Sikap intoleransi itu sangat alami dan kecenderungan mau benar sendiri boleh jadi merupakan fitrah manusia yang bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Intorenasi sebenarnya memiliki cakupan yang sangat luas, ia tidak terbatas pada sikap membenci perbedaan atas dasar keyakinan atau agama, intoleransi bisa muncul atas dasar perbedaan dalam banyak hal, bisa melalui perbedaan agama, suku, ras, atau bahkan perbedaan gaya hidup sekalipun.
Sikap keras untuk mau benar sendiri pada dasarnya tidaklah buruk, hanya ketika sikap kebencian itu terejawantahkan dalam bentuk tindakan kekerasan, vandalisme dan dapat melukai orang lain, maka ia menjadi sikap yang perlu dikoreksi, diwaspadai atau bahkan harus sepatutnya dihukum sesuai peraturan yang berlaku.
Di Indonesia, keragaman agama dan pluralitas suku, menjadi kata kunci bagi tertanamnya sikap toleransi antar sesama. Sikap toleran itu tidak begitu saja muncul secara internal sebagai bentuk aspirasi dan penghormatan terhadap orang lain yang berbeda, tetapi keragaman itulah yang sebenarnya menciptakan toleransi tersebut.
Kita dapat melihat dalam tahapan sejarah perjuangan dan pendirian NKRI, hampir semua penganut agama dan suku yang berbeda-beda, turut terlibat secara langsung dalam memperjuangkan aspirasi kesatuan, keharmonisan dan perjuangan kemerdekaan. Itu artinya bahwa yang membentuk Indonesia saat ini, adalah mereka semua dari berbagai latar belakang, yang memiliki satu misi kerukunan dan perdamaian untuk mewujudkan cita-cita sesama.
Sebagai rumah bersama, Indonesia menjadi negara yang subur dalam menanamkan sikap toleransi dan pluralitas dalam menghormati sekaligus secara sadar mau menghargai perbedaan sebagai bagian dari rahmat Tuhan. Adanya gejala-gejala kecil tentang tindakan intoleransi tidak boleh dianggap secara berlebih-lebihan sebagai bentuk kemunduran prestasi toleransi kita.
Dalam beberapa waktu yang lalu, memang ada upaya kecil dari perorangan atau mungkin segelintir kelompok tertentu yang berusaha merusak tatanan keharmonisan dengan bertindak merusak tempat-tempat ibadah dan melukai perasaan umat lain. Fenomena ini boleh jadi merupakan tindakan intoleransi, tetapi bukan berarti kita kehilangan rasa toleransi antar sesama.
Tindakan intoleransi terjadi hanya dalam lingkup kecil, memang ada beberapa oknum yang berusaha melakukan tindakan-tindakan berlebih-lebihan dalam menyikapi perbedaan. Namun, bukankan ini hanya sebatas kecelakaan kecil yang sama sekali tidak dapat dijadikan tolak ukur bahwa masyarakat kita telah mengalami intoleransi.
Dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa sikap toleran masyarakat Indonesia masih cukup tinggi. Bahkan masih pada taraf 99%, itu artinya bahwa sangat kecil kemungkinan orang bertindak secara intoleran. Kadang-kadang, sikap intolernasi ini juga diwarnai oleh kepentingan tertentu, seperti menjadikan agama sebagai kekuatan politik untuk melawan penguasa.
Lebih dari itu semua, adalah fenomena yang sama sekali baru yang begitu memprihatinkan bagi generasi masyarakat kita saat ini, yakni ujaran kebencian di media sosial (medsos). Gejala ini lahir seiring masifnya pengguna medsos dan kecanggihan-kecanggihan lain yang mengiringi kemajuan media informasi kita.
Satu hal yang menjadi kata kunci dalam memperbincangkan ujaran kebencian di sosmed, yaitu hilangnya etika atau perilaku baik yang selama ini menjadi pegangan kita bersama. Di kehidupan nyata, orang begitu mudah berperilaku baik, kepada teman, saudara atau bahkan kepada orang yang baru saja dikenal.
Tetapi, sesuatu yang berbeda jika kita menengok pada apa yang terjadi di media sosial. Atas dasar kepentingan yang tidak jelas, memperjuangkan sesuatu yang tidak pasti, atau sekedar eforia, para pengguna medsos seringkali begitu mudah membenci, mencaci maki, atau bahkan menghujat seseorang yang sama sekali tidak ia kenal secara personal.
Hujatan itu bisa muncul atas faktor apa saja, entah karena berbeda pendapat dalam mendiskusikan sesuatu, atau perbedaan partai politik yang dipilihnya, bahkan yang lebih memprihatinkan lagi, perbedaan cara pandang terhadap agama yang seringkali isu agama tersebut adalah bagian dari fenomena politik yang mengiringinya.
Di kehidupan hanya, orang selalu menaruh rasa hormat setinggi-tingginya terhadap orang lain, sikap rasa hormat itu ditunjukkan dalam berbagai hal dan situasi. Jika dalam situasi diskusi, orang dapat berdebat secara sehat dan tetap menjaga rasa hormat betapapun memiliki perbedaan yang tajam dalam beragumentasi.
