Kata ibu saya, jadi bandar arisan itu nggak enak, Lur. Bukan cuma sekadar sambatan, tapi saya memang menyaksikan sendiri perjuangannya.
Mula ceritanya bisa ditarik ke pertengahan 2000-an. Saat itu PKK punya program dasawisma yang membagi PKK RT dalam beberapa kelompok kecil lagi per sepuluh KK. Tujuannya untuk optimalisasi pemberdayaan manusia. Jadi kelompok-kelompok dawis ini diharapkan memiliki kegiatan yang bermanfaat untuk pemberdayaan masyarakat. Bisa peningkatan ekonomi dengan mengadakan pelatihan dan UMKM, perbaikan gizi, pemberantasan buta huruf, dan berbagai program bermanfaat lainnya.
Apesnya ibu saya terpilih jadi ketua dawis di lingkungan tempat tinggal saya karena kebetulan usianya yang paling nanggung. Bagi warga senior, usia ibu saya dianggap muda sehingga dianggap lebih cakap. Bagi warga muda, ibu saya dianggap cukup matang untuk meng-handle urusan komunal. Karena nggak ada yang mau lagi, akhirnya ibu saya menyanggupi. Lagi pula ibu saya juga ibu rumah tangga purna waktu.
Akhirnya dengan pertimbangan tetangga sekitar dipilihlah arisan mingguan setiap hari Minggu untuk program dasawisma di lingkungan tempat tinggal kami. Sebagai ketua, ibu saya pun terpilih jadi bandar arisan. Mulanya, arisan ini hanya melibatkan tetangga sekitar rumah. Iurannya hanya Rp5.000/minggu. Satu orang boleh ikut lebih dari satu asal mampu.
Tapi, lama-lama keanggotaan arisan membengkak berkali-kali lipat. Bahkan popularitasnya sampai merambah seantero kampung. Padahal ibu saya nggak pernah ngiklan. Atas permintaan peserta, jenis arisannya pun berkembang jadi 2, arisan kecil iurannya naik jadi Rp10.000 dan arisan besar iurannya Rp25.000. Dari arisan kecil yang mulanya dapat kurang dari Rp100.000, di akhir periode sebelum tutup perolehannya mencapai lebih besar Rp500.000. Sedangkan arisan besar perolehannya lebih dari sejuta.
Arisan yang dikelola ibu saya termasuk yang paling langgeng di antara dasawisma lainnya. Mungkin hampir 10 tahun lamanya. Ya gimana nggak rame dan langgeng kalau ibu saya nggak ngambil potongan sepeser pun? Pun ibu saya, sebagai bandar arisan, nggak pernah bikin aturan “Kemenangan pertama selalu jadi jatah bandar”. Biaya operasional seperti membeli buku, pulpen, penggaris, dadu, dan cangkir pun disediakan secara mandiri oleh ibu saya tanpa minta ganti. Berdasarkan pengamatan saya sebagai anak bandar arisan yang berpengalaman, setidaknya ada 3 alasan nggak enaknya jadi bandar:
#1 Menalangi orang-orang yang bermasalah
Di setiap arisan pasti ada aja peserta yang aneh-aneh. Sialnya sebagai penanggung jawab arisan, ibu saya jadi sering kena getahnya. Kalau setoran kurang, ibu saya terpaksa harus menalangi dulu karena beliau kasihan dengan pemenang arisan kalau uangnya nggak lengkap. Soalnya nggak jarang menang arisan itu jadi hal yang sangat diharapkan para ibu-ibu buat nutup kebutuhan di rumahnya.
Masalahnya nggak semua orang yang ditalangi ini gampang ditagih. Ada juga yang mbulet setengah mati, Lur. Yang paling ngeselin lagi kalau belum bayar tapi ngaku udah bayar. Ibu saya nggak cuma sekali dua kali mengalaminya. Hal ini biasanya terjadi saat ibu saya nggak di rumah. Otomatis uang pembayaran akan diterima oleh saya, kakak, atau bapak. Setiap orang yang bayar selalu saya catat dengan teliti dan hati-hati di buku paling belakang. Lagi pula nggak pernah ada duit hilang di rumah. Padahal kalau mau sih banyak banget uang iuran warga.
