Hunter Moore, si Penjahat Internet Paling Narsis dari The Most Hated Man on The Internet

Hunter Moore, si Penjahat Internet Paling Narsis dari The Most Hated Man on The Internet Terminal Mojok

Hunter Moore, si Penjahat Internet Paling Narsis dari The Most Hated Man on The Internet (Unsplash.com)

Netflix baru-baru ini merilis sebuah docuseries berjudul The Most Hated Man on The Internet yang disutradarai oleh Rob Miller (Consciously Incompetent, A Deal With The Devil). Sebagian dari kamu mungkin langsung teringat headline fenomenal Rolling Stone Hunter Moore: The Most Hated Man on the Internet—dan ya, kamu benar. Docuseries ini memang membahas tentang penjahat internet paling narsis dalam sejarah, Hunter Moore. Dia juga adalah orang yang mengaku sebagai “professional life ruiner” secara terang-terangan.

Pemuda asal Sacramento, California, ini pernah menggemparkan jagat maya dengan ulahnya yang jahat, menyebalkan, dan sangat merugikan pada tahun 2011 dan 2012. Hunter Moore membuat sebuah situs web bernama Is Anyone Up? yang memfasilitasi pengguna untuk mengunggah foto-foto bugil mantan pacarnya sebagai wujud balas dendam. Tak butuh waktu lama, situs ini pun populer di kalangan pengguna internet, terutama Facebook dan Twitter. Hunter Moore juga semakin populer dan memiliki pengikut yang menamakan diri mereka “The Family”.

Is Anyone Up? berubah menjadi situs yang sangat mengerikan terutama bagi perempuan (laki-laki juga menjadi korban, tetapi jumlahnya tidak sebanyak korban perempuan). Kebanyakan foto bugil yang diunggah di situs ini didapatkan dengan cara-cara ilegal seperti peretasan surel, revenge porn, dan lain-lain. Beberapa ada juga yang mengunggahnya secara sukarela dan dijadikan “jualan” meski pada akhirnya berujung pada penyesalan karena hanya dipermainkan oleh Moore.

Namun, keasyikan Hunter Moore mulai terganggu ketika ibu dari Kayla Laws, salah satu korban, yaitu Charlotte Laws memilih untuk memeranginya. Charlotte melakukan investigasi secara mandiri untuk mengumpulkan bukti-bukti bahwa surel anaknya telah diretas dan kemudian melaporkannya kepada polisi. Alih-alih mendapatkan bantuan, Charlotte dan Kayla justru dihakimi.

Saat kepolisian tidak membantu, ke mana mereka harus mengadu? Ya, FBI. Namun, karena kurangnya bukti, FBI pun tidak dapat memberikan solusi yang tepat untuk menangani kasus tersebut. Akhirnya Charlotte memberi tahu suaminya, Charles, yang merupakan seorang pengacara. Awalnya, Charles hanya bisa menenangkan keluarganya dan menurutnya kasus ini sebaiknya dilupakan, karena orang-orang juga akan lupa. Namun, suatu hari, datang ancaman nyata kepada Charlotte dan keluarganya dari The Family, pengikut Hunter Moore. Charles pun sadar bahwa kasus ini bukan sesuatu yang kecil.

Charles pun menghubungi Reza Sina, pengacara Hunter Moore saat itu (sebelum akhirnya menyerah menangani kasus kliennya tersebut). Sebelumnya, Reza sudah menjelaskan bahwa tindakan kliennya (membuat situs web) tidak melanggar hukum berdasarkan Bab 230 UU Kepatuhan Komunikasi (47 U.S. Code § 230-Protection for private blocking and screening of offensive material) yang menyatakan bahwa pemilik situs web umumnya tidak bertanggungjawab atas konten di situs web mereka jika itu dikirim oleh pengguna. Namun, atas desakan Charles, Hunter Moore bersedia menghapus foto-foto Kayla di situsnya. Setelah ini, apakah masalah selesai? Oh, selain jadi orang paling dibenci di internet, Hunter Moore juga orang gila. Dia tidak berhenti begitu saja.

Sama seperti Hunter Moore yang tidak berhenti membuat masalah, Charlotte juga tidak berhenti memburu Moore hanya karena foto anaknya sudah dihapus. Charlotte melanjutkan investigasinya dengan lebih dalam lagi. Dia menghubungi 40 korban Hunter Moore untuk mengumpulkan bukti-bukti dan melihat polanya. Dia menulis blognya sendiri (yang tak lama setelah itu diretas) dan kemudian bekerja sama dengan jurnalis seperti Camille Dodero yang juga muncul di dokumenter ini.

Kerja keras Charlotte tidak sia-sia. Bukti-bukti yang dia kumpulkan membuahkan hasil. FBI datang membantu. FBI juga mulai melihat pola Is Anyone Up? dalam mendapatkan foto-foto yang mereka unggah. Terdapat beberapa temuan bahwa ada foto-foto gadis di bawah umur yang juga diunggah di sana dan masalah-masalah lainnya.

