“Diskriminasi” menjadi ayat sakti yang banyak dijadikan dalil untuk mengkritik. Pemerintah difatwa diskriminatif dalam membuat kebijakan, aparat disebut diskriminatif dalam menegakkan hukum, organisasi masyarakat dituding bertindak sendiri secara diskriminatif, media pun tak luput dari label tersebut dalam pemberitaan. Bahkan, baru-baru ini gubernur DKI divonis tebang pilih dalam menegakkan protokol Covid-19.
Tapi, diskriminasi di Indonesia tak selalu seterang gambaran diskriminasi dalam kebijakan atau penanganan hukum. Ia juga tak selalu benderang seperti yang dikabarkan media. Bisa jadi diskriminasi sebenarnya adalah hantu yang ada di kepala kita semua. Kita, pada level tertentu, adalah pelaku diskriminasi.
Begini maksudnya. Misalnya soal rasis etnis. Sebagai orang Jawa, saya tumbuh dengan anjuran untuk tidak menikah dengan wanita Sunda. Ada stereotip bahwa wanita Sunda matre, hedonis, boros, dan sebagainya. Contoh lain adalah diskriminasi yang dirasakan oleh masyarakat Papua. Bagaimanapun kita coba menolak, tindakan rasis terhadap mereka nyata memang ada.
Lalu, bagaimana stereotip kita terhadap orang Tionghoa Indonesia? Jawabnnya bermacam-macam, tapi jelas ada anggapan bahwa peranakan Tionghoa itu suka menindas, pelit, eksklusif, dan arogan terhadap pribumi.
Bentuk diskriminasi bahkan bisa disebabkan hanya karena penampilan. Di kampung saya, suatu ketika seorang yang telah lama merantau pulang dengan perubahan drastis. Celananya kini cingkrang, jenggot yang terpelihara, serta dahi yang menghitam. Anda bisa tebak reaksi warga, cap kelompok intoleran, ekstremis, radikal, hingga teroris pun diberikan padanya.
Memang benar adil sejak dalam pikiran itu sulit. Dalam alam imaji kita masih ada “the other”, liyan. Sebuah konsep yang memisahkan kita dengan orang lain. Tapi, kita bisa melakukan lelaku untuk memahami kasunyatan hidup bahwa kita tak mungkin menafikan perbedaan. Sekaligus menjadi nafs yang anti-diskriminasi.
Ada beberapa kiat praktis Anda memulai suluk anti diskriminasi ini. Dan cara-caranya tak perlu susah-susah macam pelatihan Lemhanas, penataran P4, belajar Pendidikan Kewarganegaraan, seminar empat pilar, atau tak perlu panas-panasan demonstrasi. Pokoknya simpel dan irit (saya tahu anda pasti suka yang irit-irit).
#1 Berdoa sebelum makan
Benar, inilah lelaku pertama yang Anda harus tempuh. Sangat mudah. Bagi yang sering mengamalkan ritual berdoa sebelum makan mungkin bertanya-tanya apa hubunganya doa mbadog dengan kebhinekaan. Baik, saya beri tahu dengan membaca tulisan ini Anda akan lebih mendalami salah satu ilmu hakikat dari doa sebelum makan. Dan bagi yang belum mengamalkan, mudah-mudahan segera memperbaiki diri.
Bagi umat muslim, tentu hapal doa sebelum makan yang sudah diajarkan sedari kecil. Kurang lebih begini arti lafaz doa tersebut dalam bahasa Indonesia.
“Ya Tuhan, berkahilah kami melalui rezeki (makanan ini) yang Engkau berikan dan jauhkan kami dari api neraka.”
“Kami” di situ adalah kita sendiri dan orang-orang yang terlibat menghadirkan makanan itu sampai dihadapan kita.
Jadi, banyak sekali orang yang terlibat bukan? Orang yang menghidangkan, orang yang memasak makanan itu, orang yang membeli bahan, penjual bahan makanan itu, orang yang mengantar bahan makanan dari perkebunan atau peternakan, hingga petani yang memanen dan menanam. Dan saat minta keberkahan kepada semua orang itu kita tak membeda-bedakan suku, etnis, agama, paham, mazhab, atau ideologi.
