Beberapa tahun terakhir banyak sekali online shop yang melebarkan sayap untuk berdagang pakaian ataupun pernak pernik bekas yang kini dikenal dengan barang thrift. Bisnis barang bekas memang sudah sangat lama eksis di masyarakat, namun akhir-akhir ini mulai ramai sekali pasarnya di kalangan anak muda Indonesia.
Thrift merupakan kata dalam bahasa Inggris yang bisa diartikan sebagai penghematan, pengiritan, berhemat dalam menggunakan barang. Esensi dan makna kata dari thrift sendiri adalah sebagai jalur alternatif untuk menikmati barang-barang yang dipasarkan dengan harga tinggi dengan cara membeli dengan kondisi sudah pernah dipakai atau bekas.
Fenomena thrift store di Indonesia mulai berkembang pesat akibat dongkrakan dari sosial media, banyak sekali influencer atau tokoh publik yang tidak malu-malu menunjukkan bahwa baju yang mereka pakai merupakan barang bekas.
Muncul pertanyaan tentang thrift, apakah sama dengan membeli barang vintage? Mengingat keduanya juga merupakan kegiatan membeli atau mengkonsumsi barang yang sudah lama diproduksi dan sudah pernah dipakai atau digunakan sebelumnya.
Perbedaannya hampir tidak bisa didefinisikan tetapi bukanya tidak ada, keduanya memiliki tujuan awal berbeda. Membeli barang vintage bisa juga dikatakan sebagai mengoleksi, tujuannya sangat jelas berada di nilai barang, yaitu seni. Banyak sekali yang membeli barang vintage hingga rela membayar sangat mahal demi mengincar barang langka yang ingin dimilikinya.
Beda halnya dengan thrifting yang ditujukan sebagai alternatif untuk menghemat sekaligus untuk mengurangi angka konsumsi fast fashion yang semakin banyak dan banyak menghasilkan limbah tekstil perusak lingkungan. Membeli barang bekas terutama pakaian akan membawa banyak hal positif, baik ke dalam perekonomian maupun lingkungan.
Jika memang ditujukan untuk kebaikan dan peduli lingkungan, kenapa harga yang ditawarkan thrift store ini bisa mahal, bahkan sangat mahal?
Baru-baru ini sempat viral di sosial media soal harga yang dipatok para pengusaha pakaian-pakaian hasil thrift. Banyak yang mulai geram dan mempertanyakan kenapa harga yang dipasang sangat tinggi mengingat istilah thrift itu ditujukan juga untuk mereka yang tidak bisa membeli barang baru yang harganya tinggi.
Belum berhenti di situ saja, persoalan ini juga melibatkan mereka selaku penjual dan orang-orang yang merasa wajar jika harga barang hasil thrift itu bisa sampai berjuta-juta. Susah mencari barangnya, sesi foto untuk pemasaran, serta tentang kualitas barang sampai kelangkaannya sangat mempengaruhi harga barang.
Sebuah toko online menjual kaos yang merupakan produk ternama dengan kondisi bagus namun bekas dengan harga 760 ribu rupiah yang sangat jauh dengan modal pasaran yang berkisar di angka 100 ribu rupiah.
Dampaknya para pemasok pakaian-pakaian juga ikut menaikkan harga dan pembeli yang biasa membeli barang bekas langsung ke mereka menjadi kesulitan.
Bukankah akan menjadi ironi dengan arti lagi tujuan awalnya thrifting itu sendiri? Apakah benar kita mewajarkan harga tinggi yang akan menutup akses sekelompok orang dengan gaji rendah untuk menikmati apa yang harusnya bisa mereka nikmati?
Tidak ada yang menyalahkan atau bahkan mereka yang menjual barang bekas dengan harga tinggi, tapi seharusnya tidak menjual dan memasarkannya dengan emblem-emblem thrift. Alternatif yang hadir untuk membantu terkesan digunakan dengan tidak bijak demi mendapat profit lebih tinggi. Kapitalisme memang benar sangat menyeramkan, kita hidup di dalamnya tanpa sadar kita telah terperangkap dan menjadi korbannya.
Dengan kita mewajarkan penaikan harga yang sangat tinggi dan jauh perbedannya dengan modal yang dikeluarkan lepas thrifting, secara tidak langsung kita ikut mewajarkan perumpaan klise yang dari dulu berada di tengah masyarakat kita; hanya si kaya yang bisa menikmati.
Alangkah baiknya untuk tidak mengambil profit yang sangat besar dalam menjalankan usaha thrift store yang sedang ramai-ramainya di kalangan anak muda. Perlu diingat juga tujuan awalnya merupakan untuk memberi akses ke semua kalangan sekaligus ikut menjaga lingkungan dengan menggunakan barang yang telah tidak dipakai atau bisa dikatakan merupakan ‘sampah’ orang lain.
Tak banyak yang menyadari bahwa sebenarnya kita bisa saja membuat hal positif menjadi trend tanpa harus mengambil keuntungan pribadi yang nantinya malah memperlambat atau bahkan merubah esensinya menjadi hal yang tak lagi positif.
Di masa pandemi memang sulit untuk mencari materi guna membiayai kehidupan sehari-hari, tapi tetap saja kita harus memikirkan panjang hal-hal yang nantinya akan berpengaruh ke orang banyak; contohnya tentu dalam fenomena bisnis thrift store ini.
BACA JUGA Kita Sebenarnya Sedang Merayakan Menangnya Biden atau Merayakan Kalahnya Trump? dan tulisan Muhammad Farhan Aulia lainnya.