Ada yang unik di Indonesian Idol saat audisi peserta bernama Cynantia Pratita. Ketika blio sedang audisi dengan khusyuk, bahkan menutup matanya, menampilkan sesuatu yang dirasa baik untuknya, sayup-sayup dewan juri tertawa. Mereka tertawa karena Cynantia Pratita mengeluarkan scream ketika bernyanyi.
Mak rawr, gitu sekiranya. Ekspresi kaget Anang Hermansyah mungkin masih bisa masuk di pikiran saya. Namun, Rossa yang terus haha hihi dan Judika yang bahkan mengatakan, “Suaramu itu kayak tetangga saya lagi berantem,” bikin saya mak nyeg bingung sendiri. Kok, ya bisa i lho dielek-elek.
Sebenarnya bodo amat dengan Cynantia Pratita dan audisinya. Mau diterima atau nggak, itu nggak urusan. Yang bikin saya geleng-geleng, kok ya genre musik yang saya suka, yakni post-hardcore, blas nggak ada wibawa di hadapan para dewan juri.
Tentu kapasitas mereka sebagai dewan juri nggak perlu ditanyakan lagi. Siapa yang nggak tahu Rossa. Pun siapa yang nggak kenal Judika, produk wahid jebolan Idol. Namun, ketika muncul sebuah genre musik—yang barangkali—jauh dari telinga mereka, ketawa dan ngenyek guyon itu sesuatu yang bikin saya garuk-garuk kepala.
Saya yakin, jika yang berada di sana adalah saya, kemudian mbengok-mbengok nyekrim menyanyikan lagu “A Prophecy” milik Asking Alexandria, mungkin masuknya bakal dalam segmen peserta lucu-lucuan. Sejajar dengan peserta yang menyanyikan lagu “Numb” yang diputar tiap saat.
Ada juga peserta yang menyanyikan lagu “Ngamen 2″. Peserta itu yang belakangan kini jadi artis televisi. Bahkan bermain dalam sinetron Tukang Ojek Pengkolan memainkan tokoh bernama Sekar.
Maksud saya adalah kenapa yang muncul di Indonesian Idol adalah para bibit artis yang—selain cantik dan tampan—warna suara mereka kalau nggak pop, ya R&B-R&B. Lihat saja juara beberapa musim belakangan. Bosan sih nggak, tapi ya kembali lagi, mereka terlalu mengikuti selera pasar.
Apakah ngikutin selera pasar adalah sebuah kesalahan? Bos, namanya buka lapak dagangan, ya pasti cari cuan. Itu nggak bisa disalahkan. Toh, artis-artis yang akan masuk beberapa besar, bakal dapat kontrak.
Buat tipikal warna suara yang nggak masuk kriteria pihak penyelenggara, ya lebih baik bikin band atau bergerilya dari bawah. Toh, mereka bakal dapat pasar yang kuat. Lha pasar itu diciptakan je, bukan dibuat. Kalau dibuat, ya contoh Indonesian Idol yang katanya melahirkan sebuah kutukan, juara pertama nggak bisa tenar.
Lha gimana nggak tenar, belum juga satu tahun peserta nyeblung di industri musik, sudah ada kompetisi baru lagi. Jika dikatakan juara satu sampai lima bisa memiliki massa yang kuat. Lalu bagaimana dengan nasib juara enam ke bawah? Bahkan, ada yang masih ingat juara delapan atau sembilan Indonesian Idol musim lalu?
Mangkanya, Lur, pemilihan arena musik ditetapkan. Pilihannya yang digemari oleh para penonton Indonesia kebanyakan. Misal genre post-hardcore atau metalcore masuk, didengar oleh simbah-simbah di ujung Mbantul, yang ada ya mbatin, “Astagfirullah, kesurupan kok malah di-syuting terooos!”
Pop dan R&B, atau yang katanya rock modelan Firza, masih masuk dalam industri. Inilah sasaran empuk Indonesian Idol. Seperti yang saya katakan tadi, Indonesian Idol ini “masuk pasar”, bukan “membuat pasar”.
Dalam hal ini, jebolan Indonesian idol disusui oleh rumah produksi FremantleMedia. Kenapa Kunto Aji tidak dinaungi oleh mereka? Kan padahal blio ini anak kandung kompetisi bernyanyi paling wahid seantero negeri, sama seperti Mas Judika? Ya begitulah, dengarkan saja wawancaranya bersama Gofar Hilman di Ngobam.
Pihak FremantleMedia juga memberikan kontrak recording single atau album dari recording company ternama untuk tiap jawara. Sedangkan seluruh kontestan akan di-manage talent agency besar dari grup MNC. Bisnis tercipta, ya mereka nggak mau rugi. Indonesian Idol adalah paket lengkap, bukan media memperkaya warna musik Indonesia.
Selain suara yang bagus, kategori bakal laku atau nggak di pasaran ya jadi bahan perhitungan. Semisal ada yang membawakan sub-genre punk, yakni anarko punk dalam audisi, suaranya bagus dan bisa mentransferkan energi khusus kepada para pendengar, nek nggak bakal laku di pasaran, ya buat apa melaju jauh di kontestasi ini?
Lha wong Onadio Leonardo, mantan pentolan band bergenre post-hardcore, Killing Me Inside, berkata mereka membuang harga diri dengan membuat lagu nggak banget berjudul “Biarlah”. Gunanya buat nembus industri.
Memang sudah baik Cynantia Pratita berjuang bersama Stereowall ketimbang digeguyu sama Mbak Rossa. Memang sudah benar Cynantia Pratita cover-cover saja di kanal YouTube-nya, dinikmati para pecinta musik yang menghargainya ketimbang dikatai suaranya mirip tetangga Mas Judika yang lagi berantem.
Terkenal sih ya terkenal, tapi tahulah taraf terkenal musisi cover itu bagaimana. Namun, setidaknya di sana bebas untuk membawakan ideologi musik yang dijunjungnya. Para penonton bebas, mau lihat ya dipentelengi, mau dengar ya dirungokne, mau nggak suka ya tinggal dislike. Mudah.
“Idola Indonesia,” begitu jargon mereka tiap tahun. Tembang yang dinyanyikan tiap acara mau selesai, dinyanyikan bersama oleh peserta yang masih bertahan. Namun, sampai sekarang masih nggak paham. Idola Indonesia, jebul merujuk kepada satu hal, yakni genre pop yang sedap mewangi sepanjang masa.
Indonesian Idol adalah saduran acara Pop Idol yang pertama naik di televisi Inggris. Pun jelas bahwa mereka mencari bakat-bakat pop—atau setidaknya yang sedang populer saat itu.
Ketimbang membawa nama Indonesian Idol dan memberikan gimmick-gimmick kedaerahan dan nggak memberikan ruang bagi genre yang “kurang terdengar pop”, lebih baik Indonesian Idol ganti nama saja jadi Indonesian Pop. Pasalnya, idola Indonesia bukan orang yang bernyanyi dengan cara itu-itu saja.
BACA JUGA Daniel Mananta Adalah Wajah Indonesian Idol yang Sebenarnya dan tulisan Gusti Aditya lainnya.