Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Pojok Tubir

Inilah Alasan Mengapa Pengamen Malioboro dan Tempat Lain Susah Ditertibkan, karena Solusinya Tak Pernah Ada

Iqbal AR oleh Iqbal AR
15 Januari 2025
A A
Inilah Alasan Mengapa Pengamen Malioboro dan Tempat Lain Susah Ditertibkan, karena Solusinya Tak Pernah Ada

Inilah Alasan Mengapa Pengamen Malioboro dan Tempat Lain Susah Ditertibkan, karena Solusinya Tak Pernah Ada

Share on FacebookShare on Twitter

Pengamen di Malioboro susah ditertibkan karena memang mereka hanya ditertibkan, tanpa ada solusi yang konkret akan keberadaan mereka.

Kita tentunya sudah akrab dengan peribahasa “ada gula ada semut”. Peribahasa yang mungkin menjadi peribahasa pertama yang diajarkan di sekolah, dan peribahasa pertama yang kita semua tahu. Peribahasa paling umum, peribahasa yang rasanya semua orang hafal kalimatnya dan paham artinya. “Ada gula ada semut”, di mana ada kesenangan, di situlah banyak orang datang.

Peribahasa ini juga bisa diartikan secara lebih bebas dan lebih luas, terlebih jika kita bicara soal pengamen. Iya, ada gula ada semut, di mana ada kerumunan, di situlah banyak pengamen datang. Di mana ada pusat keramaian, terutama di pusat kota, di situlah akan ada satu, dua, hingga belasan pengamen yang bergantian lewat, menampilkan aksinya, sembari menyodorkan tangan atau kantong plastik, berharap seribu-dua ribu dari orang.

Kita ambil contoh Malioboro. Salah satu hal yang sudah pasti kita jumpai di Malioboro selain deretan toko batik dan andong adalah banyaknya pengamen. Apalagi makin ke selatan, ke arah titik nol Jogja, pengamennya biasanya makin banyak. Sekali nongkrong di satu tempat di kawasan Malioboro, bisa ada tiga sampai lima yang menghampiri. Setidaknya itu pengalaman saya selama beberapa kali mengunjungi Malioboro.

Bagi banyak orang, situasi ini meresahkan. Pengamen ini kerap bikin nggak nyaman pengunjung Malioboro. Keluhan sudah berkali-kali dilayangkan. Penertiban juga sudah berkali-kali dilakukan. Namun, keberhasilan belum bisa didapatkan, kenyamanan belum kunjung diwujudkan. Dan, hal seperti ini nggak hanya ada di Malioboro saja. Di pusat kota mana pun, tiap alun-alun kota, di tiap pusat keramaian kota, pasti mengalaminya.

Pertanyaannya, mengapa pengamen ini susah ditertibkan?

Pengamen, antara patologi sosial dan usaha mencari nafkah

Kita mungkin sepakat bahwa pengemis, orang yang hanya minta-minta itu sebagai patologi (penyakit) sosial. Nggak ada keberatan akan hal itu. Pengemis hanya minta uang, mengharap belas kasihan, tanpa memberikan dan menawarkan sesuatu kepada mereka yang dimintai uang. Kalau kita nggak memberi uang, kadang pengemis ini malah marah-marah.

Namun, pengamen ini berbeda. Mereka memang berharap kita memberikan uang kepada mereka. Tapi mereka ini memberi dan menawarkan sesuatu kepada kita, yaitu penampilan mereka bermain musik, menari, atau apa pun, terlepas bagus atau tidaknya penampilan mereka. Ada timbal balik di sini. Uang yang kita berikan adalah wujud apresiasi atas penampilan mereka.

Baca Juga:

Kesawan, Malioboro Medan yang Penuh Sejarah dan Bikin Jatuh Cinta

Salah Paham Terkait Jalan Malioboro Jogja yang Telanjur Dipercaya Banyak Orang, bahkan oleh Orang Jogja Sendiri

Inilah letak ketidaksepakatan kita. Kita masih bingung apakah pengamen ini termasuk patologi sosial, atau hanya usaha mencari nafkah, pekerjaan pada umumnya saja. Beberapa menganggap pengamen ini ya layaknya orang yang kerja pada umumnya (sama seperti pedagang keliling, dsb), dan beberapa pihak (termasuk pemerintah) malah menganggap pengamen ini semacam patologi atau penyakit sosial yang mengganggu ketertiban umum.

