengan kota-kota di Jawa Timur, kabupaten ini nggak ada bagus-bagusnya. Apalagi dibandingakan dengan Jember, nggak bersaing blas.
Fakta pahit ini saya sadari ketika beberapa waktu yang lalu bertandang ke Kabupaten Jember karena suatu urusan keluarga. Saya berada di Jember selama satu minggu. Waktu yang singkat memang, tapi waktu ini cukup untuk meninggalkan kesan mendalam di hati saya. Kabupaten kesayangan saya, Bangkalan, jelas tertinggal dalam banyak hal.
Daftar Isi
Jarang gelandangan dan tukang parkir
Selama seminggu di Jember, saya sering menjelajahi sudut-sudut kota. Saya ngopi di beberapa kafe hingga mencicipi beberapa warung makan. Selama eksplorasi itu, saya jarang menemukan gelandangan dan tukang parkir. Ada sih beberapa, tapi jelas tidak sebanyak Bangkalan.
Coba sekali-kali kalian ke Bangkalan Madura. Sangat mudah menemukan gelandangan dan pengemis di sana. Apalagi tukang parkir, seakan-akan mereka sudah menguasai setiap petak tanah di Bangkalan. Adalah sebuah keajaiban di Bangkalan kalau minimarket seperti Indomaret dan Alfamart tidak ada tukang parkirnya.
Saya rasa, banyaknya tukang parkir di Bangkalan adalah konsekuensi dari daerah dengan jumlah penduduk miskin terbanyak. Mengutip data Detikjatim, Bangkalan menduduki posisi ke-2 sebagai kabupaten dengan jumlah penduduk miskin terbanyak di Jawa Timur. Angkanya mencapai 19,44 persen.
Bagaimana dengan Jember? Posisinya sangat jauh di bawah Bangkalan, menempati peringkat ke-21. Artinya, jumlah penduduk miskin di Jember jauh lebih sedikit daripada Bangkalan atau sekitar 9,38 persen saja. Tidak mengherankan kalau daerah ini minim gelandangan, pengemis, dan orang-orang yang bekerja di sektor nonformal seperti tukang parkir.
Jember yang terawat dengan baik
Dilihat dari sisi pengelolaan dan perawatan kota, Jember jelas lebih terurus. Salah satu hal sepele yang menarik perhatian saya adalah huruf-huruf yang terpasang di gedung-gedung pemerintahan dan instansi pendidikan. Di Jember, huruf-huruf itu semuanya terawat. Nyaris tidak ada yang hilang dan usang. Marwah instansi jadi terlihat elegan dan berwibawa.
Berbeda jauh dengan Bangkalan. Kantor Komite Olahraga Nasional (KONI) daerah setempat misalnya. Jangankan huruf-huruf yang menunjukkan identitas gedung, dari jauh sudah terlihat lokasi dan gedungnya tidak terawat. Rumput liar bermunculan dan dinding-dindingnya usang.
Gedung-gedung instansi pendidikannya pun sama memilukannya. Kalau kalian lewat di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Bangkalan, ngelus dada pasti. Tampilan sekolah tinggi kok seperti itu. Selain warna gedungnya yang memudar, huruf di tulisan STKIP rusak-rusak dan tak terawat. Sama sekali nggak menunjukkan marwah sekolah tingginya pokoknya.
Setelah saya pikir-pikir, sepertinya hanya gedung DPRD, Polres, dan Pemdanya saja yang bagus dan sedikit terawat di Bangkalan. Sisanya ya ambyar.
Baca halaman selanjutnya: Banyak hiburan
Banyak hiburan
Hiburan di Bangkalan tidak banyak. Paling hanya alun-alun, itu pun menarik di Minggu pagi saja. Selain momentum itu sepi. Ada semacam mal sih, namanya Bangkalan Plaza. Saya sebut “semacam mal” karena menurut saya nggak layak disebut mal. Di dalamnya hanya ada Hypermart, MR DIY, dan Matahari. Permainan untuk anak-anak memang ada di sana, tapi banyak yang rusak. Bulan lalu saya coba main cuma bisa yang melempar bola basket. Sisanya, nggak berfungsi dengan baik.
Berbanding terbalik dengan Jember. Alun-alun Jember aduhai meriahnya. Kalau malam ada pasar malamnya, kalau pagi bisa untuk olahraga. Di sana juga ada mal yang beneran mal yakni Lippo dan Transmart. Setiap orang Bangkalan yang pernah mampir ke mal ini pasti meratapi nasib seraya berkata, “Kapan ya Bangkalan punya ini?”
Di atas baru hiburannya lho ya, belum termasuk waralaba kuliner modern. Merek-merek yang bagi warga Bangkalan hanya bisa disimak di media sosial. Sependek pengetahuan saya, ketika waralaba kuliner terkena investasi atau membuka gerai di suatu daerah, semakin terbuka pula lapangan pekerjaan untuk warga setempat. Dengan begitu, pendapatan daerah pun kian meningkat.
Sekarang cobalah tengok Bangkalan. Minim sekalin investasi atau waralaba modern yang masuk, paling mentok waralaba Bebek Sinjay, KFC, dan Nelongso. Tidak heran lapangan pekerjaannya terbatas hingga banyak yang menjadi pengangguran, bahkan gelandangan.
Jember yang bikin minder
Mungkin ini tidak terlihat dari tingkah laku saya, tapi di dalam lubuk hati ini perasaan minder terhadap Jember begitu kuat. Kabupaten dengan julukan Kota Tembakau itu begitu megah. Daerahnya menggeliat, terlihat sekali dikelola dengan baik. Kehidupan warganya tampak sejahtera.
Sementara, kabupaten asal saya tampak anteng-anteng saja. Sudah tahu banyak tertinggal, sudah terbukti daerah dengan angka kemiskinan tertinggi ke-2 di Jawa Timur. Petinggi-petingginya seolah nggak terketuk. Sepanjang tahun ya hanya begitu-begitu saja.
Apa yang saya bahas di atas baru sebatas pembangunan fisik lho, belum soal pelayanan dan kualitas pendidikan. Bangkalan semakin dikulik, semakin ingin pindah domisili saja rasanya. Namun, saya terlanjur sayang dengan daerah yang serba kekurangan ini. Saya berharap tahun baru membawa harapan baru bagi Bangkalan. Bolehlah ya saya berharap perlahan kabupaten ini bisa bersaing dengan Jember. Syukur-syukur bersaing dengan Surabaya di kemudian hari.
Penulis: Naufalul Ihya’ Ulumuddin
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Lupakan Bangkalan, Lebih Baik ke Sumenep ketika Berwisata ke Madura
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.