Ikut bimbel boleh-boleh saja asal tetap punya strategi pribadi.
Sekolah-sekolah di berbagai daerah sudah mengantongi nama-nama yang akan menjadi peserta didik baru. Sepanjang bulan Juni 2025, sekolah negeri maupun swasta sudah melakukan berbagai proses seleksi itu. Saat-saat itu menjadi momen yang bikin deg-degan bukan main.
Saya jadi teringat proses seleksi ke SMA bertahun-tahun lalu. Saya dan banyak teman rela ikut bimbel supaya mendapat nilai UN maksimal. Pada saat itu, nilai UN begitu penting karena modal terbesar untuk bersaing ke SMA impian. Kebetulan saya ikut lembaga bimbingan belajar (bimbel) yang biasa saja. Sementara teman saya mendaftar bimbel yang paling prestisius pada masanya.
Hasilnya? Nilai mereka yang lulusan bimbel biasa saja dan bimbel premium ternyata sama saja. Nilai UN saya dan kawan saya yang ikut bimbel prestisius hanya terpaut 0,25 poin saja. Dan, kami sama-sama diterima di SMA negeri yang biasa saja.
Pengalaman itu membuat saya menyadari satu hal. Bimbel nggak melulu membuat pesertanya sukses diterima di sekolah impian. Terlebih sekolah yang dituju adalah sekolah bergengsi dengan persaingan ketat.
Jangan mudah terayu lembaga bimbingan belajar
Sudah jadi cara yang umum, sales bimbel berdiri di luar pagar sambil dengan sigap menyodorkan leaflet bimbelnya. Ada juga model lain yang meruntuhkan kebahagiaan para pelajar karena mereka masuk di jam pelajaran yang seharusnya kosong.
Cara-cara ini dipakai untuk menjaring murid-murid baru untuk melakukan latihan dan pengayaan di bimbel mereka. Mereka memajang nama-nama alumni yang baru saja diterima di sekolah elit dan favorit, sekaligus mengklaim kalau itu semua berkat kualitas bimbel yang mereka punya.
Sejauh yang saya lihat, setelah ada sesi beginian, pasti segerombolan siswa bakal kepincut. Mereka kemudian meminta orang tuanya untuk membayar paket bimbel yang kelihatan paling menjanjikan. Kadang ada pula wali murid yang ikutan jadi target pembagian leaflet, lalu langsung mendaftarkan anaknya ke bimbel itu.
Hanya saja, para siswa dan wali murid yang polos itu belum sepenuhnya sadar kalau bimbel nggak menjamin mereka diterima di sekolah impian.
Bimbel lebih sering mengajarkan strategi
Selain menunjukkan alumni-alumni yang sukses masuk sekolah favorit, bimbel-bimbel ini juga sering kali mendemonstrasikan cara mudah untuk menyelesaikan soal yang kerap muncul di ujian. Cara yang mereka bikin tampak gampang sekali, berbeda dengan cara dari buku paket yang ribet.
Setelah mengajarkan cara cepat dan kilat, pihak dari bimbel pasti akan menjanjikan bahwa mereka akan mengajarkan lebih banyak trik kalau para siswa bergabung di bimbel tersebut. Bersamaan dengan itu, mereka juga menakut-nakuti bahwa waktu ujian nggak akan cukup untuk mengerjakan semua soal dengan cara klasik.
Strategi menjawab soal dengan cara cepat ini memang nggak haram untuk dipakai. Hanya saja, cara ini fokus pada teknik menjawab soal dan tips lolos ujian yang mana cuma efektif dalam jangka pendek. Pemahaman mendalam dan berpikir kritis nggak dipakai di sini karena dominannya menggunakan metode hafalan atau mencari pola saja.
Padahal belakangan ini, soal-soal ujian lebih banyak menggunakan Higher Order Thinking Skills (HOTS). Soal-soal HOTS lebih banyak porsinya dalam menguji logika, analisis, dan pemecahan masalah secara kreatif. Strategi menjawab soal dengan cara cepat mungkin masih bisa diterapkan di soal-soal HOTS, tapi nggak semua.
