Seorang guru pernah berujar, bahwa lanjut S2 itu bukan untuk mencari pekerjaan lebih baik, melainkan lebih untuk menambah ilmu dan wawasan yang tak pernah didapat di jenjang sebelum. Awalnya, saya hanya menganggap itu adalah sebuah idealisme belaka. Tapi, semakin mendekati ujung perkuliahan S2, saya semakin yakin bahwa kalimat itu benar.
Bahkan, saya sempat pada titik ijazah S2 itu nggak ada gunanya.
Loker S2 berevolusi jadi S3
Beberapa waktu lalu, saya sempat kaget ketika prodi di kampus tempat saya menempuh S1 dulu sedang mencari lowongan dosen. Kagetnya saya bukan karena itu adalah peluang bagus bagi saya selaku alumni yang sedang menempuh S2. Namun, kagetnya dikarenakan minimal dosen hari ini itu harus sudah bergelar doktor, atau sekurang-kurangnya sedang menempuh kuliah S3.
Gila nggak sih, lah wong dulu waktu saya S1 itu loker-loker dosen hampir seluruhnya minimal hanya S2. Lah, berselang satu hingga dua tahun kemudian, kok minimal jenjang kuliah untuk dosen sudah harus S3. Lantas lima hingga sepuluh tahun ke depan untuk jadi dosen minimal harus S3 Luar Negeri begitu? Atau harus double degree dulu? Terus yang S2 hari ini itu disuruh kerja apa? Ngeslot?
Saya sendiri sebenarnya nggak begitu tertarik menjadi seorang dosen. Selain karena keruwetan birokrasi, saya juga nggak begitu jago dalam ngecemes di depan publik. Walhasil, saya lebih memilih untuk menjadi peneliti ketika sudah lulus S2, salah satunya yakni menjadi peneliti di BRIN. Bukan karena saya pro banteng ya, tapi ya karena LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) sebagai tempat bernaungnya peneliti sosial melebur jadi satu di BRIN.
Baca halaman selanjutnya: Ada saja industri yang nggak mau menerima ijazah S2.