Indra Keenam Orang Batak Hingga Relasi Gender dan Tanggung Jawab Sosial

Indra Keenam Orang Batak Hingga Relasi Gender dan Tanggung Jawab Sosial

Indra Keenam Orang Batak Hingga Relasi Gender dan Tanggung Jawab Sosial (Unsplash.com)

Bicara soal orang Batak, apa sih yang terbayang di kepala? Berdasarkan pengalaman pribadi saya, Batak itu sering diasosiasikan sama orang yang banyak omong, nadanya tinggi dan melengking, kalau nggak barbar ya kurang, bawa pulang lapet pulut dari pesta nikahan, terus kalau nggak pengusaha ya pengacara atau sopir angkot. Poin terakhir ini maksudnya bukan menghina ya, tapi saya duga jumlah sopir angkot berdarah Batak di tanah Jawa jauh lebih banyak dibanding orang Jawa asli. Makanya ada celetukan kayak gitu.

Pertanyaan selanjutnya, apakah saya orang Batak? Sejujurnya saya bingung tiap mendapat pertanyaan kayak gitu. Soalnya di belakang nama saya nggak ada marga Hutapea, Sihotang, atau Sinaga-nya. Saya selalu bilang kalau saya ini sudah campuran. Saya bisa masuk ke klub Batak karena ibu saya orang Batak asli. Beberapa hal yang bisa dijadikan bahan diskusi tentang kaum Batak bakal coba saya jelaskan di sini.

Orang Batak bisa “mengendus” sesama kaumnya

Percaya atau nggak, orang Batak bisa tahu keberadaan orang Batak lain ketika berada di dekatnya, lho. Ini bukan cuma soal melihat KTP atau formulir data diri terus di belakangnya tersemat marga-marga Batak aja. Ada beberapa kejadian unik yang pernah saya alami.

Ceritanya waktu itu saya sedang menunggu Gojek di halte bus dekat kampus. Tiba-tiba seorang bapak yang memang sudah duluan duduk di halte itu tanpa ragu langsung menembak saya dengan pertanyaan, “Halo, orang Batak, ya?”

Mendengar pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut si bapak, saya cuma bisa ngasih senyum korporat sembari ketawa tipis. Jangan harap percakapan itu bakal berakhir setelah saya mencoba menjawab dengan sopan. Setelahnya justru seberondong pertanyaan mengikuti. Mulai dari “Boru apa kau Dek? Tinggal di mana? Semester berapa kuliah?” dan masih banyak lagi.

Sembari tertawa bangga, bapak itu pun menjelaskan, “Memang begitu orang Batak, Dek. Dia tahu mana-mana lagi orang Batak lainnya!”

Perbincangan kami pun selesai di sana saat Gojek saya datang. Sejujurnya, percakapan di halte itu cuma satu dari banyaknya adegan saya dipergoki sebagai orang Batak oleh orang-orang random yang baru saya temui.

Beberapa alasan mereka berikan. Misalnya, muka saya yang terlihat sawo matang oriental khas gadis Sumatra, nada dan kecepatan bicara saya, hingga yang paling lucu adalah kemampuan saya untuk melakukan negosiasi dan menawar harga barang. Bukan main memang navigating system yang tertanam secara apik di DNA orang Batak ini.

Makanya asosiasi orang Batak bisa ditemukan di wilayah mana pun. Soalnya ketika orang Batak merantau ke satu wilayah, nanti di sana mereka akan mencari lagi orang-orang Batak lain untuk membuat satu ikatan baru di wilayah itu. Kalau kalian adalah orang Batak, coba kasih tahu saya berapa kali kalian dateng ke pesta Batak dalam satu bulan dan berapa banyak grup arisan marga yang kalian miliki?

Nggak enaknya jadi anak gadis di keluarga Batak

Sekali lagi tulisan ini dibuat berdasarkan titik berdirinya saya. Nggak ada maksud menjelek-jelekkan atau merendahkan suku mana pun di tulisan ini. Selanjutnya, soal hidup sebagai anak gadis di keluarga orang Batak. Kadang saya mikir kalau berdasarkan jenis kelamin, menjadi perempuan turunan Batak itu jauh lebih sulit ketimbang laki-laki turunan Batak. Kenapa?

Saya coba analogikan seperti ini. Anak laki-laki di keluarga Batak tuntutannya terbatas hanya pemenuhan target di luar rumah saja. Contohnya: prestasi di bidang pendidikan, pekerjaan, dan relasi sosial. Intinya, lingkupnya adalah kemampuan yang harus bisa dilakukan di luar rumah.

Sementara anak perempuan Batak keduanya. Baik itu capaian yang baik di luar rumah seperti pendidikan dan pekerjaan maupun relasi sosial. Serta kemampuan untuk menjadi Captain Marvel di dalam rumah (melakukan pekerjaan fisik domestik seperti memasak, menyapu, mengepel, menyetrika, mencuci piring, mengangkat galon dan tabung gas, dll.).

Ada studi kasus yang menarik berdasarkan pengalaman pribadi saya. Ketika tiba acara keluarga khususnya yang dilaksanakan di rumah dan bukan di gedung, kelompok perempuan seperti saya dan ibu saya harus maju paling depan menjadi seksi sibuk.

Mulai dari menyiapkan makanan untuk dimakan bersama, menyiapkan pirang gelas dan kobokan air untuk cuci tangan, hingga membersihkan piring kotor dan rumah selepas acara usai harus kami lakukan. Lalu ke mana perginya kaum bapak dan anak laki-laki di keluarga? Kita bisa menemukan mereka asik markombur (bahasa Batak yang artinya ngobrol) sembari menyeruput kopi dan memegang rokok di tangan di teras atau halaman rumah.

Kental dengan budaya patriarki, tapi bisa juga…

Gap ini saya rasa hadir karena budaya Batak sangat kental terhadap budaya patriarki yang bahkan terafiliasi ke dalam konteks kehidupan domestik. Mungkin saat ini sudah lebih banyak orang Batak yang mencoba keluar dari dogma semacam itu. Banyak yang kini melihat pekerjaan domestik bukan sebagai kewajiban dan pekerjaan mutlak yang harus dilakukan perempuan, tetapi basic skill to live in the world.

Fenomena yang dialami saya terkait timpangnya relasi kuasa anak laki-laki dan perempuan di keluarga Batak bisa berlaku dengan syarat dan ketentuan tertentu.

Pertama, orang tua Batak yang mulai meninggalkan dogma di atas dan melihat adanya kesamaan tanggung jawab baik anaknya laki-laki maupun perempan. Kedua adalah keluarga dengan Social Economic Status (SES) kategori AB atau bisa disebut sebagai keluarga mapan. Biasanya keluarga semacam ini memang menggunakan pihak ketiga untuk melakukan pekerjaan domestik di rumahnya. Dengan demikian, baik anaknya perempuan maupun laki-laki tidak akan atau setidaknya sangat minim terpapar pekerjaan domestik dalam rumah.

Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan awareness teradap konsep kesetaraan gender, saya rasa ke depannya akan lebih sedikit orang-orang yang mengalami fenomena timpang semacam ini. Bagaimanapun laki-laki dan perempuan maupun gender lain di luar sana memiliki hak atas pengakuan dan tanggung jawab yang sama dalam konteks kita sebagai manusia. Kalau kata orang Batak, “Ima tutu! Horas!”

Penulis: Marinda Uparatu
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Batak KW Adalah Orang Batak yang Nggak Terlalu Batak, Saya Buktinya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version