Tapi, oknum-oknum yang curang ini selalu punya dalih untuk ngeles bahwa mereka udah bayar ke saya. Padahal saya nggak pernah menerima pembayarannya, karena di catatannya pun nggak ada. Karena saya bukan anak yang curang dan selalu hati-hati pada uang orang lain, ibu saya tentu selalu mempercayai saya. Kadang untuk menghindari ribut-ribut dengan tetangga, ibu saya terpaksa ngalah menalangi pembayaran oknum-oknum seperti ini. Bandar arisan ngene banget ya, Lur.
#2 Nggak bisa tenang kalau liburan
Hari Minggu umumnya jadi waktu refreshing buat keluarga. Tapi, itu nggak berlaku untuk keluarga saya. Ibu saya tidak pernah tenang berkegiatan di hari Minggu sebelum arisannya selesai. Nggak jarang kalau sedang mudik, ibu saya suka bela-belain pulang duluan biar anggotanya nggak nunggu. Atau mengganti arisan di lain hari jika urusannya benar-benar darurat.
Saat saya sudah lebih besar, urusan arisan ini juga pernah saya ambil alih kalau ibu sedang ada urusan mendesak di luar. Tapi, buat saya nanganin arisan itu susah, chaos banget. Walaupun sudah dibantu beberapa tetangga dekat yang memang akrab, masih ada saja ibu-ibu yang ribet mendikte, membandingkan, dan banyak maunya karena menganggap saya masih anak ingusan yang kurang bisa dipercaya. Hiks. Wong ko ngene kok dibanding-bandingke, saing-saingke, yo mesti kalah.
Kalau mereka banyak mau, kenapa nggak mereka aja yang jadi bandar arisan ya?
#3 Nambah beban pikiran
Ada kalanya orang ilang-ilangan setelah menang arisan. Orang-orang seperti ini yang nambah-nambahin beban pikiran ibu saya. Nggak jarang ibu saya harus nagih satu per satu ke rumah orang yang bermasalah karena nggak mungkin nalangin terus-terusan. Lagi pula ini kan arisan, bukan bakti sosial ya. Mana ada yang rumahnya jauh banget. Makan hati sudah pasti, tapi biar bagaimanapun emosi harus tetap terkendali. Kadang kalau terlalu susah, tetangga saya yang lebih senior sampai turun tangan menagihkan karena kasian melihat ibu saya.
Cukup sering keluarga dari pihak ibu dan kami sendiri yang ada di rumah menyarankan ibu untuk menutup saja arisan itu jika terlalu membebani. Tapi, ibu saya selalu mengurungkan niatnya setiap ingat peserta arisan yang berharap banyak dari kelangsungan arisan ini.
Akhirnya ibu saya memutuskan untuk menutup arisan yang dibinanya selama bertahun-tahun setelah saya merantau. Mungkin repot nggak ada yang bantuin atau nggak ada penghibur kalau lagi spaneng. Hehehe. Dadi bandar arisan ki ora sepele e, Lur.
Tapi nggak semua orang nyebelin kok. Bagi ibu saya, oknum bermasalah itu pasti selalu ada di segala komunitas. Jumlah peserta yang lurus pasti lebih banyak. Buktinya nggak jarang ada peserta baik hati yang memberi saya uang setelah menang arisan, dalihnya buat uang jajan atau beli operasional. Soalnya kalau diberikan ke ibu saya pasti akan ditolak. Kadang saya sampai harus ngumpet biar nggak ada ibu-ibu yang ngasih persenan karena nggak enak hati sering diberi, padahal mereka juga pasti butuh.
Lagipula selama bertahun-tahun ini rumah saya jadi ramai dengan riuh rendah ibu-ibu. Melihat mereka refreshing sejenak dengan ngobrol-ngobrol, menonton histeria ibu-ibu yang mengocok dadu, atau menyaksikan kelegaan orang-orang yang menang arisan di tengah himpitan kebutuhannya ternyata menyenangkan juga. Walaupun sering kerepotan, ibu saya menganggap upayanya itu sebagai amal dan menyambung silaturahmi yang baik antarwarga.
Itulah lika-liku jadi bandar arisan. Dapet nggak seberapa, usahanya nggak bercanda. Jadi, kalau kalian ditawarin jadi bandar, pikir-pikir dulu.
Penulis: Erma Kumala Dewi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Alasan Saya Berani Mengikuti Arisan meski Sedang Menganggur