Jalan antara Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara bukan untuk pengemudi yang belum andal. Godaannya ngeri, Coy!
Minggu lalu, saya diajak oleh paman untuk menjenguk anaknya (adik sepupu saya) yang sedang menempuh pendidikan di salah satu pondok pesantren di Surakarta. Blio mengajak saya agar bisa bergantian menyetir mobil. Saya pun mengiyakan ajakan tersebut. Kami berangkat dari Purbalingga pada Sabtu pukul 17.00. Selama perjalanan berangkat, paman saya tidak menyerahkan kemudi pada saya. Itu tandanya blio masih mampu mengatasinya sendiri. Saya pun masih bisa duduk tenang di kursi depan sembari mendengarkan lagu Denny Caknan sambil sesekali berjoget.
Setelah urusan di Surakarta selesai, kami pulang pada Minggu pukul 17.00. Seperti biasa, kemudi masih dipegang oleh paman saya. Sampailah kami di Kabupaten Wonosobo. Kebetulan kami mampir ke rumah salah satu saudara di sana. Setelah selesai menyantap hidangan dan berpamitan, kemudi dipasrahkan kepada saya. Di sinilah awal mula dari keresahan saya membelah jalanan Wonosobo hingga Banjarnegara di malam hari.
Daftar Isi
Jalanan Wonosobo dan Banjarnegara yang berkelok dan perut kenyang, kombinasi tepat untuk mengantuk
Saat diserahi kontak mobil, saya merasa ini bukan momen yang pas buat memegang kendali. Kenapa demikian? Hal ini karena perut dalam keadaan kenyang. Saat perut terisi, maka rasa kantuk akan menghantui. Dan benar, itulah yang saya rasakan di sepanjang jalan raya Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara. Selain itu, kontur jalan yang meliuk-liuk membuat mata saya semakin meredup. Agar tidak tertidur saat menyetir, saya putuskan untuk memutar musik koplo dengan volume maksimal. Harapannya agar mata saya kembali beger untuk mengemudi.
Tidak berhenti di situ. Godaan kembali datang dengan bentuk yang lain. Yaps, udara dingin Kabupaten Wonosobo membuat siapa saja yang singgah atau melewatinya ingin segera memejamkan mata. Simalakama pun terjadi. Niatan membuka jendela agar tidak menggunakan AC dan mengantuk, tapi udara dingin Wonosobo juga melenakan. Haduh. Akhirnya saya menutup jendela dan menyalakan AC pada volume rendah.
Baca halaman selanjutnya: Jarak pandang terbatas!
Jarak pandang yang terbatas
Saat masih melintasi kabupaten dengan julukan kota di atas awan (baca:Wonosobo), mobil yang saya kemudikan dikepung oleh kabut. Hal ini biasa terjadi di daerah dengan dataran tinggi seperti Wonosobo. Hal ini membuat jarak pandang saya terganggu. Saya yang biasa menancap gas dari 80-100 km/jam, hanya berani menjalankan mobil dengan kecapatan rata-rata 50 km/jam saja.
Jarak pandang yang terbatas membuat saya kesulitan untuk menerka arah jalan. Jalan yang penuh dengan kelokan begitu menguras konsentrasi saya dalam berkendara. Kabut pun tak kunjung menghilang. Akhirnya, setelah saya memasuki tugu selamat datang di Kabupaten Banjarnegara, barulah kabut mulai memudar.
Semakin malam, jalanan semakin mencekam
Saya sebenarnya sedikit percaya diri saat pertama masuk jalan besar area Wonosobo. Hal ini karena pada saat itu sudah pukul 23.00. Saya kira kendaraan yang melintas hanya truk bermuatan besar yang melaju dengan kecepatan di bawah 50 km/jam. Anggapan saya ternyata salah besar. Saat sudah sekitar 5 menit menggilas jalanan, ternyata masih banyak mobil pribadi yang melintas. Selain itu, saya juga berpapasan dengan beberapa bus besar dengan sopir yang nggak mau ngalah hingga mengambil jalur lawan untuk menyalip. Meski sudah saya beri tanda dengan lampu jarak jauh, masih saja nggak mau ngalah. Sialnya lagi mata saya yang dipaksa untuk melotot ini menjadi pegal dan gatal.
Itulah keresahan saya saat menggilas aspal jalanan dari Kabupaten Wonosobo hingga Kabupaten Banjarnegara. Selain skill yang mumpuni, kalian juga harus menyiapkan mental yang tangguh saat menghadapi supir-supir yang nggak mau ngalah di jalanan sepanjang Wonosobo dan Banjarnegara.
Penulis: Yanuar Abdillah Setiadi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Temanggung dan Wonosobo, Tempat Wisata Paling Ideal buat Pemalas dan Kaum Mageran