Bayangkan saja, misalnya kita sudah menghafal 15 rumus cepat dan 20 jembatan keledai sebagai persiapan ujian. Eh, ternyata cara kilat tersebut cuma bisa dipakai satu-dua kali di soal ujian.
Nggak ada pendampingan personal
Berbeda dengan les privat, bimbel biasanya mengajarkan persiapan ujian secara massal. Satu kelas bisa berisi lebih dari 20 siswa dengan satu guru.
Dalam satu sesi bimbel yang biasanya berlangsung 1,5-3 jam, proses persiapan ujiannya kebanyakan cuma satu arah. Saking banyaknya siswa ditambah dengan waktu yang terbatas, bikin siswa nggak bisa leluasa bertanya kalau ada bagian yang nggak mereka mengerti.
Selain itu, kelas besar semacam ini menggunakan cara belajar yang seragam. Nggak ada pendampingan belajar secara personal yang berbeda antarsiswa. Padahal, cara belajar tiap orang itu berbeda-beda.
Jadi nggak menutup kemungkinan ada murid yang diam-diam nggak paham apapun setelah belajar di bimbel selama satu semester penuh. Bukan berarti mereka nggak cerdas. Hanya saja cara belajar mereka butuh pendekatan individual.
Sekolah impian bukan cuma soal nilai
Saat nilai Ujian Nasional (UN) masih menjadi penentu diterima atau nggaknya di sekolah impian, bimbel jadi hal yang paling best-seller setelah buku latihan soal. Tapi itu dulu ketika kecerdasan siswa cuma diukur dari ketepatan menebak jawaban pilihan ganda.
Sekarang, di berbagai sekolah sudah ada jalur penerimaan siswa dengan prestasi akademik dan nonakademik yang bukan cuma dilihat dari skor menjawab soal. Calon peserta didik yang punya bakat di bidang seni, olahraga, hingga sains bisa punya peluang yang sama untuk bisa diterima di sekolah favorit.
Contohnya, saja di jenjang perguruan tinggi, ada Universitas Indonesia melalui Jalur Prestasi dan Pemerataan Kesempatan Belajar (PPKB) dan Universitas Gadjah Mada lewat skema Penelusuran Bibit Unggul Tidak Mampu (PBUTM). Jalur-jalur ini tentu nggak bisa dimenangkan secara instan hanya selama satu semester di bimbel.
Bimbel dianggap sebagai tekanan
Nggak semua siswa yang belajar di bimbel datang berkat kesadaran pribadi. Banyak juga lho murid yang terpaksa duduk lebih lama untuk belajar padahal di sekolah sudah mengikuti pelajaran dari pagi sampai sore.
Mereka menganggap bimbel sebagai bagian dari rutinitas saja. Ada juga yang lebih ekstrem: mereka merasa bimbel itu tekanan. Dorongan dari orang tua atau tekanan sosial memaksa mereka untuk ikut mendengarkan ceramah dan mencatat rumus kilat bersama siswa-siswi dari sekolah lain.
Dampaknya, mereka burnout. Proses belajar dan persiapan ujian mereka jalani tanpa semangat. Saat hari-H ujian pun mereka cenderung nggak bisa fokus karena sudah lelah secara fisik dan mental. Hasilnya bisa kalian tebak sendiri.
Bimbel nggak selalu sukses bikin kita diterima di sekolah impian. Tidak ada salahnya memang ikut bimbel, tapi lebih penting dari itu, kenali kekuatan dan kelemahan kalian terlebih dahulu. Baru, kelemahan-kelemahan itu bisa diasah di bimbel. Terlebih dari itu, jalani proses belajar dengan senang. Niscaya hasil belajar kalian akan lebih maksimal kelak.
Penulis: Noor Annisa Falachul Firdausi
Editor: Kenia Intan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
