Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Profesi

Ikhlas Tidak Harus Miskin: Ironi Kesejahteraan Guru Agama dan Lulusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Syauqi Aulade Ghifari oleh Syauqi Aulade Ghifari
8 Mei 2025
A A
Ikhlas Tidak Harus Miskin: Ironi Kesejahteraan Guru Agama dan Lulusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Ikhlas Tidak Harus Miskin: Ironi Kesejahteraan Guru Agama dan Lulusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Share on FacebookShare on Twitter

Bagaimana bisa guru agama, profesi yang dituntut membentuk akhlak bangsa, justru digaji di bawah standar hidup layak?

Pertanyaan ini terus terngiang di kepala saya sejak pertama kali mengajar pasca-lulus dari jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Sebuah jurusan yang di awal begitu membanggakan, namun di ujung jalan seolah tak menawarkan banyak ruang untuk berdiri tegak.

Banyak orang mengira jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir memiliki prospek cerah. Sejak awal, kami dididik untuk menjadi intelektual muslim, pengkaji kitab suci, penjaga tradisi tafsir. Namun kenyataan membatasi pilihan karier hanya pada dua jalur sempit: menjadi guru agama atau berusaha masuk Kementerian Agama.

Tidak salah jika jurusan ini historisnya memang lahir untuk mendukung fungsi-fungsi Departemen Agama di masa lalu: penghulu, penyuluh agama, kepala KUA. Tapi apakah fungsi intelektual lulusan Al-Qur’an dan Tafsir hanya sebatas itu? Atau sistem pendidikan kita memang gagal membuka ruang imajinasi dan peluang?

Di kampus, sosialisasi profesi lain nyaris nihil. Nyaris semua dosen, alumni, dan pembicara tamu datang dari latar yang sama: birokrat Kemenag atau praktisi pendidikan agama. Pilihan-pilihan lain seakan kabur. Akhirnya, banyak mahasiswa—termasuk saya—terjebak dalam arus default: jadi guru agama atau berharap lolos CPNS.

“Ikhlas” yang dipelintir: ketika profesionalisme guru diperas

Mengajar agama adalah profesi mulia. Namun kemuliaan itu sering dijadikan dalih untuk menindas kesejahteraan. Saya pernah mengajar di sekolah Islam swasta dengan gaji tak sampai sejuta rupiah per bulan. Saat itu, sekolah belum terdaftar di Dapodik. Artinya, saya tak punya akses tunjangan. Gaji sekecil itu bahkan tak cukup untuk ongkos ke sekolah, apalagi kebutuhan hidup.

Ironisnya, ketika saya mempertanyakan hak saya, jawaban yang muncul hanya satu: “Mengajar itu ibadah. Ikhlaskan saja.”

Kalimat itu terdengar suci, tetapi juga menusuk. Seolah-olah ikhlas berarti menoleransi ketidakadilan. Seolah-olah profesionalisme guru agama tak perlu diimbangi penghargaan material. Lebih parah, beberapa sekolah malah menjadikan “ikhlas” sebagai dalih menambah beban kerja tanpa kompensasi.

Baca Juga:

Jangan Bilang Gen Z Adalah Generasi Anti Guru, Siapa pun Akan Mikir Berkali-kali untuk Jadi Guru Selama Sistemnya Sekacau Ini

Dear Sri Mulyani, Ini Bukan Hanya Soal Gaji Guru yang Kecil, tapi Juga Soal Hak Kesejahteraan dan Kewajiban Negara yang Harus Dipenuhi

Jadilah guru agama tidak hanya mengajar, tapi merangkap admin, pembina ekstrakurikuler, hingga “satgas” segala acara keagamaan sekolah. Semua tanpa tambahan insentif. Ikhlas menjadi mantra yang memaksa kami terus memberi tanpa diperhitungkan.

Pekerjaan sampingan bukan solusi: fokus guru terkikis, murid dirugikan

Ketika gaji tak cukup, solusinya hanya dua: cari kerja tambahan atau utang. Teman-teman saya banyak yang akhirnya bekerja sampingan: les privat, jualan online, bahkan driver ojek daring. Saya pun nyaris memilih jalur yang sama. Namun realitasnya, pekerjaan tambahan memecah fokus. Waktu dan energi yang seharusnya untuk mempersiapkan materi, memperdalam kompetensi, malah habis untuk bertahan hidup.

Akibatnya? Kualitas pengajaran menurun. Guru kelelahan. Hubungan dengan siswa renggang. Idealnya guru menjadi teladan dan pembimbing. Namun bagaimana bisa menuntut dedikasi penuh jika perut sendiri tak kenyang?

