Nyatanya, Ijazah S2 Memang Nggak Ada Artinya di Dunia Kerja. Mau Jadi Peneliti, Nggak Bisa, Mau Kerja, Tambah Nggak Bisa

Nyatanya, Ijazah S2 Memang Nggak Ada Artinya di Dunia Kerja. Mau Jadi Peneliti, Nggak Bisa, Mau Kerja, Tambah Nggak Bisa kuliah s2

Nyatanya, Ijazah S2 Memang Nggak Ada Artinya di Dunia Kerja. Mau Jadi Peneliti, Nggak Bisa, Mau Kerja, Tambah Nggak Bisa (Pixabay.com)

Seorang guru pernah berujar, bahwa lanjut S2 itu bukan untuk mencari pekerjaan lebih baik, melainkan lebih untuk menambah ilmu dan wawasan yang tak pernah didapat di jenjang sebelum. Awalnya, saya hanya menganggap itu adalah sebuah idealisme belaka. Tapi, semakin mendekati ujung perkuliahan S2, saya semakin yakin bahwa kalimat itu benar.

Bahkan, saya sempat pada titik ijazah S2 itu nggak ada gunanya. 

Loker S2 berevolusi jadi S3

Beberapa waktu lalu, saya sempat kaget ketika prodi di kampus tempat saya menempuh S1 dulu sedang mencari lowongan dosen. Kagetnya saya bukan karena itu adalah peluang bagus bagi saya selaku alumni yang sedang menempuh S2. Namun, kagetnya dikarenakan minimal dosen hari ini itu harus sudah bergelar doktor, atau sekurang-kurangnya sedang menempuh kuliah S3.

Gila nggak sih, lah wong dulu waktu saya S1 itu loker-loker dosen hampir seluruhnya minimal hanya S2. Lah, berselang satu hingga dua tahun kemudian, kok minimal jenjang kuliah untuk dosen sudah harus S3. Lantas lima hingga sepuluh tahun ke depan untuk jadi dosen minimal harus S3 Luar Negeri begitu? Atau harus double degree dulu? Terus yang S2 hari ini itu disuruh kerja apa? Ngeslot?

Saya sendiri sebenarnya nggak begitu tertarik menjadi seorang dosen. Selain karena keruwetan birokrasi, saya juga nggak begitu jago dalam ngecemes di depan publik. Walhasil, saya lebih memilih untuk menjadi peneliti ketika sudah lulus S2, salah satunya yakni menjadi peneliti di BRIN. Bukan karena saya pro banteng ya, tapi ya karena LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) sebagai tempat bernaungnya peneliti sosial melebur jadi satu di BRIN.

Baca halaman selanjutnya: Ada saja industri yang nggak mau menerima ijazah S2.

Minimal S3, mumettt

Namun, sayangnya harapan saya itu pupus seketika, semenjak BRIN mensyaratkan penelitinya minimal harus sudah lulus S3, sudah terhias Dr. atau Phd di namanya. Kabar itu saya dapatkan ketika saya beberapa waktu lalu coba-coba, iseng ikut seleksi CPNS 2023.

Jadi, saat itu saya sedang nyari-nyari instansi yang mungkin bisa saya isi ijazah S1 saya, scroll sana scroll sini, jelajah sana jelajah sini. Eh tiba-tiba sekelibatan saya melihat BRIN yang sedang mencari peneliti. Saya sudah sangat tau emang kalau ijazah S1 saya nggak ada apa-apanya di BRIN. Tapi saya penasaran aja kira-kira BRIN syaratnya apa saja.

Sontak seketika itu saya kaget, ternyata untuk menjadi peneliti BRIN itu harus minimal sudah lulus doktoral. Terus saya mikir, lantas ijazah S2 saya buat apa? Buat bungkus brambang? Disekolahin ke rentenir?

Loker S1 nggak bakal mau nerima S2

Sempat saya mikir bahwa ijazah S2 saya mungkin bisa menjadi nilai lebih bagi saya ketika saya melamar kerja yang mensyaratkan minimal S1. Kan, ngomongnya minimal, berarti kalau lebih dari itu lebih bagus dong?

Namun, nyatanya apa yang disebut “minimal” pendidikan di suatu lowongan pekerjaan itu artinya pasnya ya segitu, nggak lebih dan nggak kurang, nggak bisa dinego layaknya baju di pasar loakan. Dengan kata lain, kalau si pembuka loker itu mintanya S1 ya S1, meskipun ngomongnya minimal.

Jadi, saya sempat menemukan beberapa loker seperti menjadi honorer pemerintah atau karyawan di sebuah industri, yang mana di pamfletnya syarat pendaftarnya itu minimal S1. Nah, ada tuh yang komen “Kalau lulusan S2 apakah bisa melamar?” Tak selang beberapa adminnya jawab kalau hanya menerima jenjang S1 saja sesuai ketentuan. Mekanisme ini juga ternyata saya temui di CPNS, bahwa kalau di persyaratannya minimal pendidikan S1 terus si pelamar ngisi ijazah S2, maka dapat dipastikan ia akan gagal di tahap administrasi.

Ada beberapa alasan memang mengapa kok suatu perusahaan, instansi, atau industri itu nggak mau menerima mereka yang memiliki ijazah S2. Bukan karena mereka nggak yakin dengan skill atau kemampuan seseorang. Melainkan karena mereka nggak mampu untuk menggaji orang dengan gelar lebih tinggi dari S1. Terdapat regulasi tertentu yang mana gaji bahkan jabatan seseorang itu tergantung pada jenjang pendidikannya.

Ternyata memang (hampir) nggak ada gunanya

Melihat beberapa realitas itu, saya tersadar, bahwa ijazah S2 (bukan ilmunya loh ya) itu ternyata tidak menambah nilai seseorang untuk lebih diterima di suatu pekerjaan dibandingkan pelamar yang lain. Atau sekurang-kurangnya menjadi kelebihan di tahap seleksi administrasinya. Ijazah S2 tidak menjamin seseorang lebih diterima dibandingkan pelamar S1, malah lebih potensial terdiskualifikasi.

Pada akhirnya, jenjang S2 itu lulusan paling magak dalam dunia lowongan kerja. Lulusannya paling nanggung banget. Mau jadi dosen atau peneliti nggak bisa karena terjegal minimal harus S3. Mau jadi pegawai biasa terjegal gara-gara ijazahnya ketinggian. Serba magak pokoknya, naik nggak bisa, turun juga nggak bisa.

Jadi bagi kalian yang mau kuliah S2 barangkali bener-bener harus meluruskan niat, kalau mau menuntut ilmu ya sok monggo. Tapi, kalau mau jadi dosen, peneliti atau berkecimpung dalam dunia akademis, plis jangan berhenti di S2, gass aja lanjut S3. Pasalnya, kalau nggak ngegas ke S3, ijazah S2 hanya bakal jadi pajangan di tembok rumah.

Penulis: Mohammad Maulana Iqbal
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Cara Menjadi Mahasiswa S2 yang Baik dan Benar

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version