Atau, ketika kita berkenalan dengan orang baru secara langsung, bahkan ketika kita tau ia berbeda dengan kita dalam hal-hal tertentu, kita tetap hormat dan mau perinteraksi secara sehat layaknya kepada teman baik. Kadang-kadang, satu perbincangan itu, kita jadikan pelajaran sekaligus pengalaman baru bertemu seseorang yang baru dikenal.
Hal ini berbeda sama sekali dalam interaksi melalui medsos, meski tidak semua, tetapi begitu banyak orang mudah sekali mengecam orang lain hanya karena berbeda pendapat ini dan itu. Bahkan, ketika berdiskusi tentang ilmu pengetahuan tertentu, orang menjadi terlihat sangat bodoh hanya karena hujatan dan penolakan argumentasi yang tidak sehat.
Betapa sikap ini sangat berbahaya bagi kelangsungan interaksi sosial di antara kita jauh melebihi gejala-gejala kecil intoleransi yang selama ini juga menjadi bagian penting dari fenomena berbahaya yang perlu dihindari. Medsos telah merubah karakter kita dari pribadi yang baik, menjadi pribadi bengis bahkan meski hanya pada taraf kepura-puraan dan eforia sekalipun.
Selain itu, media sosial juga menjadi salah satu intrumen paling penting dalam menarik masa dan opini publik, saat ini media-media mainstrim tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik, pengaruh besarnya sudah dikalahkan oleh media sosial yang dapat menggiring seseorang ke dalam satu sikap yang masif untuk satu tujuan tertentu.
Kadang, ujaran kebencian itu terjadi secara sesaat, sementara dan sangat pendek durasinya, seringkali ujaran kebencian yang diucapkan para pengguna medsos hanya untuk mencari hiburan semata atau hanya unjuk gigi untuk menunjukkan eksistensinya.
Tetapi, bukankah itu tetap menjadi bagian dari corak komunikasi kita yang tidak sehat? Menempatkan perilaku etika pada ketidakseriusan, diremehkan dan dianggap tidak berarti dengan hanya sekedar mengedepankan nilai hiburan semata, yang bahkan itu tidak penting bagi kelangsungan hidupnya. Mencapai sesuatu yang penting tetapi dilakukan dengan cara-cara yang tidak benar, apakah ia masih menjadi penting?
Ujaran kebencian sudah menjadi sesuatu yang begitu memprihantikan. Ia sangat berbahaya bagi kelangsungan generasi milenial. Meski kemajuan dan perkembangan teknologi informasi tidak bisa dihindari, tampaknya kita masih belum bisa memanfaatkannya secara baik dan benar. Betapa medsos sudah menjadi instrumen yang banyak memecah belah masyarakat, bahkan bangsa kita hanya karena mempersoalkan hal-hal kecil yang remeh-temeh.
Dan lagi, yang tidak masuk akal adalah orang tidak saling kenal, tidak mengetahui sifat dan kepribadian yang sesungguhnya, dapat begitu mudah membenci, mencemooh atau mengucapkan ujaran kebencian atas amarah yang tidak jelas asal usulnya. Biasanya, perbedaan pandangan politik dan agama yang seringkali mewarnai fenomena ujaran kebencian, tetapi apakah hanya karena hal-hal semacam itu lalu membuat kita kehilangan etika baik.
Tidak bisa dipungkiri bahwa medsos telah memberikan satu perspektif baru tentang arti komunikasi. Martin Buber pernah mengatakan bahwa hakikat komunikasi yang baik adalah ketika kita dapat menyatukan seluruh diri kita kepada orang yang kita ajak komunikasi dan mau mencari pelajaran dalam komunikasi tersebut. Jika Martin Buber benar, maka pada prinsipnya kita telah banyak kehilangan hakikat dari komunikasi kita di media sosial.
Dalam jangka panjang, fenomena ujaran kebencian bisa menjadi senjata paling ampuh untuk membunuh bangsa ini, ketika seseorang sudah saling bertikai atas dasar perbedaan dan secara sadar membenci orang lain hanya dalam hal-hal kecil, bahkan ketika ia tidak tau untuk apa dan siapa ujaran itu sebenarnya ditujukan, maka bangsa ini akan mudah terpecah-belah, akan begitu mudah melahirkan konflik dan pertikaian antar sesama warga negara.
Oleh sebab itu, kita perlu intopeksi diri, bersikap penuh hati-hati dalam berkomunikasi melalui medsos dan selalu mengedepankan rasa hormat terhadap orang lain bahkan ketika berbeda pendapat. Dalam masyarakat yang begitu plural, perbedaan pendapat itu merupakan sebuah keniscayaan dan tidak bisa dihindari, kita hanya perlu bersikap secara santun dan saling menjaga keharmonitas, keteraturan dan kedamaian sesama yang hidup dalam satu negara, satu tujuan dan satu keindonesiaan.
Tidak elok kiranya, jika perbedaan itu disikapi secara membati buta, membenci saudara setanah air, dan menghujat atas sesuatu yang sebenarnya tidak pernah kita mengerti secara sungguh-sungguh. Tidak ada hal yang lebih penting daripada menjaga keutuhan negeri ini dan berjuang bersama-sama untuk mencapai satu tujuan yang kita kehendaki. (*)
BACA JUGA Pelaku Rasisme Telah Diproses Hukum, Papua Aman dan Kondusif atau tulisan Rohmatul Izad lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.