Lebih buruk lagi, sebagian guru terjebak dalam pinjaman online. Awalnya demi menambal kebutuhan mendesak, lama-lama terjerat bunga mencekik. Pesan-pesan penagih utang membanjiri ponsel, menambah beban mental di antara kesibukan mendidik murid.

Kondisi ini bukan hanya menghancurkan guru secara individu, tetapi juga perlahan merusak martabat profesi. Masyarakat mulai melihat guru agama sebagai profesi “kelas dua”, kurang sejahtera, kurang bergengsi. Tak heran, makin sedikit anak muda bercita-cita menjadi guru agama.

Prospek terbatas, persaingan ketat: CPNS Kemenag bukan jalan pasti

Banyak lulusan jurusan saya berharap bisa menjadi ASN di Kemenag. Tetapi harapan ini sering berakhir pahit. Formasi CPNS terbatas, pelamar membludak. Setiap tahun ribuan orang bersaing untuk puluhan kursi. Sementara peluang kerja lain nyaris tak terdengar.

Kini muncul aturan PPPK yang mewajibkan pengalaman dua tahun berturut-turut sebagai honorer. Tapi bagaimana menjadi honorer jika lowongannya tak pernah dipublikasikan terbuka? Banyak yang akhirnya percaya: “Kalau tidak punya kenalan, jangan berharap masuk Kemenag.” Apakah birokrasi kita sudah sebegitu tertutupnya?

Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir seharusnya punya lebih banyak pintu. Lulusan yang menguasai bahasa Arab, tafsir klasik, metode hermeneutika, seharusnya bisa bekerja di ranah riset, penerjemahan, media keislaman, atau lembaga think-tank. Sayangnya, peluang-peluang itu tak pernah terpetakan dalam bimbingan karier kampus. Yang tampak hanya jalur lama: guru agama atau Kemenag.

Saatnya menghentikan romantisasi pengabdian

Sudah saatnya kita berhenti meromantisasi “ikhlas” tanpa memperjuangkan hak guru. Ikhlas bukan berarti rela ditindas. Ikhlas bukan alasan untuk tidak digaji layak. Pendidikan yang berkualitas hanya bisa tercapai jika guru didukung secara profesional, termasuk secara finansial.

Kita perlu mendesak perguruan tinggi membuka wawasan karier lebih luas untuk mahasiswa jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Pemerintah perlu memperbaiki sistem rekrutmen yang lebih transparan dan adil. Dan yang terpenting, kita perlu mengubah cara pandang masyarakat: guru agama bukan pekerja sukarela. Mereka profesional yang layak dihormati, didukung, dan dihargai secara proporsional.

Kalau tidak, profesi guru agama akan terus menjadi “penjaga moral” yang ironisnya hidup dalam ketidakadilan. Kita sedang membiarkan generasi pendidik tumbuh dalam kelelahan, kekurangan, dan keputusasaan. Jangan salahkan jika nanti, tak ada lagi yang mau mengajar agama. Jangan kaget jika pendidikan karakter hanya tinggal slogan, karena para pendidiknya sendiri kehilangan martabat.

Mengajar itu memang ibadah. Tapi ibadah pun butuh modal hidup. Dan guru juga manusia.

Penulis: Syauqi Aulade Ghifari
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Sebagai Guru Agama, Saya Merasa Nggak Agamis-Agamis Banget

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 9 Mei 2025 oleh

Tags: guru agamakemenagkesejahteraan gurululusan ilmu tafsir al-quran
Syauqi Aulade Ghifari

Syauqi Aulade Ghifari

Percaya bahwa perjuangan orang tua tidak boleh dibalas dengan kemalasan. Menulis tentang pendidikan, filsafat, realitas sosial, dan sedikit idealisme yang tersisa di tengah dunia yang makin pragmatis.

ArtikelTerkait

Sri Mulyani, Menteri yang Nggak Paham Nasib Guru (Unsplash)

Dear Sri Mulyani, Ini Bukan Hanya Soal Gaji Guru yang Kecil, tapi Juga Soal Hak Kesejahteraan dan Kewajiban Negara yang Harus Dipenuhi

