Ada yang hilang di gawean SUCI IX (bacanya, suci wan ex). Ajang pencarian bakat para komika di Kompas TV ini tidak lagi menghadirkan Indro Warkop sebagai salah satu juri. Padahal, Pakde Indro sudah menjadi juri tetap di SUCI, sejak musim pertama pada 2011.
Buat saya, Pakde Indro dengan jargon “kompor gas”nya sudah menjadi ikon juri SUCI. Istilah “kompor gas” di sini berarti menurut penilaian Pakde Indro, penampilan sang komika sangat bagus: menghibur, lucu, dan “pecah”. Saya sebagai pemirsa punya keasyikan tersendiri ketika menebak-nebak, apakah penampilan sang komika bakal disematkan “kompor gas” atau tidak oleh Pakde Indro Warkop.
Namun, ketidakhadiran blio di musim kesembilan ini membuat saya seperti kehilangan hak untuk main tebak-tebakan lagi. Kenapa Pakde Indro “menghilang”?
Menurut saya, pemilihan dewan juri yang tepat adalah salah satu faktor krusial yang membuat ajang pencarian bakat menjadi “enak” ditonton. Pastinya kita mengharapkan dewan juri nggak sekedar copy paste alm. Pak Tino saja. Bagus. Bagus.
Bahkan di stasiun televisi “ituh”, program pencarian bakatnya justru memberikan porsi yang lebih dominan pada para juri, dibandingkan penampilan pesertanya. Penampilan kontestannya sendiri mungkin cuma lima menit. Akan tetapi, penilaian para dewan jurinya bisa dua jam sendiri. Tau, lah program apa yang saya maksud.
Saya mencoba untuk memaklumi eksposur ini. Mungkin saja setelah dianalisis, ternyata penilaian juri memberikan rating dan share yang fantastis dibandingkan penampilan para kontestan. Kita pahamlah kalau rating dan share masih jadi dewa buat stasiun televisi. Jadi bisa saja pihak stasiun televisi merasa “kekuatan” para dewan juri ini yang kudu push to the limit. Kalau perlu semua gimmick mashook semua “menggemukkan” segmen.
Suka nggak suka, ajang pencarian bakat “yang itu” menjadi indikasi, betapa item penjurian tidak hanya berfungsi sebagai pelengkap program. Apalagi umumnya dewan juri adalah para pesohor yang telah dikenal khalayak. Segala omongan, gerak, dan tingkah laku yang kadang overacting itu justru menjadi “modal jualan”.
Alhamdulillah, dari dulu para juri SUCI tidak perlu koprol atau ngomong teriak-teriak untuk sekadar menunjukkan eksistensinya. Dari sejak musim satu sampai sekarang, dua posisi juri diisi oleh publik figur yang memang kompeten di bidang komedi tunggal. Selain Pakde Indro yang selalu hadir, ada Pandji Pragiwaksono dan Raditya Dika yang bergantian menjadi juri tetap di beberapa musim. Saya yakin, tidak ada yang meragukan kemampuan mereka dalam bidang ini. Namun, kembali lagi, kenapa musim ini Pakde Indro Warkop menghilang?
Why… Oooh why???
Ketika suatu saat saya berkesempatan ngobrol dengan Mas Parno, produser SUCI IX, tentu saja hal ini saya tanyakan ke blio. Bagaimana pertimbangan blio akhirnya memutuskan Pandji Pragiwaksono, Raditya Dika, dan Abdel Achrian sebagai dewan juri di musim ini. Berikut penjelasannya.
Pertimbangan pemilihan juri tentunya dilihat dari kapabilitas mereka dalam dunia lawak tunggal, serta karakteristik yang tentunya berbeda satu sama lain. Ketiganya memiliki keunggulan masing-masing yang diharapkan dapat membuat para komika di SUCI IX ini menjadi komika yang ciamik.
Pandji sebagai komika yang berpengalaman world tour, bisa menilai seberapa solid materi dan mental komika ketika di atas panggung. Sementara Radit secara teknis mampu membedah seluruh materi komika yang tampil, dengan super detail. Cing Abdel sendiri diharapkan dapat memberikan sudut pandang yang fresh bagi para komika. Bisa dibilang, blio merupakan salah satu “jembatan” penghubung antara seniman dalam dunia lawak grup, dengan dunia lawak tunggal.
Untuk Pakde Indro Warkop sendiri, jasa beliau dalam komunitas stand up nasional bertahun-tahun lamanya, sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Blio adalah living legend dan figur Godfather, tidak hanya bagi komunitas stand up, tapi juga bagi kami sebagai “pekerja” SUCI.
“Kalau memang Pakde Indro masih disegani di komunitas ini, mengapa blio nggak dipakai lagi?” saya masih penasaran.
“Program ini sudah berjalan sembilan musim. Tidak adanya Pakde Indro pada SUCI kali ini hanyalah salah satu cara televisi untuk memberikan “penyegaran” pada SUCI,” jelas Mas Parno.
Oooh, jadi untuk penyegaran program.
Ah, saya jadi merasa “terlempar” kembali ke masa lalu, saat masih wara-wiri menjadi kru televisi. Walaupun sebuah program bisa dibilang sukses (tentunya rating dan share yang menjadi indikasi utama) dan tayang bermusim-musim, tapi kami dituntut untuk selalu membuat “penyegaran”. Bisa dilakukan dengan melakukan perubahan set, modifikasi sistem penilaian, atau mengganti host dan pengisi acara lainnya. Kebetulan, “penyegaran” di SUCI musim ini berimbas pada hilangnya Pakde Indro Warkop di tim juri.
“Apakah di waktu mendatang, masih ada kemungkinan Pakde Indro melakukan penjurian lagi?” tanya saya.
“Mengapa tidak? Besar harapan kami, semoga ada kesempatan dan sikon yang sudah membaik, Pakde Indro bisa bergabung kembali menggawangi SUCI ke depannya,” jawab Mas Parno.
Yah semoga saja, bila suatu saat Pakde Indro Warkop bergabung kembali ke dewan juri SUCI, untuk “penyegaran” program, bisa diusulkan ke blio untuk mengganti jargon “kompor gas”nya dengan peralatan lain seperti baskom plastik, batu ulekan, atau tutup panci, mungkin?
Sumber Gambar: YouTube Stand Up Kompas TV
BACA JUGA Wawancara Produser SUCI IX: Kompetisi Stand Up Comedy yang Terimbas Covid-19 dan tulisan Dessy Liestiyani lainnya.