Ibu Shinchan, Nobita, Kenichi, dan Maruko-chan Adalah Gambaran Umum Ibu Rumah Tangga di Jepang

Ibu Shinchan, Nobita, Kenichi, dan Maruko-chan Adalah Gambaran Umum Ibu-ibu di Jepang dan Alasan Kenapa Ibu-ibu di Sana Memilih Jadi Ibu Rumah Tangga terminal mojok

Ibu Nohara Misae (ibunya Shinchan), Ibu Nobi Tamako (ibunya Nobita), Ibu Kenichi dalam serial Ninja Hattori, dan Ibu Sakura Sumire (ibunya Chibi Maruko-chan) adalah full time mother alias ibu rumah tangga. Sehari-hari mengurus keperluan anak suami, termasuk melakukan pekerjaan rumah tangga. Membangunkan anak suami, menyiapkan sarapan pagi, mengantar anak (Shinchan), menyiapkan cemilan (dorayaki atau keik) saat anak pulang sekolah, dan bawel mengingatkan anaknya soal PR sekolah. Berbelanja dan diskon adalah salah satu kesukaan mereka. 

Di Jepang, suami bekerja sementara istri mengurus rumah tangga dan mengasuh anak adalah hal yang sangat lumrah. Ibu-ibu teman TK-nya anak saya pun sebagian besar ibu rumah tangga. Mengantar dan menjemput anak sekolah (TK) juga sudah menjadi tugas mereka. Kalau anaknya sudah SD seperti Nobita, Kenichi, dan Maruko, tidak perlu diantar, sih. Saat ada kunjungan orang tua ke sekolah, biasanya para ibu juga yang berangkat karena umumnya bapak bekerja. Saat kunjungan guru ke rumah pun para ibu yang menerima mereka (bisa dilihat dalam serial Doraemon dan Ninja Hattori).

Lantas, apakah semua ibu di Jepang menjadi ibu rumah tangga? Tentu saja tidak. Ada yang bekerja. Ada yang memang sejak single bekerja dan meneruskannya meski punya anak sekalipun. Ada pula yang berhenti bekerja setelah punya anak. Lagi pula, mereka akhirnya memilih menjadi ibu rumah tangga karena berbagai alasan juga.

Lingkungan kerja yang tidak kondusif

Perlu diketahui di Jepang gaji perempuan itu tidak sama dengan gaji laki-laki meski berawal dari perekrutan yang bersamaan. Kenaikan kariernya pun tidak sama. Semisal satu perusahaan merekrut 2 karyawan baru, satu laki-laki dan satu perempuan, karier si laki-laki biasanya akan lebih dulu meroket. Perempuan lah yang harus menyiapkan minuman seandainya ada tamu. Sudah menjadi manner tersendiri di lingkungan kerja.

Akan tetapi, dalam hal pekerjaan, perempuan Jepang juga dituntut sama dengan laki-laki. Setiap saat harus mau dipindah ke cabang perusahaan dan lembur sampai larut malam. Saat minum-minum bersama rekan kerja, perempuan juga diharapkan ikut. 

Tahun 2017 pernah ada kasus karyawati junior yang bunuh diri karena beban pekerjaan yang sangat tinggi. Dia bekerja lembur selama 159 jam dalam sebulan.

Ketika hamil, perempuan juga lebih sering dilecehkan karena jadi tidak bisa bekerja seperti laki-laki. Tidak ada toleransi meski sedang berbadan dua. Mereka juga dianggap hanya akan resign setelah melahirkan. Memang benar, sih, kebanyakan mereka berhenti kerja sebelum melahirkan dan akhirnya memilih menjadi ibu rumah tangga.

Mitos anak harus diasuh sendiri sampai usia 3 tahun

Di Jepang ada mitos “sansai-ji-shinwa” bahwa anak harus diasuh oleh ibunya sendiri sampai anak tersebut berusia 3 tahun. Ibu harus fokus mengasuh anaknya sampai usia 3 tahun dan jika tidak dilakukan akan berdampak buruk pada pertumbuhannya. Disebutkan juga dalam buku bahwa pertumbuhan otak di usia sekitar 3 tahun sangat penting. Mitos ini sudah turun-temurun sejak zaman dulu dan sampai sekarang masih dipercaya oleh sebagian orang.

