Jakarta itu keras. Bahkan saya mengakui kalau kerasnya lebih dari Ibu tiri memperlakukan anaknya. Tapi dalam konteks yang positif, hal itu bikin manusia di dalamnya sadar dan mau bertumbuh jadi manusia yang gak manja terutama perihal mobilitas menggunakan transportasi publik.
Zaman sekarang, moda transportasi jadi seperti kerupuk di toko kelontong yang sangat mudah dijangkau oleh masyarakat. Ngajuin kredit modal KTP sudah dapat pinjaman buat beli motor atau mobil. Punya transportasi pribadi artinya sudah berdikari karena jadi kebutuhan primer untuk menunjang aktivitas. Hal ini bahkan bisa mengelabui orang-orang polos, hingga ada yang berpikir bahwa punya kendaraan pribadi artinya mengurangi beban negara. Padahal, sebagai warga negara yang tiap hari dimanfaatkan melalui retribusi pajak di seluruh lini, membebani negara adalah hal yang wajar, bahkan wajib.
Hal itu berbeda dengan zaman saya kecil dulu. Satu kampung, yang punya motor bisa dihitung dengan jari. Selebihnya memanfaatkan transportasi umum seperti angkot atau ojek. Tapi transportasi itu biasanya disediakan oleh perseorangan yang memiliki modal, bukan oleh pemerintah atau negara. Negara pada saat itu masih sibuk ngurusin soal citra diri di hadapan dunia internasional untuk bayar utang setelah babak belur dihantam krisis moneter.
Daftar Isi
Transportasi publik yang masih dianggap anak tiri
Hingga kini, pengadaan dan ketersediaan transportasi publik di mayoritas daerah dan kota di Indonesia itu sangat buruk. Sangat super sedikit daerah yang sadar tentang pentingnya keberadaan transportasi publik yang disubsidi atau diprogramkan secara sistematis dan terintegrasi oleh pemerintah setempat.
Pemerintah khususnya yang setingkat provinsi dan daerah seperti malas menyediakan transportasi publik. Mereka seperti membiarkan warganya berbondong-bondong untuk kredit kendaraan bermotor agar penyerapan pajak daerah makin tinggi. Imbasnya, ketika Pemprov atau Pemda tidak peduli dengan kebutuhan transportasi publik, masyarakat akhirnya jadi pemalas dan ikut-ikutan tidak peduli.
Tapi hal itu berbeda dengan Jakarta. Sebagai Ibu Kota yang digambarkan keras, padat, macet, kumuh, dan bising, Jakarta adalah kota terbaik di Indonesia perihal penyediaan transportasi publik di tiap sudut-sudut kota. Mau bandingkan dengan Bandung yang lebih fokus ke trotoar ketimbang pengadaan Bus Rapid Transitnya? Atau Bus Jateng Gayengnya Semarang yang jalurnya pilih kasih sehingga menepikan Demak dan Grobogan? Atau dengan Suroboyo Bus dan Trans Semanggi di Surabaya yang dianggap simbol kemiskinan? Sudahlah, tidak ada yang sebaik Jakarta bila ngomongin soal transportasi publik.
“Jakarta kan ibu kota, wajar dong kalau transportasinya bagus?”
Kalian pasti akan merasa wajar bila sebuah ibu kota negara memiliki transportasi publik terbaik, padahal tidak selalu demikian. Meski tidak masuk 10 besar sebagai kota dengan moda transportasi berkelanjutan dalam The 2022 Sustainable Mobility sub-index, tapi Jakarta masih lebih baik dibandingkan kota dengan predikat over populasi lainnya seperti Mumbai, Delhi, Bangkok, Manila, dan Jeddah. Artinya, status Ibu Kota negara atau predikat kota metropolitan tidak selalu menjamin perihal kualitas transportasi publik. Tapi, Jakarta mampu memberikan dan melayani hal itu.
Jakarta memberikan kesan aman ketika menjelajahi setiap sudut kotanya karena semua transportasi saling terhubung satu sama lain. Ada Kereta Rel Listrik Commuter Line (KRL), Mass Rapid Transit (MRT), dan Light Rail Transit (LRT) yang tiap posnya setidaknya terdapat satu halte Transjakarta. Kemudian di tiap-tiap gang terdapat pos minimalis Untuk jaklingko. Di mana lagi kalian bisa menikmati suasana naik kereta seperti di Jepang kalau bukan di Jakarta?
KRL di Jakarta juga menghubungkan kawasan Jabodetabek yang merupakan wilayah yang tergabung dari 3 provinsi. Yaitu Jakarta, Jawa Barat terdiri dari Bogor, Depok, dan Bekasi, serta Banten yang meliputi Tangerang. Hal ini yang membuat orang-orang seperti Bonge atau Jeje bisa merasakan dan mengakses ruang ekspresi di SCBD.
Semua sama, meski tak rata
Jakarta membuat orang-orang di dalamnya, terutama pendatang untuk tak perlu khawatir, merasa minder, atau bahkan merasa miskin karena tak punya kendaraan pribadi. Kota ini memberikan penegasan bahwa sudah sewajarnya negara memberikan perhatian khusus terhadap aksesibilitas masyarakat melalui transportasi publik. Jakarta juga menempatkan transportasi publik sebagai pilihan utama di benak setiap orang di dalamnya. Sebab, membuat pengeluaran jadi lebih minimalis.
Makin tinggi pemanfaatan transportasi publik oleh masyarakat akan berimplikasi secara sistemik dalam berbagai aspek. Mulai dari penurunan emisi karbon, penurunan tingkat kemacetan, penghematan penggunaan energi fosil, meningkatkan tingkat interaksi sosial masyarakat. Hingga hal fundamental seperti penurunan tingkat kecelakaan lalu lintas.
Bukan salah Jakarta
Kalau perihal fenomena desak-desakan karena kurangnya gerbong atau armada, itu bukan salah Jakarta. Tapi karena kekolotan, kebebalan, dan kekonyolan para anggota DPR yang sangat susah untuk menyetujui anggaran yang sifatnya memenuhi dan melayani kebutuhan masyarakat. Mereka mana paham, sehari-harinya naik mobil pribadi? Dapat pengawalan pula.
Kembali lagi, Jakarta memang keras. Hidup di dalamnya harus siap menerima dengan banyaknya tantangan berat yang harus dipikul. Tapi di sisi lain, dia mengajarkan bagaimana manusia masih dapat hidup dan terus bergerak tanpa harus bergantung dengan motor atau mobil dari hasil cicilan.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Jakarta Banyak Manisnya, Tidak Sedikit Pahitnya