Perempuan mana yang nggak tertarik dengan perkosmetikan duniawi sekarang? Ah, tentu bukan saya. Eh, tapi sekarang nggak cuma perempuan lho yang senang dengan dunia kosmetik. Laki-laki juga, kok. Ya nggak apa-apa. Sah-sah saja untuk menunjang penampilan kalau menurut saya. Hanya saja memang kaum hawa lebih mendominasi kalau masalah ini.
Saya jelas sekali menyukai dunia perkosmetikan. Hanya saja saya nggak pandai dalam mengaplikasikannya. Hehehe. Jadinya malah kacau balau. Berakhir memilih riasan super sederhana dan sat set sat set kalau ke mana-mana.
Hmmm… Kalau dibilang nggak makeup ya nggak juga, sih. Soalnya saya masih pakai beberapa jenis makeup yang cukup sederhana dan mendasar seperti BB cream, moisturizer, maskara, liptint, lipcream, dan pensil alis. Sedikit-sedikit bisalah saya merias diri meskipun nggak jadi secantik selebgram nasional kebanggaan warga +62.
Sejujurnya saya ini tipe yang nggak begitu mengandalkan makeup—karena nggak ahli saja ini mah—dan lebih mengandalkan skincare atau perawatan wajah untuk diri sendiri. Menurut saya, kalau wajah sudah bersih, kinclong, glowing, sehat, dan apa pun sebutannya itu, ya sudah deh beres. Saya nggak perlu makeup lagi.
Jadilah wajah saya nggak pernah ada bedanya. Entah pergi ke acara formal, hang out dengan teman, nge-date dengan mas pacar padahal jomblo, atau acara-acara lain yang kebanyakan perempuan memakai makeup on point. Hah.
Nah, saking banyaknya perempuan yang gemar berbagai jenis hingga merek makeup untuk menunjang penampilan, tentu masalah yang paling serius terletak di limbah produksi yang dihasilkan. Nggak heran, dong, perempuan itu nggak cukup kalau hanya punya satu dua merek makeup. Setidaknya harus punya satu dari setiap merek yang terjual di pasaran.
Ya, saya akui juga sih saya sering mbatin seperti itu. Nanti kalau aku sudah jago makeup, aku mau beli yang banyaaakkk! Begitulah kira-kira.
Nggak salah. Namanya perempuan ingin eksplor banyak merek makeup yang menurut kami menarik. Apalagi kalau ada produk keluaran baru yang sesuai dengan warna kulit. Ah, siap-siap kantong jebol, Mylov.
Maka, semakin menumpuklah yang namanya limbah produksi, sumber daya bahan baku, hingga limbah kemasan yang dihasilkan pabrik-pabrik kosmetik itu tadi. Isu lingkungan semacam ini sebetulnya menarik lho untuk dikaji. Berangkat dari keresahan akan penumpukkan limbah kosmetik inilah, akhirnya lambat laun muncul yang namanya sustainable beauty.
Istilahnya saja sudah sustainable beauty. Ya tentu nggak jauh-jauh dari penggunaan kosmetik secara ramah lingkungan. Penerapan sustainable beauty ini lebih berarti makeup routine atau penggunaan kosmetik yang memiliki dampak aman bagi makhluk hidup dan tentunya harus ramah lingkungan.
Kebanyakan kosmetik dikemas menggunakan kemasan berbahan dasar plastik. Ini nih yang membuat limbah kemasan semakin menumpuk. Sustainable beauty berusaha mengurangi penggunaan plastik sebagai kemasan produk kosmetik saat ini. Selain bahan plastik yang meresahkan, berbagai bahan yang terkandung dalam suatu produk kosmetik harus dipastikan aman untuk lingkungan.
Sustainable beauty punya saingan namanya conventional beauty. Keduanya sangat berbeda. Sudah jelas sustainable beauty mengutamakan lingkungan. Sementara conventional beauty justru nggak peduli dengan dampak bagi lingkungan. Nggak mempertimbangkan dampak buruk bagi lingkungan. Kacau, ya. Padahal semua orang wajib lho untuk peduli lingkungan.