Di sisi lain, Hunter Moore tampak tidak goyah sedikit pun. Di acara televisi yang dipandu Anderson Cooper pun dia tampil dengan wajah “tanpa dosa” dan membanggakan dirinya. Selain itu, dia juga terus mendapatkan sokongan dari The Family yang rela mati untuknya. The Family rela melakukan apa pun yang diperintahkan Hunter Moore bahkan hal-hal gila sekalipun.

Di salah satu cuplikan yang ditampilkan, pengikut Moore memukuli wajahnya sendiri karena diperintah begitu. Ada juga seorang gadis yang bahkan mau menyikat giginya dengan air seni dan kotorannya sendiri sebagai pasta gigi. Tidak heran jika Moore semakin percaya diri, bahkan mungkin merasa seperti Tuhan.

Selain Charlotte Laws, docuseries tiga episode ini juga menampilkan James McGibney, seorang mantan anggota marinir yang kini menjadi web entrepreneur, seseorang yang memiliki andil besar dalam ditutupnya Is Anyone Up? saat itu. Dia mengalihkan situs buatan Moore itu ke situs BullyVille yang merupakan situs anti-bullying.

Di sini James berada di pihak yang sama dengan Charlotte, ingin memerangi perilaku revenge porn dan perundungan di internet. Segera setelah Hunter Moore jadi buruan banyak pihak, bahkan Anonymous ikut terlibat dalam melawan Hunter Moore.

Pada akhirnya, Hunter Moore dan rekannya Charlie Evens dibui masing-masing selama 30 bulan dan 25 bulan. Ya, seharusnya memang bisa lebih lama lagi mengingat perbuatan mereka yang merugikan banyak sekali pihak, terutama perempuan. Tidak adil jika dibandingkan dengan keuntungan yang diraih Moore.

Menurut laporan Forbes, Hunter Moore menghasilkan sekitar 13.000 dolar per bulan dari situs itu dan kemungkinan lebih dari itu. Untuk tahu proses investigasi secara lengkap, kamu harus menonton The Most Hated Man on The Internet di Netflix. Namun, kamu perlu membaca parental guide yang disediakan Netflix terlebih dahulu karena docuseries ini mengandung banyak grafis yang “mengganggu”.

Rob Miller berhasil mendokumentasikan kejahatan Hunter Moore dengan sangat baik. Miller juga membuat setiap narasumber berperan penting baik secara naratif maupun emosional. Kita bisa merasakan emosi yang sangat besar ketika para korban diwawancara, dan betapa kejadian yang menimpa mereka sangatlah traumatis.

Selain itu, sinematografi dan editing ini juga menyumbang banyak untuk kesuksesan docuseries ini. Banyaknya lapisan yang perlu dibahas dapat dipadatkan menjadi cerita yang mudah dipahami, tidak rumit sama sekali. Satu aspek lagi yang menurut saya dieksekusi dengan sangat baik adalah musik. Musik mengalun mengikuti plot dan terdengar seperti nyanyian yang panjang tanpa tersendat-sendat. Beberapa musik selingan juga berhasil membuat penonton sedikit beristirahat sejenak dari fakta-fakta yang menyayat hati. Sekilas, saya seperti sedang menonton film fiksi—sangat engaging.

The Most Hated Man on The Internet ini juga membahas kejahatan Hunter Moore dengan sangat detail meliputi footage, postingan media sosial, hingga proses investigasi. Sudut pandang yang digunakan sejak awal adalah sudut pandang korban, terutama keluarga Laws. Charlotte Laws memiliki porsi paling dominan di dalam docuseries ini.

Sayangnya, tidak ada sudut pandang dari Hunter Moore di sini, hanya tampilannya lewat footage yang tersedia. Sebetulnya, Netflix sebetulnya sudah mendapatkan persetujuan dari Hunter Moore untuk menampilkannya di docuseries ini, tetapi kemudian dia membatalkan persetujuan tersebut. Meski begitu, tampaknya Netflix tidak peduli. Di credit title, Netflix menulis “Hunter Moore initially agreed to take part in this series but later declined our invitation.” Kemudian dilanjutkan dengan “We decided to use his image anyway.” Netflix memutuskan untuk tetap menggunakan semua footage yang menampilkan Moore. Saya melihat ini adalah langkah yang brilian dari Rob Miller dan Netflix untuk “mengejek” si penjahat internet itu. 

Secara keseluruhan, The Most Hated Man On The Internet adalah salah satu dokumenter terbaik yang muncul belakangan ini. Docuseries ini berhasil menunjukkan kepada dunia apa yang mungkin tidak disadari banyak orang. The Most Hated Man on The Internet juga memberikan representasi terperinci tentang apa yang menyebabkan jatuhnya Hunter Moore dan bahaya dari revenge porn di internet. Semoga kejadian serupa tidak terjadi lagi.

Kalau kamu suka dokumenter investigasi, kamu wajib banget nonton The Most Hated Man on The Internet di Netflix.

Penulis: Rizal Nurhadiansyah
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Mengapa Korban Pelecehan Seksual Memilih Speak Up di Internet Ketimbang Melapor?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version