Tulisan ini membahas tentang acara realitas yang juga memungkinkan pemirsa untuk ‘melihat sendiri’, yang memiliki menjadi daya tarik utama, mengubah hubungan antara pemirsa dan layar menjadi sesuatu yang lebih intim dan partisipatif daripada sebelumnya. Jadi di sini orang-orang, kamu, dia, ataupun saya mempunyai partisipasi terhadap acara tersebut, karena membutuhkan sudut pandang dari penilaian teman-teman.
Acara realitas paling populer di Indonesia hingga saat ini adalah pencarian bakat penyanyi seperti Indonesian Idol di RCTI, begitu pula Indosiar dengan Akademi Fantasi Indosiar (AFI) dan Kontes Dangdut Indonesia (KDI).
Oh iya btw, Indonesian Idol tayang lho hari ini, jangan lupa nonton. haha
Balik lagi, Indonesian Idol sering dianggap oleh penggemar dan pemirsa di majalah dan forum online sebagai ‘asli dan terbaik’. Indonesian Idol adalah sumber yang kaya untuk menjelajahi masalah produksi dan konsumsi selebriti di Indonesia hari ini, dan untuk memeriksa gagasan audiensi interaktif yang aktif dalam konteks globalisasi dan peningkatan komersialisasi produk dan praktik budaya. Indonesian Idol dipromosikan sebagai membuat proses selebriti menjadi eksplisit.
Idola adalah bentuk baru dari selebriti: orang-orang nyata berbakat yang mencapai ketenaran melalui televisi realitas. Menurut Chris Rojek, status selebritis datang dalam tiga bentuk: ‘diasumsikan’ melalui hubungan darah (keluarga kerajaan, misalnya), ‘tercapai’ dalam kompetisi terbuka (olahraga bintang), atau ‘dikaitkan’ oleh media (tokoh televisi dan film), dan ini membentuk kerangka kerja yang bermanfaat untuk memposisikan diskusi tentang proses ketenaran Indonesian Idol.
Hal yang membedakan Indonesian Idol dan pencarian bakat serupa muncul dari program televisi realitas lain di Indonesia adalah penekanan pada sistem pemilihan ‘demokratis’ melalui SMS untuk ‘memilih’ Idola, dan ini pada gilirannya membedakan idola dari bintang dan selebritas.
Imajinasi yang disajikan dalam Indonesian Idol adalah salah satu yang pasti populer. Ada glamor global tentang program dan bintang-bintangnya: tidak ada keraguan bahwa gambar Idola sebagai tanda komoditas yang dapat dipertukarkan memiliki nilai besar dalam ekonomi dan industri budaya. Jika kita melihat Idola ‘dari atas’ sebagai komoditas diperdagangkan oleh promosi, publisitas, dan industri media, kemudian pertunjukan peran utama adalah untuk memperluas dan memperkuat peran modal, dan Barat ideologi. Identitas Idola yang diciptakan oleh, dan di dalam, Indonesian Idol mewakili persepsi tertentu tentang dunia sosial, dan budaya tertentu di bawah klasemen. Indonesian Idol adalah contoh hibriditas budaya dan pluralisme dalam ‘perasaan glocal’. Sosial fungsi gambar Idola adalah salah satu dari menjembatani lokal dan global, dan menunjukkan keikutsertaan Indonesia dalam arus televisi global.
Pada saat acara itu akan tayang, RCTI memasang biaya iklan Rp. 18.000.000 kurang lebih per 30 detik iklan, dapat dibayangkan sebuah komodifikasi mata penggemar atau pendukung kontestan. Dengan 1 jam acara ini tayang, terdapat 6 parade iklan, 1 parade iklan terdapat 8 iklan, jika dihitung-hitung ada 48 iklan. Mantap! Dalam 1 jam mereka mendapatkan kurang lebih Rp. 864.000.000 mungkin teman-teman kaget, tetapi begitulah faktanya, selama ini teman-teman yang mendukung teman, kekasih, ataupun keluarga yang mengikuti Indonesian Idol hanya menjadi pendongkrak rating mereka untuk mendapatkan hasil yang lebih banyak. Tetapi itu bukan hal yang salah, saya sebagai antropolog harus melihat dari 2 sisi atau perspektif. Tanpa komodifikasi tersebut, tidak mungkin Indonesian Idol dapat terkenal secara global ataupun seluruh Indonesia, guna mereka menaikkan rating juga untuk memberikan nuansa selebritis untuk para kontestan, walaupun yang pada akhirnya yang memberikan juara berdasarkan banyak-banyakan massa dan yang memikat hati masyarakat. Hal ini dapat disebut sebagai resiprositas yaitu hubungan timbal balik dengan teman-teman yang harus berbondong-bondong untuk mendukung yang kalian inginkan sebagai juara, kalian juga harus menonton peformance dari idola kalian, di saat yang sama yaa RCTI sebagai stasiun televisi apalagi swasta menggunakan kesempatan tersebut, toh kalo idola kalian menang juga nanti kalian kebagian dikit.
Posisi yang diberikan oleh program Idola untuk ‘go international’ adalah dianggap sangat penting oleh penggemar dan Idola, dan fakta bahwa ini wannabe selebritis bergantung pada pemilihan umum yang demokratis format. Penonton, terutama pendukung, mungkin bisa dideskripsikan sebagai ‘pemilih aktif’. Penonton membayangkan itu menentukan tingkat keberhasilan Idola, dan dukungan mereka sangat penting untuk tidak hanya favorit mereka, ketenaran dan kekayaan kontestan, tetapi juga kelanjutan dari acara. Indonesian Idol membuat para penonton menjadi pemeran utama yang sebenarnya tidak turun langsung dalam acaranya, tetapi para penonton memberikan dampak yang sangat signifikan. Bisa dibayangkan tanpa penonton atau sistem yang melibatkan penonton, pasti acara tersebut tidak terlalu berdampak besar, dan mungkin peran juri yang seharusnya menilai para kontestan sepenuhnya sampai yang juara akan dibilang penilaiannya sepihak, tidak benar, ataupun salah. Padahal memang setiap perlombaan membutuhkan penilaian, tetapi dalam kasus ini ya berbeda, banyak faktor yang membuat sistem ini digunakan oleh acara tersebut.
Indonesian Idol adalah perwakilan dari pemahaman selebritas yang beredar secara global, dan fakta yang begitu banyak khalayak (terutama remaja) sangat menyukai waralaba. Pemahaman ini melampaui ‘globalisasi’, dan mewakili harapan baru dari hubungan penonton dan layar produk budaya global. Mungkin jenis budaya dunia tertentu, berat dikomersialkan, dan cukup eksklusif, tetapi glamor dan menarik karena itu, setidaknya untuk audiens Indonesia yang disurvei. Mungkin kemasyhuran global Indonesian Idol hanya janji dan bukan fakta, tetapi tentu saja menangkap imajinasi rakyat dan suara SMS. (*)
BACA JUGA BTS Jadi Brand Ambassador: Strategi Cerdik Tokopedia dalam Menggaet Kpopers atau tulisan Wan Farendra Kautsar lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.