Para cewek nggak perlu khawatir ketika mulai menerapkan sustainable beauty karena bahan-bahan yang digunakan suatu produk kosmetik pasti terbuat dari bahan alami. Bahan alami nggak mungkin merusak tubuh, kan? Jadi, aman banget. Produk-produk sustainable beauty juga bisa digunakan jangka panjang.
Ini poin yang menurut saya sangat penting. Produk kosmetik yang menerapkan sustainbale beauty, seharusnya pembuatannya nggak menyalahi kaidah etis (ethically sourced) dan cruelty free. Begini, banyak dengar tentang anak-anak yang dijadikan buruh pabrik? Nah, itulah yang dimaksud harus cruelty free. Tunggu, nggak cuma masalah buruh anak, tapi juga keselamatan kerja yang harus jadi prioritas utama bekerja.
Masih ada beberapa merek produksi yang membangun lahan pabrik di tempat yang nggak seharusnya, seperti habitat hewan. Ini juga menyalahi kaidah etis. Yang namanya sustainable beauty itu nggak boleh merusak habitat asli hewan, merusak ekosistem di sekitar tempat produksi, dan membahayakan manusia dan makhluk hidup lainnya (ethically sourced).
Produk kosmetik yang menerapkan sustainable beauty kiranya harus menerapkan penggunaan plastik seminim mungkin. Ya setidaknya kemasannya bisa digunakan kembali atau istilahnya reusable. Saya kasih contoh kemasan yang mungkin bisa jadi alternatif pengganti plastik. Misalnya, kertas, kayu, dan bioplastik dari tumbuhan atau biodegradable (bahan seperti plastik tapi bukan plastik yang mudah hancur dan terurai).
Untungnya, terdapat beberapa produk kosmetik yang sangat mendukung gerakan sustainable beauty, Mylov. Misalnya saja, Trope Cosmetic yang menggunakan clean formulation tanpa paraben dan fragrance. Selain itu Trope Cosmetic juga menerapkan cruelty free dan paling penting halal.
Nggak hanya Trope Cosmetic, SeconDate Beauty juga mendukung gerakan sustainable beauty dengan menerapkan cruelty free dan menggunakan formula yang etchically sourced. SeconDate juga nggak menggunakan plastik untuk pengiriman.
SASC. Produk kosmetik lokal satu ini merapkan prinsip cruelty free, halal, dan vegan. Triple combo! Cocok untuk para cewek yang sustainable beauty banget. SASC juga mendukung gerakan sustainable beauty dengan mengangkat nilai-nilai sosial dalam setiap produknya. Sip daaah~
Terakhir ada Rose All Day yang menerapkan cruelty free, clean, dan halal. Selain itu produk Rose All Day berfokus pada daily needs essentials product, Mylov.
Keren ya, ternyata sudah ada beberapa merek kosmetik yang mendukung sekali gerakan sustainable beauty. Lebih keren lagi semua produk kosmetik di atas adalah lokal punya! Nah, siapa yang selama ini meremehkan produk-produk lokal nggak berkualitas, hayo siapa? Padahal produk-produk lokal seperti kosmetik ini justru mendukung gerakan sustainable beauty, Mylov.
Nampaknya penerapan sustainable beauty untuk pemula seperti saya masih sangat sulit, ya. Tapi, jujur, saya memang sering menggunakan kembali wadah-wadah plastik bekas kosmetik lawas untuk dijadikan tempat apa pun yang sekiranya bermanfaat. Nggak apa-apa. Pelan-pelan nanti terbiasa, kok. Go peeps try it!
BACA JUGA Standar Kecantikan Korea: Hidup Pelik Mereka yang Tidak Didefinisikan sebagai ‘Cantik’ dan tulisan Ayu Octavi Anjani lainnya.