Tari mung dhe sebagai tarian tradisional justru dilupakan oleh warga Nganjuk sendiri.
Sebagai anak rantau, saya sering kicep saat ditanya mengenai kesenian daerah saya, Kabupaten Nganjuk. Sebab, pengetahuan saya soal kesenian daerah memang sangat minim. Tiap kali ditanya soal hal tersebut, pasti saya menjawab tari tayub dan jaranan. Jawaban itu menjadi andalan saya dari dulu karena keduanya menjadi kesenian yang terbilang populer di Nganjuk. Kepopuleran tari tayub dan jaranan diperlihatkan melalui berbagai acara di Nganjuk seperti bersih desa (nyadranan), sunatan, perkawinan, ulang tahun, dll.
Akan tetapi akhir pekan ini saya baru tahu bahwa di Nganjuk juga ada satu tari tradisional yang sayangnya kurang populer, yakni tari mung dhe. Bahkan saya mengetahuinya setelah melihat para selebtok mengenakan pakaian adat dan memperagakan tarian tersebut.
Nama tarian mung dhe memang sangat asing di telinga para Gen Z Nganjuk, tak terkecuali saya. Saya berani menulis demikian karena selama sekolah, saya nggak pernah mendapatkan pengetahuan soal tarian ini. Selain itu, waktu SD, saya yang mengikuti ekstra tari pun nggak pernah diajari tarian tersebut. Yang paling sering diajarkan adalah tari jaranan, tari merak, dan tari gamyong. Malah teman saya mengaku bahwa tari mung dhe juga baru dia ketahui saat dia belajar sejarah di bangku kuliah.
Daftar Isi
Kisah dan makna di balik tari mung dhe Nganjuk
Tari mung dhe sebagai kesenian khas Nganjuk ini berasal dari Desa Garu, Kecamatan Baron. Kesenian ini diciptakan oleh prajurit Diponegoro yang berkisah tentang kepahlawanan di masa penjajahan. Saat itu tarian ini diciptakan sebagai upaya penyamaran untuk mengamati Sekutu di wilayah Nganjuk. Sehingga gerakan yang diciptakan seperti memperagakan latihan perang.
Sebenarnya melalui tarian ini banyak nilai yang bisa dipetik. Misalnya, cinta tanah air, kegigihan, pantang menyerah, dll. Selain itu, poin penting dalam tarian ini, yakni keindahan dalam gerakan, turut diperlihatkan. Berdasarkan jurnal yang saya baca, eksistensi tarian ini tidak stabil dan hampir menjadi sekadar cerita. Jadi wajar jika tarian ini meredup dan nggak dikenal orang Nganjuk sendiri.
Tari mung dhe yang kurang familier di telinga orang Nganjuk ini pun luput dalam acara karnaval kemerdekaan seperti kemarin. Dalam hal ini saya turut merasa kecewa pada Pemkab Nganjuk. Sebab, sebagai penyelenggara acara tahunan karnaval, selalu nggak ada pengenalan budaya lokal. Dalam hal ini yang saya maksud adalah budaya khas Nganjuk. Padahal acara semacam ini sering kali menarik banyak atensi dari masyarakat.
Selain itu, acara karnaval di Nganjuk menyebalkan karena ikut tren sound horeg. Mungkin hiburan ini diadakan dengan tujuan agar yang mendengar ikut bersemangat. Namun kenyataannya, sound horeg ini malah menjadi sumber polusi suara dan mengganggu warga. Sudah gitu musik yang keras ini turut diputar untuk mengiringi beberapa orang yang menari di belakangnya.
Aduh, bagian ini paling nggak masuk akal bagi saya. Sebab, tarian yang ditampilkan pun bukan tarian tradisional yang melambangkan budaya Indonesia atau berkisah tentang perjuangan Indonesia meraih kemerdekaan. Tarian yang ditampilkan adalah joget-joget nggak beraturan atau malah gerakan senam. Ya gimana warga Nganjuk bisa mengenal kebudayaannya sendiri kalau yang ditampilkan kayak gini. Mendingan yang ditampilkan tari mung dhe, tari tradisional Nganjuk saja.
Gen Z lebih tahu tarian kekinian ketimbang tarian daerah
Jika kita perhatikan media sosial saat ini, FYP orang menari memang banyak, terutama yang memperlihatkan tarian kekinian. Bahkan tarian kekinian sudah jadi konsumsi publik dana malah menimbulkan kontroversi. Seperti yang saya lihat beberapa hari lalu di beranda Instagram saya. Sempat ada video beberapa anak TK menari dengan gaya kekinian yang tak sesuai usia saat karnaval.
Jujur saja saya menyayangkan hal tersebut. Sebab, generasi bangsa yang digadang-gadang jadi generasi emas malah bertingkah demikian. Saya juga menyayangkan gerakan tari tersebut dilihat oleh banyak orang dewasa dan disambut gelak tawa. Seharusnya orang dewasa bisa menuntun generasi di bawahnya menjadi lebih baik, bukan malah sebaliknya. Minimal jika ada anak kecil yang menari demikian seharusnya dinasihati dan diajari untuk mengenal budaya Indonesia, atau budaya daerahnya sendiri.
Hal tersebut juga terjadi di Nganjuk. Banyak anak muda yang justru nggak familier dengan budaya daerahnya sendiri, salah satunya tari mung dhe Nganjuk ini. Dalam pengenalan budaya, semua masyarakat harus ikut berperan melestarikan budaya. Pemerintah juga harus lebih peka, misalnya menyisipkan pelajaran tari kesenian daerah di sekolah. Atau bisa juga pihak pemkab menampilkan tarian ini dalam berbagai acara yang dilaksanakan di Kabupaten Nganjuk. Harapannya tentu saja agar tari tradisional satu ini makin dikenal.
Saya tahu, eksistensi tari mung dhe Nganjuk mulai memudar. Tapi kita masih bisa menyelamatkannya. Agar generasi muda mendatang tahu bahwa Nganjuk punya tarian tradisional yang keren seperti tari mung dhe ini. Siapa tahu kelak tarian ini bisa menarik wisatawan untuk datang langsung dan menikmati wisata budaya Nganjuk.
Penulis: Desy Fitriana
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Hal-hal yang Lumrah di Nganjuk, tapi Sulit Ditemui di Jogja.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.