Lebih Enak Mengkritik Jakarta ketimbang Jogja yang Baperan dan Mudah Tersinggung karena Cinta Buta

Jakarta, Daerah yang Paling Enak Dikritik ketimbang Jogja (Unsplash)

Jakarta, Daerah yang Paling Enak Dikritik ketimbang Jogja (Unsplash)

Ketika melihat kekurangan Jogja, kamu sebaiknya diam saja. Kalau nekat blak-blakan menyampaikan kekurangan apalagi berani mengkritik melalui tulisan, siap-siap saja dengan konsekuensinya. Pasti akan diserang habis-habisan oleh netizen dan pecinta daerah itu di kolom komentar tulisannya.

Ini bukan opini atau perasaan saya saja. Banyak tulisan di Mojok yang mengkritik Jogja kerap mengalami hal-hal semacam itu. Tulisan saya yang mengkritik Jogja juga pernah ramai diserbu.

Sebenarnya, fenomena seperti itu bukan hanya berlaku untuk Jogja saja. Beberapa tulisan di Terminal Mojok yang mengkritik sebuah daerah kerap nggak diterima dengan baik oleh warganya. Walaupun intensitas serangannya lebih sadis ketika mengkritik Jogja ya.

Menurut saya, hanya ada satu daerah yang enak dikritik. Daerah tersebut adalah Jakarta. Bukan tanpa alasan, ada beberapa faktor yang membuat Jakarta enak dikritik sebagai berikut:

Jakarta tidak dikultuskan

Jakarta berbeda dengan daerah-daerah lain. Jakarta tidak pernah dikultuskan, misalnya kayak Jogja atau Bandung.

Apa saja yang sudah dikultuskan, ketika kita mau mengkritisinya, pasti ada saja yang tersinggung. Meski yang dikritisi sesuai dengan realita.

Kita ambil contohnya Jogja. Ketika merebak isu klitih, apa komentar orang yang dimabuk romantisasi? katanya itu kenakalan remaja sepele yang dibesar-besarkan saja. Kala membaca opini tersebut, saya hanya bisa ngelus dada.

Nggak kagetan sama sikap kritis

Orang Jakarta itu selalu kritis dengan berbagai fasilitas publik di daerahnya. Seolah-olah mereka tak pernah puas dengan hasil karya pemerintah. Tapi, bagi saya, itu suatu kebiasaan yang bagus.

Kebiasaan mengkritisi daerah sendiri membuat orang Jakarta nggak kagetan ketika daerahnya dikritisi orang lain. Beda dengan orang daerah lain yang nggak biasa tempatnya dikritisi. Bukannya bersyukur daerahnya dikritisi, malah menyerang orang yang kritis.

Bahkan, lebih gilanya lagi sampai nanya KTP mana kalau mengkritik Jogja. Emang buat mengkritisi sebuah daerah mesti jadi warga sana? Kalian juga sering kritis dengan higienitas makanan India walaupun nggak pernah ke sana.

Lagian kalau kritisnya sesuai realita, kenapa harus denial ya? Toh, dengan makin banyaknya pihak yang bersuara dan kritis, pemerintah bakal lebih mendengar. Membuat pemerintahnya nggak hanya berpangku tangan.

Mengamini segala kekurangan daerahnya dibanding Jogja

Jakarta itu macet gila dan luar biasa panas. Sudah begitu, penuh dengan polusi. Setidaknya itu berbagai kekurangan yang kerap dikeluhkan juga oleh orang yang berkunjung ke sana.

Waktu orang Jakarta mendengar berbagai kekurangan daerahnya yang dilontarkan oleh pihak lain, mereka mengamininya. Karena mereka nggak cinta buta. Hanya melihat keunggulan daerahnya, tanpa melihat kekurangannya.

Nggak mudah tersinggung

Orang Indonesia umumnya dikenal suka basa-basi. Jarang banget yang to the point. Kalau mau menyampaikan maksudnya, harus muter-muter tujuh keliling dulu. Supaya nggak ada yang tersinggung satu sama lain.

Tapi, menurut saya, orang Jakarta beda. Mereka nggak suka basa-basi. Kalau ngomong juga to the point. Nggak perlu muter-muter untuk tau maksud sebenarnya.

Habit seperti itu menurut saya bagus. Membuat kepribadian orang Jakarta nggak mudah tersinggung. Sehingga kalau ada yang mengkritisi, mereka nggak bakal tersinggung. Lantaran mereka tahu, yang dikritisi bukan pribadinya. Melainkan daerah tempat tinggalnya.

Andai saja semua masyarakat Indonesia kayak orang Jakarta, pasti kasus ketersinggungan nggak bakal tinggi. Masa hanya karena mengkritisi suatu wilayah kayak Jogja, langsung diancam dan dibully. Gimana daerahnya bisa disebut aman, nyaman dan istimewa?

Penulis: Ahmad Arief Widodo

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Pandangan Saya Terhadap Jogja Berubah Setelah Merantau, Ternyata Kota Ini Nggak Istimewa Amat

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version