Ketidaksepakatan inilah yang jadi masalah. Selama kita nggak pernah sepakat di mana posisi pengamen, di situlah solusi akan pengamen (termasuk perihal ketertibannya) akan susah terwujud.

Jumlahnya terlalu banyak, tapi solusi dan wadahnya masih sangat minim

Nggak ada data resmi tentang berapa jumlah pengamen yang ada di Indonesia. Tapi kita tahu, pengamen di Indonesia itu banyak sekali. Ada ratusan ribu, atau mungkin jutaan di Indonesia, yang tersebar di seluruh kota. Mulai di tiap lampu merah, hingga di tiap pusat keramaian kota. Jumlah yang banyak ini bikin penertiban pengamen ini memang agak rumit.

Hal ini diperparah dengan bagaimana pemerintah menyikapi pengamen. Selama ini, pemerintah (yang kerap memandang mereka sebagai penyakit sosial) hanya mau menindak dan mengusir pengamen dari satu tempat. Pemerintah masih enggan mikir bagaimana memberikan solusi yang konkret atau memberikan wadah bagi para pengamen, alih-alih hanya mengusirnya. Mengusir pengamen dari satu tempat tak ada bedanya dengan memindahkan. Akhirnya, ya jadi kucing-kucingan.

Padahal, alih-alih hanya mengusir, pemerintah bisa saja memberikan wadah bagi para pengamen ini. Pemerintah bisa memberdayakan mereka, memberi tempat/spot khusus di tiap pusat keramaian, yang siapa tahu malah bisa jadi daya tarik tersendiri. Namun, ini semua nggak mudah. Ketidaksepakatan tentang posisi pengamen di masyarakat, jumlah yang terlalu banyak, hingga pemerintah yang malas mikir menjadikan situasi ini makin kompleks.

Ketersediaan lapangan kerja yang minim

Pengamen di Malioboro atau di semua pusat keramaian di mana pun ini bisa saja ditertibkan, asal pemerintah bisa memberikan/menciptakan banyak lapangan kerja. Kenyataannya, kan, tidak begitu. Pemerintah cuma bisa menertibkan dan mengusir mereka dengan situasi lapangan kerja yang minim. Percuma saja pemerintah menertibkan/mengusir pengamen dari satu tempat tanpa pernah berpikir bagaimana memberdayakan atau memberikan mereka pekerjaan.

Toh, menjadi pengamen ini bukan cita-cita mereka, kok. Saya cukup yakin, jika pemerintah bisa menyediakan banyak lapangan kerja, lalu mengarahkan para pengamen yang mereka anggap mengganggu ini untuk bekerja di lapangan kerja yang sudah mereka sediakan, jumlahnya bisa turun. Jumlah pengamen yang turun, maka ketertiban dan kenyamanan masyarakat akan lebih mudah terwujud.

Hubungan mesra antara pengamen dan preman

Ini yang paling rumit. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ada pengamen yang punya hubungan mesra dengan preman (baca: ormas) di suatu tempat. Bisa juga, mereka ini adalah bagian dari para preman. Para preman inilah yang menjamin para pengamen ini bisa mengamen di tempat-tempat yang dikuasai preman tanpa khawatir ditertibkan.

Mengapa bisa aman? Ya karena mereka memberi uang setoran ke preman yang menguasai suatu wilayah, sementara preman ini juga memberikan setoran ke oknum orang pemerintah. Ini sudah jadi rahasia umum, kok. Saya nggak tahu apakah situasi ini terjadi di Malioboro, tapi di beberapa wilayah di sekitar tempat tinggal saya, beberapa pusat keramaian itu “dikuasai” oleh preman atau ormas, dan pengamennya, punya hubungan baik dengan preman atau ormas. Nggak heran, lah, kalau susah banget ditertibkan, lha wong lingkaran setan ini masih ada, kok.

Inilah beberapa alasan mengapa pengamen ini susah untuk ditertibkan. Masalahnya memang terlalu rumit dan kompleks, serta berkaitan satu sama lain. Kalau pemerintah benar-benar mau menertibkan, ya membereskannya harus dari atas sampai bawah, nggak bisa hanya satu-dua saja. Itu pun kalau pemerintah mau, ya.

