Istilah “Adoh Ratu Perek Watu”, Penyebab Orang Malu Menuturkan Bahasa Ngapak

Penyakit Orang Ngapak yang Malu Menuturkan Bahasa Ngapak

Penyakit Orang Ngapak yang Malu Menuturkan Bahasa Ngapak (Unsplash.com)

Dengan populasi yang begitu banyak dan wilayah yang luas, masyarakat Jawa tumbuh dengan ciri khasnya masing-masing. Keragaman budaya di setiap wilayah turut melahirkan keragaman bahasa yang lekat di masyarakat. Beberapa dialek bahasa Jawa yang populer diantaranya adalah bahasa Jawa dialek Jogja-Solo atau yang biasa dikenal sebagai bahasa Jawa “alus”, bahasa Jawa Suroboyoan yang digunakan oleh sebagian besar masyarakat Jawa Timur, dan bahasa ngapak yang lazim digunakan oleh masyarakat eks-Karesidenan Banyumas.

Setiap bahasa berkembang dengan dinamikanya, namun ada yang unik dari bahasa ngapak. Sudah jadi rahasia umum penutur bahasa ngapak cenderung enggan menggunakan bahasanya sendiri jika tidak berada di wilayah Banyumas. Sudah banyak pula yang menyoroti fenomena “malu” berbahasa ngapak melalui berbagai artikel yang berseliweran di berbagai media termasuk beberapa esai tentang bahasa ngapak yang pernah saya baca di Mojok.

Miris memang, melihat sekelompok masyarakat merasa malu dengan bahasanya sendiri. Lalu sebenarnya apa sih yang menyebabkan penutur bahasa ngapak merasa malu?

Bahasa ngapak dianggap kampungan

Salah satu penyebabnya adalah stigma bahasa ngapak sebagai bahasa yang kuno dan kampungan. Anak-anak muda tidak mau berbahasa ngapak karena takut dinilai ndeso dan tidak gaul. Bahkan pernah saya baca komentar “cantik-cantik kok ngapak?” di postingan salah seorang pengguna media sosial yang mengupload konten berbahasa ngapak. Seolah-olah menjadi orang ngapak adalah suatu hal yang salah. Sedikit kelewatan memang.

Tetapi tidak bisa dimungkiri, stigma ini muncul bukan tanpa alasan. Jika menilik latar belakang sejarahnya, wilayah Banyumas pernah berada di bawah pemerintahan Mataram. Namun demikian, lokasi yang cukup jauh dari pusat kerajaan Mataram yang berada di Solo atau Surakarta menjadikan perbedaan budaya yang berkembang. Saking jauhnya, wilayah Banyumas disebut sebagai Mancanegara Kulon oleh penduduk Mataram. Memang secara geografis wilayah Banyumas berada jauh di sebelah barat atau kulon Surakarta.

Adoh ratu, perek watu

Warga Banyumas pun menyadari kondisi ini sehingga muncul istilah “adoh ratu perek watu” yang secara kasar diartikan sebagai jauh dari raja dekat dengan batu. Istilah ini menggambarkan bagaimana penduduk Banyumas hidup jauh dari pusat kekuasaan. Jadi memang benar dahulu wilayah Banyumas merupakan daerah pinggiran, yang maksudnya berada jauh dari pusat pemerintahan. Hal ini kemudian mengakibatkan wilayah Banyumas tidak terlalu banyak terpengaruh segala dinamika perubahan kebudayaan yang terjadi di keraton sebagai pusat pemerintahan.

Perbedaan yang signifikan mulai terjadi saat era pemerintahan Sultan Agung. Saat itu terjadi perkembangan pesat di bidang sastra yang salah satu hasilnya adalah muncul tataran bahasa jawa ngoko-krama. Bahasa jawa “baru” ini disinyalir berkembang di lingkungan keraton yang otomatis berpengaruh ke wilayah di sekitaran keraton.

Wilayah Banyumas yang cukup jauh dari pusat kekuasaan Mataram hampir tidak mendapat pengaruh dari pembaharuan bahasa yang dilakukan Sultan Agung. Jadilah penduduk Banyumas tetap menggunakan bahasa Jawa yang saat ini kita kenal sebagai bahasa ngapak.

Tataran bahasa yang baru diperlukan di lingkungan keraton karena di sana ditinggali oleh masyarakat dengan kedudukan sosial yang berbeda. Mulai dari masyarakat biasa, abdi dalem, hingga keluarga kerajaan. Bahasa kromo inggil digunakan untuk menghormati orang dengan kedudukan yang lebih tinggi dan bahasa ngoko digunakan untuk berbicara antar sesama. Hal ini tentu tidak akan terlalu penting bagi penduduk Banyumas. Mereka berada sangat jauh dari raja dan keluarga kerajaan yang harus dijunjung tinggi dan dihormati.

Tak ada yang lebih unggul

Dari sini bisa kita lihat betapa dinamis perkembangan budaya dan bahasa. Tidak ada satu pun bahasa yang lebih unggul atau lebih rendah dari bahasa lainnya. Setiap bahasa termasuk bahasa ngapak lahir dengan latar belakang dan cerita yang sangat berarti, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakatnya. 

Bahasa ngapak berhasil bertahan sebagai saksi sejarah dan kebudayaan di Banyumas sehingga perlu dijaga dan dibanggakan. Bukan tidak mungkin bahasa ngapak akan hilang suatu saat nanti jika penutur terutama generasi mudanya malu menggunakan bahasanya sendiri. Maka penting bagi orang ngapak untuk mengetahui latar belakang sejarah mereka agar semakin tumbuh rasa handarbeni akan bahasanya sendiri. Apalagi bahasa ngapak merupakan sisa peninggalan bahasa jawa pertengahan yang masih lestari hingga saat ini.

Penulis: Sri Wulandari
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Perbedaan Bahasa Ngapak dengan Bahasa Jawa Bandek yang Perlu Diketahui

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version