Saat menjadi lulusan baru di tahun 2014, saya merasa lega karena pada akhirnya bisa menyusul beberapa teman yang sudah menjadi alumni lebih dulu. Setelah menyelesaikan revisi skripsi dan wisuda, akhirnya saya bisa lepas dari penat sewaktu mengerjakan skripsi. Dari mulai menyusun kerangka, mencari jurnal, pengambilan data, hingga kesimpulan sampai dengan banyaknya coretan saat bimbingan.
Saya pikir, penderitaan sudah selesai—berakhir—namun ternyata masih ada tuntutan sosial lain yang tak kalah mencekam dari pengerjaan skripsi, yakni segera mendapatkan pekerjaan sesaat setelah lulus. Khususnya bagi mereka yang memang fokus ingin meniti karir di suatu perusahaan.
Awalnya, saya terbilang pasif dalam menunggu informasi terkait lowongan kerja yang ada, hanya dari teman yang sudah lebih dulu bekerja. Lambat laun saya menyadari, cara tersebut tidaklah efektif karena tidak selalu teman saya membagikan info lowongan kerja. Sampai akhirnya, salah satu kerabat menyarankan saya untuk membuat akun di LinkedIn. Selain saya sudah memiliki akun Jobstreet pastinya.
Jujur saja saya belum familiar menggunakan aplikasi ini. Setelah saya cari tahu, ternyata LinkedIn itu semacam situs jejaring sosial namun memiliki segmentasi sendiri—lebih kepada profesional atau pencari kerja pada umumnya—ya, kurang lebih seperti CV atau portofolio dalam bentuk digital dan terbuka bagi siapa pun yang ingin melihat.
Sebagaimana situs jejaring sosial pada umumnya, LinkedIn pun bisa digembok. Kalau memang niat untuk mencari kerja apalagi ada penawaran dari koneksi di situs ini, saran saya, sih, tidak perlu digembok agar lebih mempermudah orang lain dalam mengecek kontak beserta info lain.
Awalnya saya berpikir, laiknya media sosial lain LinkedIn termasuk platform yang menghibur –nyatanya tidak. Jauh berbeda dengan Twitter yang banyak hiburan lewat cuitan netizen, tak terkecuali sindirian pun curhatan melalui threadnya, saya perhatikan melalui akun pribadi, LinkedIn justru lebih memuat postingan motivasi atau paling tidak bagaimana menjadi karyawan yang baik di suatu perusahaan, termasuk info terupdate perihal lowongan kerja.
Saya yang terbiasa aktif di Twitter, Instagram, atau medsos lain merasa asing ketika awal mula bermain LinkedIn . Pernah saya coba posting sesuatu dengan kalimat yang luwes sebagaimana biasa membuat cuitan, tetap ditanggapi dengan formal dengan sapaan “Pak”.
Sebetulnya hal tersebut baik, apalagi membuktikan bahwa masih banyak orang yang bermain di jejaring sosial dengan penggunaan dan pemilihan kata yang sopan juga menyampaikan dengan santun. Hampir semua yang menjadi koneksi saya di LinkedIn membuat postingan yang –menurut saya—bijak dan bagus untuk tambahan wawasan mengenai dunia kerja beserta hiruk-pikuk yang ada.
Lambat laun saya mengerti bagaimana cara aktif di LinkedIn . Yang jelas tidak ada thread seperti di Twitter, curhatan mengenai aib sendiri atau orang lain, cerita pengalaman menjadi sugar babby atau sugar daddy, bahkan cerita tentang misteri atau mistis yang pernah dialami. Paling terasa, sih, tidak pernah saya temukan –paling tidak sampai dengan saat ini—tagar 2019 ganti presiden.
Tidak pula seperti sebagian pengguna Facebook yang pada masanya menyebarkan berita hoax dan dihubungkan dengan politik. Apa-apa dan sedikit-sedikit politik. Di LinkedIn , apa-apa soal dunia kerja, sedikit-sedikit info soal lowongan pekerjaan. Paling kontras terasa adalah tidak ada yang pamer sedang liburan ke mana seperti di Instagram.
Seperti seseorang yang memasuki dunia baru, semuanya terasa kikuk saat belum terbiasa menggunakan aplikasi ini. Terasa asing karena tidak adanya sindiran, tidak ada hoax, tidak ada pula yang berdebat soal pilihan politik. Demikian yang sejauh ini saya pantau, semoga tetap seperti itu agar ada alternatif konten positif setelah terlalu banyak hal dari sisi negatif yang ditemui di banyak media sosial. Dalam kehidupan semua harus seimbang, toh?
Omong-omong, para pencari kerja apa tidak coba beralih ke LinkedIn saja dibanding mengeluh soal cari pekerjaan saat ini sulit apalagi sampai menyalahkan pemerintah. Ya, daripada menyalahkan pemerintah kenapa tidak menyalahkan diri sendiri yang belum memiliki akun jejaring sosial yang fokus pada dunia kerja juga tetap meluaskan pergaulan sosial sebagai salah satu cara untuk mendapatkan pekerjaan.