Penulis: Iqbal AR
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA 4 Alasan Orang Jogja Malas ke Malioboro

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 15 Januari 2025 oleh

Tags: Malioboropatologi sosialpengamen malioboro
Iqbal AR

Iqbal AR

Penulis lepas lulusan Sastra Indonesia UM. Menulis apa saja, dan masih tinggal di Kota Batu.

ArtikelTerkait

Sebagai Orang Magelang, Saya Menuntut Adanya Malioboro di Kota Ini Terminal Mojok.co

Sebagai Orang Magelang, Saya Menuntut Adanya Malioboro di Kota Ini

16 Mei 2022
Lamongan (Unsplash.com)

Lamongan Tak Butuh Diromantisasi, Apalagi Dibandingin Sama Jogja

23 Juni 2022
Berwisata ke Tumpeng Menoreh Kulon Progo yang Dikelola Swasta Lebih Murah daripada Malioboro Jogja yang Dikelola Pemerintah Mojok.co

Berwisata ke Tumpeng Menoreh Kulon Progo yang Dikelola Swasta Lebih Murah daripada Malioboro Jogja yang Dikelola Pemerintah

17 Juni 2024
Ubah Jalan Wahid Hasyim Jombang Jadi kayak Malioboro Itu Nggak Penting terminal mojok.co

Ubah Jalan Wahid Hasyim Jombang Jadi kayak Malioboro Itu Nggak Penting

1 Desember 2021
Tugu Jogja Kini Lebih Menyenangkan ketimbang Malioboro (Unsplash)

Tugu Jogja Kini Lebih Menarik Bagi Warga Lokal dan Wisatawan ketimbang Malioboro yang Terlalu Ramai dan Kaku

31 Oktober 2025
malioboro ditolak cinta mojok

Malioboro, Saksi Pahit Cinta Tak Terbalas. Kencan Amburadul #13

14 Februari 2021
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Selo, Jalur Favorit Saya untuk Pulang ke Magelang dari Solo Mojok.co

Selo, Jalur Favorit Saya untuk Pulang ke Magelang dari Solo

14 Desember 2025
3 Alasan Kenapa Kampus Tidak Boleh Pelit Memberikan Jatah Absen ke Mahasiswa

3 Alasan Kenapa Kampus Tidak Boleh Pelit Memberikan Jatah Absen ke Mahasiswa

16 Desember 2025
Toyota Corolla Altis, Sedan Tua Terbaik yang Masih Sulit Dikalahkan di Harga Kurang dari Rp100 Juta

Toyota Corolla Altis, Sedan Tua Terbaik yang Masih Sulit Dikalahkan di Harga Kurang dari Rp100 Juta

17 Desember 2025
Toyota Vios, Mobil Andal yang Terjebak Label "Mobil Taksi"

Panduan Membeli Toyota Vios Bekas: Ini Ciri-Ciri Vios Bekas Taxi yang Wajib Diketahui!

18 Desember 2025
Air Terjun Tumpak Sewu Lumajang, Tempat Terbaik bagi Saya Menghilangkan Kesedihan

4 Aturan Tak Tertulis agar Liburan di Lumajang Menjadi Bahagia

17 Desember 2025
Tinggal di Kabupaten Magelang: Dekat Borobudur, tapi Tidak Pernah Merasa Hidup di Tempat Wisata

Tinggal di Kabupaten Magelang: Dekat Borobudur, tapi Tidak Pernah Merasa Hidup di Tempat Wisata

18 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=SiVxBil0vOI

Liputan dan Esai

  • Liburan Nataru di Solo Safari: Ada “Safari Christmas Joy” yang Bakal Manjakan Pengunjung dengan Beragam Sensasi
  • Upaya Merawat Gedung Sarekat Islam Semarang: Saksi Sejarah & Simbol Marwah yang bakal Jadi Ruang Publik
  • Busur Panah Tak Sekadar Alat bagi Atlet Panahan, Ibarat “Suami” bahkan “Nyawa”
  • Pasar Petamburan Jadi Saksi Bisu Perjuangan Saya Jualan Sejak Usia 8 Tahun demi Bertahan Hidup di Jakarta usai Orang Tua Berpisah
  • Dipecat hingga Tertipu Kerja di Jakarta Barat, Dicap Gagal saat Pulang ke Desa tapi Malah bikin Ortu Bahagia
  • Balada Berburu Si Elang Jawa, Predator Udara Terganas dan Terlangka

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.