9 Agustus 2025
Logo Halal Versi Kemenag Memang Keren, tapi Nggak Sekeren Itu Terminal Mojok

Logo Halal Versi Kemenag Memang Keren, tapi Nggak Sekeren Itu

14 Maret 2022
Tradisi Kupatan sebagai Tanda Berakhirnya Hari Lebaran Masa Lalu Kelam Takbir Keliling di Desa Saya Sunah Idul Fitri Itu Nggak Cuma Pakai Baju Baru, loh! Hal-hal yang Dapat Kita Pelajari dari Langgengnya Serial “Para Pencari Tuhan” Dilema Mudik Tahun Ini yang Nggak Cuma Urusan Tradisi Sepi Job Akibat Pandemi, Pemuka Agama Disantuni Beragama di Tengah Pandemi: Jangan Egois Kita Mudah Tersinggung, karena Kita Mayoritas Ramadan Tahun Ini, Kita Sudah Belajar Apa? Sulitnya Memilih Mode Jilbab yang Bebas Stigma Kenapa Saf Tarawih Makin Maju Jelang Akhir Ramadan? Kenapa Kita Sulit Menerima Perbedaan di Media Sosial? Masjid Nabawi: Contoh Masjid yang Ramah Perempuan Surat Cinta untuk Masjid yang Tidak Ramah Perempuan Campaign #WeShouldAlwaysBeKind di Instagram dan Adab Silaturahmi yang Nggak Bikin GR Tarawih di Rumah: Ibadah Sekaligus Muamalah Ramadan dan Pandemi = Peningkatan Kriminalitas? Memetik Pesan Kemanusiaan dari Serial Drama: The World of the Married Mungkinkah Ramadan Menjadi Momen yang Inklusif? Beratnya Menjalani Puasa Saat Istihadhah Menghitung Pengeluaran Kita Kalau Buka Puasa “Sederhana” di Mekkah Apakah Menutup Warung Makan Akan Meningkatkan Kualitas Puasa Kita? Kenapa Saf Tarawih Makin Maju Jelang Akhir Ramadan? Apakah Menutup Warung Makan Akan Meningkatkan Kualitas Puasa Kita? Mengenang Serunya Mengisi Buku Catatan Ramadan Saat SD Belajar Berpuasa dari Pandemi Corona Perlu Diingat: Yang Lebih Arab, Bukan Berarti Lebih Alim Nonton Mukbang Saat Puasa, Bolehkah? Semoga Iklan Bumbu Dapur Edisi Ramadan Tahun Ini yang Masak Nggak Cuma Ibu

Sepi Job Akibat Pandemi, Pemuka Agama Disantuni

18 Mei 2020
Pengelolaan Dana Haji Dulu dan Sekarang, Apa sih Bedanya?

Pengelolaan Dana Haji Dulu dan Sekarang, Apa sih Bedanya?

9 November 2023
Emang Ada Masalah Apa Kalau Mahasiswa UIN Liberal?

Apa Bedanya UIN, IAIN, dan STAIN?

2 April 2021
Rasanya Nggak Punya Guru Agama Waktu Sekolah Terminal Mojok

Nggak Punya Guru Agama Waktu SD Bikin Saya Belajar Hidup Berdampingan

17 Februari 2021
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

5 Alasan Danau UPN Veteran Jatim Adalah Tempat Nongkrong Paling Romantis Sekaligus Paling Mlarat

5 Alasan Danau UPN Veteran Jatim Adalah Tempat Nongkrong Paling Romantis Sekaligus Paling Mlarat

2 Desember 2025
4 Aturan Tak Tertulis Berwisata di Jogja agar Tetap Menyenangkan Mojok.co

4 Aturan Tak Tertulis Berwisata di Jogja agar Liburan Tetap Menyenangkan

30 November 2025
Suka Duka Pengusaha Kecil Jualan Live di TikTok: Nggak Ada yang Nonton, Sekalinya Ada yang Nonton Malah PHP

Suka Duka Pengusaha Kecil Jualan Live di TikTok: Nggak Ada yang Nonton, Sekalinya Ada yang Nonton Malah PHP

3 Desember 2025
Brakseng, Wisata Hidden Gem di Kota Batu yang Menawarkan Ketenangan

Brakseng, Wisata Hidden Gem di Kota Batu yang Menawarkan Ketenangan

2 Desember 2025
Angka Pengangguran di Karawang Tinggi dan Menjadi ironi Industri (Unsplash) Malang

Ketika Malang Sudah Menghadirkan TransJatim, Karawang Masih Santai-santai Saja, padahal Transum Adalah Hak Warga!

29 November 2025
Jalur Pansela Kebumen, Jalur Maut Perenggut Nyawa Tanpa Aba-aba

Jalur Pansela Kebumen, Jalur Maut Perenggut Nyawa Tanpa Aba-aba

2 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • JogjaROCKarta 2025: Merayakan Perpisahan dengan Kemegahan
  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?
  • Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.