Lahir sebagai anak dari seorang pendakwah, membawa pengalaman tersendiri dalam kehidupan saya. Memang sih banyak sekali pengalaman menyenangkan yang saya alami, dari mulai disegani di masyarakat sampai mendapat perlakuan istimewa saat acara tertentu. Bagian paling saya sukai sih, ketika setiap habis berdakwah, bapak selalu membawa pulang oleh-oleh, mulai dari berbagai jenis makanan, buah-buahan, hingga pakaian, semua bisa kami dapatkan secara cuma-cuma.
Eits tapi kali ini saya nggak mau bahas deh yang menyenangkan, karena ya pastinya sudah banyak orang yang tahu. Boleh kali ya saya menceritakan sedikit pengalaman yang berbeda, meski ya nggak bisa dibilang menyedihkan juga.
Kebiasaan saya menjadi anak seorang pendakwah adalah mengikuti kemana pun bapak saya pergi. Mulai dari ngisi kajian mingguan, ngisi ceramah salat tarawih, atau kajian hari besar, saya dan bapak bak perangko dan amplop. Awal-awal sih saya senang saja, mendengarkan bapak berceramah, bertemu teman baru, disalami banyak orang macam pejabat negara. Eh tapi setelah menginjak dewasa, saya kemudian ditodong untuk ikut memberi ceramah.
Kalau sudah dibilang dari awal sebelum berangkat, saya pasti siap-siap. Tapi tidak, bapak saya suka sekali memberi kejutan layaknya undian berhadiah. Di sela-sela ceramahnya, dengan santainya memanggil nama saya dan menyuruh saya memberikan sepatah dua patah kata. Tanpa persiapan apa pun, saya dengan degup jantung yang tak karuan harus bersuara karena berpuluh pasang mata menghujam ke arah saya. Sebenarnya yang keluar dari mulut saya ya materi keislaman biasa sih, tapi karena sudah punya titel anaknya pak ustad (panggilan jamaah untuk bapak saya), ya jadi orang-orang mengangguk seakan-akan kata-kata yang saya berikan adalah informasi yang maha penting. Ya begitulah, menjadi anak seorang pendakwah berarti harus siap berceramah kapan pun dan dimana pun.
Selain ikut kemana pun bapak saya pergi, saya juga merangkap jadi manajer pribadi. Kalau di hari biasa sih saya masih bisa atur waktunya ya. Yang jadi masalah adalah ketika mendekati bulan Ramadan, dan banyak sekali sodoran menjadi penceramah tarawih. Nggak jarang, saking banyaknya sampai jadwalnya bertabrakan. Bapak saya sih nggak masalah, cuma saya suka nggak enak sama takmir masjid yang sudah menghubungi saya. Merasa jadi orang yang amanah, padahal memang bapak saya sudah terlanjur menyanggupi acara lain sebelumnya.
Belum lagi karena nomer telepon saya tersebar dengan luasnya, saya jadi sering dihubungi nomer yang nggak dikenal. Sering banget ada yang menghubungi saya, awalnya sih tanya soal jadwal bapak eh tapi ya ujungnya tanya “lagi apa?” kaya orang lagi PDKT. Suka kaget, tapi lama-lama maklum juga, paling nanti saya cuekin.
Oiya, sepanjang pengalaman saya menjadi anak seorang pendakwah, saya merasa sekali kalau perilaku saya disorot masyarakat. Saya harus bersikap lemah lembut bak putri kerajaan. Jangan sekali-kali melakukan kesalahan di depan banyak orang kalau nggak mau jadi bahan omongan. Kadang, saya merasa kurang bebas kalo pas mau menertawakan sesuatu tapi nggak bisa leluasa. Padahal kan ya saya tetap manusia, jadi kalau ada sesuatu yang lucu pasti ya tertawa, kadang ngakak juga.
Nggak sampai di situ, pakaian saya juga tak luput dari sorotan masyarakat. Saya bahkan harus menghabiskan banyak waktu demi memastikan kalau pakaian yang saya kenakan itu “pantas”. Ibu saya jadi juri yang paling cerewet masalah ini. Jangan harap bisa pakai jilbab yang disampirkan macam tren anak jaman sekarang, nggak bisa, nggak masuk kriteria “pantas” ibu saya.
Ya begitulah, banyak sekali pengalaman hidup yang berbeda yang saya dapatkan sebagai seorang anak pendakwah. Meski begitu, saya tetap bersyukur dengan bagaimanapun kehidupan saya saat ini karena semua sudah takdir dari yang di atas. Betul?
BACA JUGA Di Situbondo, Sabung Ayam Bisa Jadi Sarana Dakwah yang Efektif