Sudah lama saya lalu lalang melewati Jalan Ali Maksum Krapyak Jogja. Hampir tiap hari jalan ini menjadi bagian dari rutinitas saya. Pagi hari saat berangkat mengajar, siang ketika menyempatkan makan, siang menjelang sore pulang ke kos, bahkan sesekali pada malam hari. Apa pun waktunya, satu hal yang selalu sama: jalan ini nyaris tak pernah sepi.
Akan tetapi keramaian di Jalan Ali Maksum bukanlah keramaian yang melelahkan seperti di jalan-jalan besar Jakarta yang bisa membuat orang terjebak macet berjam-jam. Atau, tidak jauh-jauh, masih sesama Jogja, yaitu Jalan Pasar Kembang di saat akhir pekan. Keramaian di sini justru terasa menenangkan.
Jarang terdengar bunyi klakson saling bersahutan, terdengar sahutan para warga saling menyapa, dan identiknya di sini: para santri pondok Krapyak berjalan santai atau sesekali menyeberang sembari menundukkan kepala. Sebuah gestur kecil yang sarat makna kesopanan.
Tak jarang pula, dari sela-sela lalu lintas, terdengar lantunan ayat-ayat Al-Qur’an yang dibaca dengan khusyuk oleh para santri. Inilah jenis keramaian yang, meski padat, tetap terasa “adem”, “ayem”, dan “tentrem” di hati.
Meski demikian, fenomena yang membawa keharmonisan itu tak selalu berjalan tanpa cela. Di balik suasana santun dan damai, ada beberapa kondisi di Jalan Ali Maksum Krapyak yang menuntut kewaspadaan ekstra, bahkan sesekali membuat pengendara harus menarik napas panjang.
Banyak gang kecil di seberang Jalan Ali Maksum Krapyak Jogja yang nggak kelihatan
Pertama, banyaknya gang kecil di seberang jalan yang nyaris tak terlihat. Pengendara yang melintas harus benar-benar awas. Sebab dari gang sempit itulah kerap muncul kendaraan secara tiba-tiba.
Berdasarkan pengalaman, beberapa kali saya menemui pengendara, entah bapak atau ibu, yang menyeberang tanpa menengok kanan kiri terlebih dulu. Sialnya, mereka sama sekali tidak memperlihatkan rasa bersalah. Pengendara yang kaget jadi harus rem mendadak atau bahkan banting setir untuk menghindari terjadinya tabrakan.
Saran saya, ketika melewati jalan yang terdapat Kandang Menjangan atau Panggung Krapyak ini, mata harus dalam mode ekstra fokus. Alih-alih hanya fokus ke depan, perhatikan juga sekeliling seperti sebelah kiri dan kanan jalan.
Tak cukup sampai di situ, situasi di Jalan Ali Maksum Krapyak Jogja kerap jadi lebih rumit karena pengendara yang tak memperhatikan etika berlalu lintas. Salah satu pemandangan yang cukup sering saya jumpai adalah pengendara yang menyalakan lampu sein berlawanan dengan arah tujuan. Sebuah kebiasaan goblok yang kerap mengundang umpatan sekaligus rasa heran.
Pengendara melaju pelan di tengah jalan
Selain itu, dari pengalaman, saya sering juga menemui fenomena pengendara yang melaju sangat pelan di tengah jalan. Saya nggak tahu alasan di balik kebiasaan ini.
Mengendarai kendaraan dengan pelan tentu bukan kesalahan, tetapi ketika melakukannya di tengah jalan jalan malah justru merugikan orang lain. Soalnya antrean kendaraan jadi mengular ke belakang. Saat lajur berlawanan sedang padat dan kita terjebak tepat di belakang pengendara super pelan itu, rasanya pengin mengumpat.
Saya berasumsi, kebiasaan ini berkaitan erat dengan nilai unggah-ungguh yang dipegang kuat oleh warga sekitar Jalan Ali Maksum Krapyak Jogja ini. Apalagi di sini terdapat komplek pondok pesantren beserta rumah kiai. Selain sikap dari rasa hormat, berkendara pelan juga mungkin untuk menghormati upaya santri murajaah hafalan Qur’an-nya atau mutholaah kitab kuning.
Sikap hati-hati dan tidak tergesa-gesa tampaknya telah menjadi bagian dari etika berkendara sehari-hari di sana. Tapi, ya, jangan berkendara pelan di tengah jalan.
Ruas jalan kecil diperparah kendaraan yang parkir sembarangan
Kondisi Jalan Ali Maksum Krapyak yang sempit juga diperparah kendaraan yang parkir di pinggir jalan. Biasanya pengendara berhenti di pinggiran jalan untuk membeli jajanan yang memang berjejer di sepanjang jalan ini.
Aktivitas ekonomi warga ini memang menghidupkan suasana, tetapi juga menyisakan tantangan sendiri bagi kelancaran lalu lintas. Ruas jalan yang tak seberapa lebar itu jadi lebih sempit. Tentu saja untuk menghadapi situasi semacam ini pengendara perlu kesabaran ekstra sekaligus kemampuan membaca kapan harus melambat, kapan harus memberi jalan, dan kapan harus mengalah. Yo ora mok trabas ae!
Pada akhirnya, Jalan Ali Maksum Krapyak Jogja tetaplah jalan yang istimewa. Jalan ini mengajarkan kita bahwa keramaian tak selalu identik dengan kekacauan. Kesopanan bahkan bisa hadir di tengah lalu lintas yang padat meskipun tentu saja di sela-sela keharmonisan itu terdapat hal yang membuat kita mengelus dada.
Penulis: Aditya Firmansah
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Ruas Jalan Lebar dan Aspal Mulus Nggak Selamanya Aman, Jalan Brigjen Katamso Jogja Buktinya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
