Saya adalah tipe orang yang nggak punya banyak referensi soal kuliner, bahkan cenderung mengunjungi tempat makan yang itu-itu saja. Kebiasaan ini akhirnya mengundang kritik dari seorang teman. Menurutnya, saya adalah orang yang membosankan. Akhirnya dia menyarankan saya untuk lebih banyak nonton review dari food vlogger agar memperluas referensi kuliner yang saya miliki.
Meskipun terdengar masuk akal, namun saya menolak dengan tegas saran tersebut. Sebab, pengalaman nggak menyenangkan membuat saya menganggap kalau food vlogger adalah sebenar-benarnya pendusta.
Pengalaman traumatis dengan makanan yang katanya enak banget dan wajib dicoba
Bukan tanpa alasan, kekecewaan ini bermula ketika pertama kali saya ingin mencoba rekomendasi makanan yang diberikan oleh salah satu food vlogger ternama di TikTok. Saat itu, saya mendatangi nasi goreng kaki lima di sekitar RSUD dr. Soetomo Surabaya yang katanya enak banget dan wajib dicoba.
Ekspektasi saya semakin tinggi ketika tiba di lokasi. Sebab, saya masih harus mengantre sampai 45 menit hanya demi satu piring nasi goreng. Pikiran saya saat itu mengatakan kalau makanan ini pasti beneran enak, wong antrenya aja nggak masuk akal. Namun, justru pikiran inilah yang menjadi langkah awal menuju kekecewaan.
Ternyata benar, baru suapan pertama ekspektasi saya langsung hancur lebur. Bagaimana mungkin nasi goreng dengan waktu tunggu 45 menit rasanya nggak jelas dan cenderung hambar? Rasanya literally seperti nasi digoreng dan diberi saus biar meriah. Tapi, karena sudah terlanjur bayar dan nggak ingin buang-buang makanan, akhirnya saya tetap menghabiskan nasi goreng ambyar ini.
Lebih parah lagi, saya mengalami pengalaman serupa sebanyak tiga kali dari tempat dan food vlogger yang berbeda. Iya, saya ngerti kalau soal rasa itu preferensi pribadi, tapi saya juga nggak rewel perkara rasa makanan. Jadi, hal ini yang membuat saya yakin kalau memang makanan dan review dari orangnya aja yang nggak beres.
Berdasarkan pengalaman tersebut, akhirnya saya memutuskan untuk nggak lagi gampang percaya dengan rekomendasi food vlogger. Saya udah kecewa berkali-kali, Lur. Lagi pula beberapa dari mereka dibayar untuk review makanan, jadi ada kemungkinan kalau reviewnya hanya dibuat-buat.
Bertobatlah kalian wahai food vlogger yang ngaku-ngaku review jujur!
Saya nggak menuduh semua food vlogger kalau ngasih review makanan pasti bohong. Tapi, yang nggak jujur juga banyak. Barangkali mereka berprinsip asalkan ada uang semua bisa dibicarakan. Saya ngerti kalau hidup memang butuh uang, tapi caranya nggak menyesatkan orang lain gini, dong.
Padahal masih ada pilihan yang lebih manusiawi seperti memberikan pernyataan di awal pada pemilik restoran kalau makanan akan direview dengan jujur. Saya yakin banyak tempat makan yang nggak masalah dengan persyaratan tersebut. Toh, mereka akan mendapat masukan untuk meningkatkan hidangannya.
Selain itu, saya merasa dengan cara tersebut nggak akan ada pihak yang dirugikan. Dari sisi pemilik tempat makan akan senang karena mendapat masukan, dari sisi audience juga nggak merasa dibohongi, dan yang paling penting kredibilitas food vlogger nggak dipertanyakan.
Makanya food vlogger yang cuma ngaku-ngaku review jujur mending kalian segera bertobat. Sebab, dampaknya serius karena bisa menyebabkan lebih banyak orang nggak percaya dengan rekomendasi yang kalian berikan. Mosok kalian mau diragukan oleh penonton hanya demi nominal yang nggak seberapa itu? Kredibilitas lebih penting, Bos!
Penulis: Dito Yudhistira Iksandy
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Jangan Dicemooh, Food Vlogger Memang Sangat Berguna bagi Kelanjutan Dunia.