“Di mana pun menjadi perempuan selalu saja sulit.” Salah satu penerbit buku favorit saya mem-posting kata-kata seperti itu di Instagramnya. Memangnya jadi pria tidak sulit? Banyak sekali narasi yang berbunyi tentang kesulitan menjadi perempuan di segala lini kehidupan. Memang banyak kesulitan yang dialami perempuan terutama di negara yang masih menggunakan nilai-nilai patriarki seperti di Indonesia.
Tapi, para lelaki juga terkadang memiliki kesulitan yang sama. Nilai-nilai maskulinitas yang dipaksakan untuk dimiliki oleh para lelaki bisa menjadi semacam penyebab kesulitan dalam menjalani hidup.
Kita ambil saja contoh saat patah hati. Patah hati adalah semacam rasa sakit yang bisa menyerang siapa saja baik laki-laki ataupun perempuan. Tapi, dalam mengatasi hal ini perempuan punya solusi yang lebih mudah. perempuan bisa lebih bebas dalam mengekspresikan diri.
Misalkan sedang sakit hati, perempuan bisa curhat pada teman, sahabat atau keluarga. Bahkan tak perlu canggung, perempuan bisa dengan bebas menangis agar perasaannya menjadi lega. Tidak ada tekanan untuk terlihat selalu kuat.
Iya tahu, tak semua perempuan bisa seperti itu. Tapi setidaknya sebagian besar perempuan bisa melakukan hal itu ketika patah hati.
Jika dibandingkan dengan pria, maskulinitas seakan-akan membuat pria tak boleh menangis. Jika pria menangis, otomatis dia akan dicap sebagai laki-laki yang cengeng. Sekali saja kelihatan lemah, selamanya dia akan dianggap pecundang. Apakah berarti jadi pria itu tidak boleh sama sekali sakit hati?
Pilihan tempat curhat pun sangat terbatas bagi para pria. Curhat sama teman pria sudah pasti akan diolok-olok lemah. “Yah gitu aja udah pusing, masalah gue lebih besar dari masalah lo!” malah jadi ajang adu nasib. Mau curhat ke keluarga juga rata-rata pria tak terlalu dekat dengan keluarganya, walaupun dekat, banyak lelaki yang merasa tidak terlalu nyaman curhat sama keluarga, seperti saya.
Curhat pada teman perempuan juga berisiko. Sering curhat, kemudian si teman perhatian, lama-lama jadi nyaman kemudian jadi sayang. Kalau yang kita curhati mau menerima perasaan kita yang udah terlanjur nyaman ya tentu saja kita senang. Kalau nggak mau? Malah sakit hati jadi lebih parah.
Pandangan masyarakat yang mengharuskan pria untuk selalu tegar bisa menjadi boomerang tersendiri bagi pria. Pria lebih rentan terhadap depresi dibandingkan perempuan.
Permasalahan hidup manusia beragam dan tidak melulu masalah hati dan asmara. Terlebih lagi pria. Misalnya, masalah uang. Pria, akan mendapat predikat bertanggung jawab jika dia sudah “mapan”. Entah kemapanan itu hasil usaha sendiri atau guyuran dari harta orang tua. Beberapa perempuan dan calon mertua memandang kemampuan menimbun cuan sebagai faktor terpenting bagi seorang pria.
Oke, banyak perempuan yang juga memiliki penghasilan di zaman seperti sekarang. Ada juga perempuan dan calon mertua yang tidak memandang pria hanya sekadar dari materi.
Tapi, tetap saja penghasilan besar jadi hal yang penting, apalagi zaman sekarang yang kebutuhan serba harus dipenuhi. Jadi pria itu nggak gampang, banyak tuntutan.
Yang menjadi masalah adalah ketika pria tersebut masih dalam tahap berusaha, belum mapan tapi mau berusaha, seakan-akan usahanya ini tidak ada artinya. Usaha pria tak akan dihargai sebelum dia sukses. Nah ketika menemukan jalan buntu begini, pria harus cerita kepada siapa?
Pada akhirnya ini bukan narasi yang membandingkan siapa yang menjalani hidup lebih berat. Jadi perempuan atau jadi pria, masing-masing ada sulitnya.
Budaya patriarki memang seringkali merugikan bahkan sangat merugikan bagi kaum hawa, sebisa mungkin budaya patriarki perlu ditekan.
Begitupun dengan pandangan umum yang melekat pada pria. Jika perempuan menurut pandangan masyarakat patriarki harus tunduk pada pria, ada nilai-nilai dalam masyarakat yang membuat kami kaum pria juga mengalami kesulitan. Harus kuat dan tak terlihat lemah, jadi mau tidak mau harus pandai-pandai menyembunyikan masalah.
Persamaan ini seharusnya membuat pria dan perempuan tak saling tuduh lagi. Seharusnya masalah bersama ini membuat kita bersama mencari solusi serta menyadari bahwa setiap orang tanpa memandang gender juga memiliki keruwetan hidup masing-masing. Pada intinya, pandanglah semua manusia sebagaimana layaknya manusia, jangan dipandang sebagai sosok yang selalu sempurna. Ada kalanya manusia kuat, ada kalanya manusia menjadi lemah dan butuh didengarkan. Butuh perhatian dan butuh rangkulan.
BACA JUGA Bersyukurlah Jadi Maba Universitas Jember, Biaya Hidup Murah dan Wisatanya Banyak dan artikel Sigit Candra Lesmana lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.