Di Jawa Timur, perkara pidana yang bermula dari gesekan antar anggota perguruan pencak silat sering terjadi. Penyebabnya juga sangat sepele. Seperti memakai atribut perguruan di tempat umum, merusak papan nama dan tugu perguruan, hingga saling ejek berujung perkelahian. Seperti pada 9 Mei 2023, puluhan anggota dari dua perguruan silat terlibat bentrok di Desa Sungelebak, Kecamatan Karanggeneng, Kabupaten Lamongan.
Dilansir dari Tribun Jatim Network, insiden tersebut mengakibatkan 17 orang terluka dan delapan unit motor rusak. Lalu yang baru-baru ini menyita perhatian publik, bentrokan antar perguruan silat dan fans club sepak bola di Jogja pada 4 Juni 2023 mengakibatkan kerusakan di Museum Dewantara Kirti Griya Tamansiswa.
Dari sekian kasus yang melibatkan anggota perguruan silat, kalau diamati sebenarnya cara mainnya sama. Jangan harap mereka berkelahinya satu lawan satu, lalu adu jurus khas perguruan silat masing-masing. Yang ada malah saling lempar batu, pentung-pentungan, dan merusak apa saja yang ada di depannya.
Sama sekali nggak pantas menyandang gelar pendekar.
Kalau kalah, mereka nggak terima dan akan mengerahkan massa yang bersumbu pendek pula untuk menyerang balik musuhnya. Begitu terus sampai aparat keamanan turun tangan. Jika ditanya alasan mengapa harus membuat kericuhan, jawabannya sungguh konyol: atas nama setia kawan. Hah?
Silat nggak jago, kalau ribut ayo
Sebenarnya anggota yang suka bikin gaduh nggak jago-jago amat bersilat. Mereka mudah tersulut emosi dan hobi cari musuh. Papasan sama anggota perguruan silat lain di jalan saja dikira mau nantangin. Nggak heran jika Polres Bojonegoro pada tahun 2021 menggelar patroli skala besar di 28 kecamatan. Sasarannya adalah anggota perguruan silat yang menggunakan atribut seperti kaos, topi, stiker, dan bendera di luar waktu latihan. Ya memang sih, sebagian pemuda-pemudi di Bojonegoro, Lamongan, dan Tuban suka pakai atribut-atribut perguruan silat kalau lagi nongkrong. Seolah-olah ingin menunjukkan identitasnya.
Menyandang gelar pesilat dan pendekar harus diimbangi dengan perilakunya. Ingat, anggota perguruan silat belum tentu memiliki jiwa laksana pesilat dan pendekar sesungguhnya. Sejatinya, anggota perguruan silat juga harus menjunjung nilai sportivitas dalam kehidupan sehari-hari. Pencak silat bukan hanya soal persaudaraan anta anggota. Baik dan buruknya marwah perguruan silat tergantung bagaimana sikap serta pembawaan para anggotanya di luar sana.
Baca halaman selanjutnya
Buat apa jadi pendekar?
Tidak semua anggota perguruan silat yang bergabung ingin menjadi atlet atau pesilat profesional. Hanya sekedar ingin belajar bela diri, ya jangan praktik tanding atau tarung di sembarang tempat. Buat apa susah payah latihan fisik, menghafal berbagai gerakan dan jurus, lalu ikut ujian kenaikan tingkat (UKT), kalau ternyata cuma bisa pentung-pentungan dan lempar batu kalau ketemu musuh? Apa kalian tidak ingat jurus pukulan, tendangan, tangkisan, dan serangan yang diajarkan oleh senior? Sehingga pikiran anggota-anggota perguruan silat ini hanya berisi dendam dan ego atas alasan apalah itu.
Saya yakin orang-orang seperti itu tak bisa jadi representasi perguruan. Tapi, publik bisa jadi sudah mengecap buruk mereka. Yang rugi banyak, cuman karena sumbu pendek beberapa orang yang pengin banget mendaku diri jadi jagoan.
Pemerintah, Polri, dan TNI sudah berupaya menciptakan rasa aman di masyarakat dari gesekan antar perguruan silat. Contohnya membuat event kejuaraan pencak silat antar perguruan serta pendekatan. Sayangnya, pendekatan yang dilakukan hanya pada sesepuh lan pinisepuh. Anggota-anggotanya juga perlu didekati agar tidak bertindak gegabah. Selain itu, aparat keamanan dan sesepuh perguruan harus memberikan efek jera bagi anggota yang berbuat onar. Seperti diproses secara hukum dan dicabut keanggotaannya dari perguruan seumur hidup.
Itu jika memang ingin menyelesaikan masalah yang selama ini selalu terulang. Jika nggak, ya jangan berharap apa-apa.
Penulis: Audina Hutama Putri
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Sisi Gelap Julukan ‘Madiun Kota Pendekar’