Bisa jadi bumbu pada rawon yang kita makan dijual oleh orang Tionghoa beragama Buddha, lalu dagingnya kita beli di pasar dari penjual yang fanatik dengan paham Muhammad bin Abdul Wahab, yang mengantar dari peternakan mungkin orang Sumatera, yang menyembelih orang NU asli madura, yang sehari-hari memberi makan sapi adalah juragan yang membaca buku Karl Marx. Belum lagi berasnya, belum lagi sayuran, tahu-tempe, atau krupuknya kalau ada.
Bayangkan, satu piring makanan saja mengandung kebhinekaan dan pluralitas. Orang-orang yang mungkin berbeda suku, agama atau paham dengan kita justru berkontribusi terhadap kelangsungan hidup kita.
Dalam agama Kristen pun ada doa sebelum makan dimana isinya adalah mendoakan orang lain yang tidak bisa makan. Tentu logika yang sama berlaku, tak ada tebang pilih siapa yang didoakan.
#2 Jangan nongkrong di kafe
Kafe atau coffee shop kekinian telah menjadi budaya dan gaya hidup masyarakat kota. Memang mengasyikan nongkrong di sana, nyaman, ber-AC, bersih, dan sangat milenial. Tapi, saya sarankan Anda jangan terlalu sering hidup di kafe, sebab ia memiliki misi terselubung, yaitu memecah belah umat manusia. Waspadalah!
Kafe sebenarnya bukan barang baru. Ia adalah transformasi dari warung kopi, angkringan, atau semacam warung gorengan Mbok Djum. Tempat-tempat yang terakhir saya sebut bukan hanya tempat melepas dahaga atau lapar, tapi merupakan sebuah ruang sosial-komunal.
Silakan Anda datang di angkringan atau warung kopi seperti itu di ruas-ruas jalan kota Jogja atau Solo, kemudian rasakan suasananya. Jika anda beruntung tiba di waktu yang tepat anda akan menyadari sedang berada di antara tukang becak, supir truk, pelanggan bermobil, karyawan swasta pulang kerja, pengangguran, hingga mungkin beberapa mahasiswa abadi. Kita pun boleh duduk di mana saja, nyempal-nyempil bergabung dengan siapapun. Dan tanpa sadar obrolan cair bisa tercipta di sana. Makanya ada istilah “obrolan warung kopi”.
Tapi, di kafe mah boro-boro. Berbeda dengan moyangnya, angkringan, devide at impera justru diberlakukan di sana. Setiap pengunjung telah tersekat-sekat secara imajiner, kami duduk sebelah sini, mereka duduk di sebelah sana, pengunjung yang lain duduk di sisi lain dan kita semua masing-masing tak kenal dan tak juga menyapa satu sama lain. Gue-gue, elo-elo.
Bahkan beberapa kafe menerapkan sistem durasi maksimal hanya beberapa jam dan tidak boleh berpindah tempat duduk. Semua ini tentu tak sejalan dengan khittah warung kopi.
Nah, semakin sering nongkrong di Coffe Shop Anda makin kukuh menjadi orang yang tersekat-sekat dan tidak mengenal kebhinekaan. Maka, pilihlah angkringan atau warung kopi sebagai tempat Anda nongkrong.
#3 Jangan beli rumah cluster
Bagi mereka yang tinggal di perkotaan, rumah cluster sering menjadi pilihan untuk dibeli. Alasannya sederhana, umumnya karena lingkungan yang aman dan nyaman sebab ia hanya terdiri dari beberapa rumah dengan penjagaan ketat di pintu masuk area.
Tapi di sinilah masalahnya. Jika lingkungannya hanya beberapa keluarga, pekerjaan atau strata sosial ekonomi mereka semua equal, sampai desain rumahnya seragam, bagaimana mereka mengenal keberagaman? Initidak baik perkembangan sikap kita yang semakin tidak toleran hingga memunculkan sikap diskriminatif.
Menurut saya pribadi sungguh disayangkan seandainya kita kehilangan kesempatan untuk menyelami bhinekanya manusia di luar pos keamanan sebuah cluster.
Maka, saran saya jangan beli rumah model seperti itu. Carilah rumah di perkampungan atau perumahan biasa. Dengan begitu Anda bertemu dengan bermacam orang, paham, karakter, etnis, organisasi bahkan partai (hehe). Dari sana Anda akan terbiasa, bahkan terpaksa dan rela hidup rukun. Sebab, kalau tidak ya pasti dikucilkan.
BACA JUGA Membedah Tagline ‘Mondok Sampek Rabi, Ngaji Sampek Mati’ Anak Pesantren