Saya agak tergelitik ketika membaca tulisan Mas Bima Prakosa tentang potensi Jalan Dhoho Kediri yang disebut-sebut bisa menjadi tandingan Jalan Malioboro di Jogja. Menurut saya, Mas Bima terlalu cepat meromantisasi tanpa memikirkan hal-hal lain yang penting dan harus dimiliki Jalan Dhoho agar dapat menyaingi, atau minimal mirip sama Jalan Malioboro.
Contoh sederhananya, paling nggak Pemkot Kediri harus bisa memindahkan PKL ke tempat lain yang sudah disediakan seperti yang terjadi di Malioboro. Para PKL di Malioboro dipindahkan ke tempat khusus yang diberi nama Teras Malioboro Dua. Nah, kalau hal ini belum dilakukan, masih panjang Bro perjalanan Jalan Dhoho Kediri untuk bisa menyaingi Malioboro. Hehehe.
Nggak cuma itu, masih ada faktor teknis yang membuat Jalan Dhoho menurut saya belum bisa menyaingi Malioboro. Saya sendiri sejujurnya nggak menampik bahwa bisa saja Jalan Dhoho Kediri kelak akan menjadi seperti Malioboro dengan ciri khas Kedirinya. Dulu ketika pertama kali datang ke Kediri dan berkeliling di Jalan Dhoho, saya sempat kepikiran kenapa jalan ini nggak dikelola dengan baik. Padahal kalau jalan ini dikelola dengan baik dan dengan perencanaan yang matang, bukan tak mungkin harapan Mas Bima akan terwujud.
Jalan Dhoho Kediri masih belum ramah pejalan kaki
Pertama, yang harus ditata dari Jalan Dhoho Kediri adalah trotoarnya. Dalam penelitian yang ditulis oleh Itong Sukma Nugraha, dkk., dari Politeknik Transportasi Darat Indonesia-STTD menyebut kalau trotoar di Jalan Dhoho masih belum ramah pejalan kaki. Paling nggak butuh pelebaran trotoar dari yang sebelumnya memiliki lebar rata-rata 1,5-2 meter menjadi 3,2 meter di sisi timur dan 3,1 meter di sisi barat.
Dari masalah trotoar saja sudah kelihatan kan kalau perjalanan Jalan Dhoho masih panjang untuk bisa menyaingi Malioboro. Saya pernah mencoba berjalan kaki di jalan ini siang dan malam.
Di siang hari, musuh utama pejalan kaki di sini adalah budaya pengendara kendaraan bermotor. Sementara di malam hari, musuh pejalan kaki yang melintas adalah para PKL yang menggelar tikar mereka di trotoar. Coba bayangkan, gimana kita bisa jalan kalau di atas trotoar digelar tikar para pedagang? Mosok kudu nglumpati wong podo mangan pecel? Akhirnya saya terpaksa berjalan di pinggiran jalan raya yang tentunya berbahaya.
Sebenarnya jika trotoar diperlebar lagi, permasalahan dengan PKL akan sedikit teratasi apabila mengambil opsi untuk nggak merelokasi mereka. Setidaknya masih tersisa ruang untuk pejalan kaki apabila trotoar diperlebar.
Baca halaman selanjutnya: Keseriusan Pemkot Kediri diuji…