Setelah melahirkan, biasanya ibu baru akan pulang ke rumah orang tuanya sendiri. Selain pemulihan, ibu baru juga belajar ilmu parenting dari si nenek. Setelah pulih dan dirasa cukup menimba ilmunya, mereka akan kembali ke rumahnya.

Di Jepang biasanya keluarga inti (bapak, ibu, anak) tinggal sendiri, tidak bersama orang tuanya sendiri atau mertua. Oleh karena itu, sangat biasa bagi ibu Jepang untuk mengurus anak suami sendiri. 

Setelah melahirkan, ada petugas dari pemerintah daerah setempat yang datang ke rumah untuk sekadar mengecek keadaan ibu baru dan bayinya. Menanyakan bagaimana keadaan ibu dan bayi, apakah ASI lancar, bayinya rewel, dan berkonsultasi seandainya ada masalah. Selain setiap bulan pergi ke dokter anak untuk penimbangan dan pengecekan kesehatan anaknya, ibu-ibu baru juga bergabung ke perkumpulan ibu-ibu. Biasanya perkumpulan ini diisi oleh ibu-ibu yang anaknya seusiaan. Sementara ibunya ngobrol dengan ibu-ibu lain, anaknya juga bisa bermain anak-anak lain. 

Kurva M: kembali bekerja setelah anaknya besar

Kurva M adalah kurva usia perempuan bekerja. Saat usia 20-24 tahun banyak perempuan yang bekerja (fase setelah lulus sekolah dan menjadi dewasa). Usia 25-34 tahun mengalami penurunan jumlahnya (fase melahirkan dan membesarkan anak). Usia 35-54 tahun perempuan yang bekerja mengalami kenaikan (fase setelah membesarkan anak). Bisa disimpulkan bahwa banyak perempuan yang memilih berhenti bekerja selama membesarkan anak dan akan kembali bekerja setelah anaknya besar. 

Biasanya pekerjaan yang dipilih saat kembali bekerja adalah pekerjaan part time. Selama anak sekolah, si ibu bisa bekerja dan pulang sebelum anak pulang sekolah. Alasan utamanya tentu saja sebagai tambahan pemasukan dalam rumah tangga. Uang ini juga bisa digunakan untuk membiayai les tambahan untuk anaknya atau tabungan.

Beberapa kenalan saya adalah ibu rumah tangga yang bekerja paruh waktu sebagai kasir supermarket, pelayan restoran, karyawati toko oleh-oleh, dan petugas cleaning service hotel. Mereka bekerja di jam-jam anaknya sekolah dan suaminya bekerja. Sebelum bekerja, mereka mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan menyiapkan sarapan pagi dan bekal makanan. Setelah pulang bekerja, mereka menyiapkan makan malam dan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga yang belum selesai di pagi hari. Hanya pagi dan malam hari saja keluarga bisa berkumpul bersama di rumah. Sebelum memutuskan untuk bekerja paruh waktu, ada yang mengaku bosan di rumah karena tidak punya kegiatan lain. Selain mendapat uang, mereka mengaku mendapat teman dan pergaulan.

Itulah beberapa alasan kenapa kebanyakan perempuan Jepang memilih menjadi ibu rumah tangga setelah menikah. Dibanding negara Amerika dan Eropa, perempuan Jepang lebih memilih mendahulukan rumah tangganya ketimbang kariernya.

Mungkin karena latar cerita Doraemon, Ninja Hattori, dan Chibi Maruko-chan adalah tahun 1990-an dan saat itu fenomena IRT pekerja paruh waktu ini belum terlalu banyak. Kalau cerita itu berlatar sekarang, mungkin saja ibunya Nobita, ibunya Maruko, dan ibunya Kenichi juga bekerja paruh waktu. Kalau ibunya Shinchan tentu saja belum bisa karena masih ada Himawari yang harus dibesarkan terlebih dahulu.

Sumber Gambar: YouTube Doraemon Bahasa Indonesia

BACA JUGA Kehidupan SD di Jepang Versi Nobita Itu Bukan Mitos, 6 Hal Ini Buktinya dan tulisan Primasari N Dewi lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version