Ironi Populisme, Demokrasi, dan Gerakan Relawan yang Menghambat Kaum Muda Melek Politik

Ironi Populisme, Demokrasi, dan Gerakan Relawan yang Menghambat Kaum Muda Melek Politik

Ironi Populisme, Demokrasi, dan Gerakan Relawan yang Menghambat Kaum Muda Melek Politik (Pixabay.com)

Ide populisme dalam politik telah berkembang pesat seiring dengan tumbuhnya demokrasi di Indonesia. Kemunculannya dalam politik nasional kerap ditunjukkan oleh penggunaan sentimen etnis dan identitas. Dua isu tersebut–setidaknya hingga saat ini–masih menjadi “senjata” paripurna bagi aktor politik yang ingin melaju dalam kancah elektoral.

Di atas kertas, populisme adalah wujud perkembangan demokrasi menuju arah yang lebih baik. Namun ironisnya, gerakan populisme akar rumput ini kerap menimbulkan gesekan yang–sesungguhnya–tidak perlu dan cenderung menjengkelkan. Iya atau iya?

Mengutip Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM Prof. Dr. Purwo Santoso yang mengatakan bahwa perkembangan demokrasi Indonesia akan mengarah pada politik berbasis ketokohan, khususnya yang memiliki kepentingan untuk menduduki posisi publik seperti kepala daerah. Bahkan, lembaga seperti partai politik dan organisasi grassroot tidak lagi menjadi penting dalam politik, pungkas Prof. Purwo.

Beliau juga menyoroti bahwa kendatipun ada aktor politik yang menggunakan organisasi, hal tersebut bersifat pragmatis. Artinya, aktor politik hanya akan memanfaatkan organisasi sebagai mobilisasi pemilih dalam Pemilu. Setelahnya, organisasi terabaikan. Jadi sebetulnya seberapa perlu sih, gerakan relawan ini?

Populisme, demokrasi, dan peran kaum muda

Bak air dan api, populisme dan demokrasi memiliki love and hate relationship. Bagaimana maksudnya?

Secara singkat, demokrasi adalah sistem yang mengizinkan semua orang untuk menyatakan pendapat. Itu sebabnya mengapa demokrasi—menurut saya—memang sudah seharusnya menjadi sistem yang “berisik”. Maka jangan terkejut, jika setiap menjelang Pemilu selalu saja ada fenomena saling balas ide dan argumentasi. Itu idealnya lho, ya.

Sama berisiknya dengan demokrasi, gerakan populisme lahir dari rasa tidak percaya masyarakat terhadap kekuasaan. Jika pemerintah yang berkuasa dalam negara demokrasi mengalami defisit kepercayaan dari rakyat, maka gerakan populisme akan terus bertumbuh.

Sayangnya, perkembangan demokrasi dan populisme di Indonesia tidak diiringi oleh kedewasaan berpolitik. Alih-alih menjadi acuan berkembangnya demokrasi, populisme justru membuat golongan muda semakin enggan untuk memahami politik. Pada akhirnya, sifat apatis kaum muda semakin meningkat.

Padahal, generasi muda akan menguasai lebih dari 50 persen total pemilih pada Pemilu 2024. Dengan demikian, partai politik jelas akan mengincar generasi muda dalam rangka mendapatkan suara terbanyak. Bisa nggak, ya?

Trauma segregasi dan enggan menghadapi perbedaan pendapat

Perjalanan panjang dari pemilu tahun 2014 dan 2019 memang tidak mudah. Bayangkan saja, dua pertandingan yang sama di waktu yang berbeda. Dua calon presiden yang sama, di dua pemilu yang berbeda. Bosen nggak, seh?

Apalagi, saya masih ingat, betapa keluarga inti saya sangat mewanti-wanti untuk selalu waspada dalam berbicara dan berpendapat jelang Pemilu 2019 silam. Bahkan, saya diminta untuk nggak ikut terjun dalam diskusi banal ala tongkrongan SMA mengenai gerakan ormas yang pada waktu itu mendeklarasikan diri sebagai relawan dari salah satu pasangan calon.

“Kalau ada yang ngomong-ngomong tentang itu, bilang aja ‘wah saya nggak tau’, abis itu langsung pergi, atau bahas topik lain,” kata Bapak saya waktu itu.

Sebagai seorang pemilih pemula, rasa trauma yang lahir dari ketakutan sangatlah menjengkelkan. Ditambah lagi dengan tindakan brutal yang—pada waktu itu—dilakukan atas nama perbedaan pendapat. Demokrasi, yang saya tahu, harusnya tak seperti ini.

Situasi tersebut mendorong saya untuk mencari aman, yakni dengan bersikap apatis. Belakangan, timbul rasa kecewa karena menjatuhkan pilihan pada pasangan calon yang ini, bukan yang itu. Padahal sekarang, keduanya malah duduk di kursi pemerintahan. Kasihan yang terlalu fanatik, sabar ya…

Dalam tekanan yang ditimbulkan oleh gerakan relawan ini, sulit rasanya bagi anak muda untuk dipaksa berpikir dengan jernih. Ketakutan yang timbul karena perbedaan pendapat akan menghambat pendewasaan politik di Indonesia.

Padahal, tanggung jawab rakyat—setelah menggunakan hak suaranya—itu mengkritik, itulah demokrasi. Kalau anak muda aja nggak tahu alasan kenapa mereka memilih paslon A dan bukan B, gimana cara kita sampai pada generasi emas 2045?

Kritik boleh, takut jangan

Dalam demokrasi itu rakyat yang dilayani. Bahkan ada istilah vox populi vox dei loh, suara rakyat itu suara Tuhan. Maka terang bahwa rakyat harus melayangkan kritik kepada para pelayan itu, termasuk Presiden sekalipun.

Masalahnya, gerakan akar rumput melalui kelompok relawan ini justru menghambat proses kritik tersebut. Betul, Presiden memang tidak pernah marah jika dikritik. Uniknya lagi, justru kelompok relawanlah yang biasanya melaporkan seseorang ke polisi karena dituduh melakukan tindakan tidak menghormati alias mengkritik pemerintah. Kalo nggak percaya coba deh, cari di mbah Google.

Wajar rasanya jika saat ini kaum muda takut untuk berpolitik. Jangankan terjun langsung, mengkritik saja bisa berujung bui. Tingkah laku para elite yang termanifestasi lewat gerakan relawan belum menunjukkan kedewasaan mereka dalam berpolitik.

Contoh konkretnya, ya, polarisasi antara cebong, kampret, dan kadrun yang—tentu saja—sudah usang. Oh, atau yang lagi rame, sekarang kalian akan dikotak-kotakan ke dalam beberapa dewan: Dewan Kopral, Dewan Koprol, dan Dewan Katro. Pilih mana, guys?

Penulis: Marshel Leonard Nanlohy
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Selamat Datang di Kolam, Prabowo, Raja Cebong Indonesia

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version