Saya memiliki sebuah motor Honda Revo lama keluaran 2008 atau Revo generasi pertama. Orang-orang di tempat saya menyebutkan Revo kinjeng yang berarti capung. Saya sendiri tidak begitu yakin bagian mana dari motor ini yang mirip dengan capung. Mungkin biar sama kayak pabrikan sebelah yang punya Jupiter buwek atau Jupiter burung hantu (BurHan). Tapi, kalau Jupiter Z BurHan kan memang lampunya sangat mirip dengan mata burung hantu, nah kalau Revo?
Tapi, di sini saya tidak ingin menjelek-jelekan motor yang sudah menemani saya sejak anak-anak hingga kini sudah punya anak. Motor ini dibeli dalam kondisi bekas oleh orang tua saya pada 2010, dua tahun setelah produksi. Saat itu, saya sedang duduk di bangku kelas enam sekolah dasar, masih anak-anak, kan?
Sampai 2021 ini, motor tersebut masih setia menemani aktivitas sehari-hari saya. Bahkan saat penggunaannya setahun belakangan lebih berat karena pekerjaan saya yang mengharuskan keliling kabupaten, ia tetap setia entah sedang panas terik maupun hujan badai.
Secara spesifikasi tidak ada yang menarik dari Honda Revo capung ini. Dari segi mesin, tidak ada yang berubah, masih sama seperti pendahulunya yaitu Honda Supra Fit, turunan dari mbah Astrea. Kapasitas mesinnya hanya 97cc, dibulatkan menjadi 100cc. Kapasitas yang cukup kecil untuk motor bebek keluaran 2007-2009. Jika dibandingkan kompetitornya, Yamaha Vega R 2007 saja sudah berkapasitas 110cc. Bahkan Suzuki Shogun sudah memiliki kapasitas 125cc. Kapasitas mesin yang kecil mungkin bertujuan agar bisa merambah pasar yang berbeda dengan saudaranya yaitu Honda Supra X 125.
Jadi orang yang punya lebih banyak uang dan ingin motor bertenaga besar bisa memilih Supra 125, sedangkan untuk kelas yang lebih murah tersedia Revo. Sampai sekarang pun, setelah beberapa generasi, Revo masih menjadi motor Honda paling murah.
Namun jangan salah, meskipun spesifikasi mesinnya tidak membanggakan, motor ini tidak mudah tertinggal. Saya tidak tahu berapa top speed yang pernah saya capai menggunakan motor ini karena speedometernya mati, hehe. Tapi, kalau diajak touring bareng Supra X, Vario, Blade bahkan Jupiter MX masih bisa imbang lah. Menurut ulasan yang beredar di internet, Honda Revo mampu menempuh speed 100 km/jam bahkan lebih.
Salah satu aspek yang mendukung motor ini bisa berlari meskipun mesinnya kecil adalah design body yang ramping, dan inilah yang paling menarik dari motor ini. Kalau boleh dibilang, Honda Revo adalah salah satu motor bebek paling cakep dibanding bebek-bebek lain seangkatannya. Konsepnya mirip-mirip dengan Jupiter MX, namun dengan beberapa bagian yang lebih runcing membuat kesan lincah dan aerodinamis.
Selain desain ramping dan aerodinamis, bobot motor ini juga cukup ringan, sekuintal kurang sedikit, sehingga mampu berlari meskipun mesinnya kecil. Kalau pengin lari cepet tapi nggak punya tenaga, badannya jangan gembrot. Mungkin prinsip itu yang dipakai pencipta motor ini.
Sayangnya body ramping dan bobot ringan tidak hanya memunculkan kelebihan, tapi juga kekurangan. Desain ramping mungkin mampu mengurangi hambatan angin dari arah depan, tapi bagaimana jika angin datang dari samping? Bobot yang tidak seberapa itu tidak mampu membuatnya berdiri kokoh. Mungkin pencipta motor ini lupa, orang cungkring mungkin larinya cepet, tapi sekali senggolan bakal langsung mental.
Ketika pertama kali membawa motor ini dari Banyumas ke Solo, saya berboncengan dengan paman saya dan memilih lewat jalan Daendels. Bagi yang belum tahu, jalan Daendels ini membentang lurus di pesisir Pantai Selatan, dari Cilacap hingga Bantul. Oleh karena dekat dengan pantai di sisi kanan, bisa kalian bayangkan seberapa besar angin yang menerjang kami berdua?
Berada di jalan yang lurus terus, harusnya bisa ngebut, tapi tidak selama jalan lurus itu adalah jalan Daendels dan motor yang kamu tumpangi adalah Honda Revo Kinjeng. Kami langsung menyesali jalan yang kami pilih. Sepanjang jalan kami menjaga agar motor langsing ini tidak oleh ke kiri. Akibatnya, motor kami bergoyang ke kanan-kiri seperti sedang lewat di jembatan gantung Benteng Takeshi. Mungkin di pantai, pasukan Nyi Roro Kidul sedang bersorak-sorak. Ayo maniiis, ayo maniiis.
Di luar mesin dan body, hal utama yang membuat motor ini masih setia bersama saya sampai saat ini adalah karena motor ini masih bisa dipakai. Saya termasuk orang yang tidak teratur dalam melakukan perawatan motor, kadang oli saja diganti ketika hanya tersisa segelas saja. Hal ini membuat saya merasakan sendiri betapa bandelnya motor ini. Meskipun tanpa perawatan yang maksimal, motor ini akan siap kamu bawa kemana saja. Asalkan ada bensin, busi yang memercikan api meskipun bocor, dan oli meski belum diganti setahun sekalipun, motor ini akan hidup. Tidak mengherankan karena motor ini masih memiliki DNA Mbah Astrea.
Selain bandel, karakteristik istimewa dari generasi Honda adalah iritnya konsumsi bahan bakar. Ketika motor ini sering saya ajak bolak-balik Banyumas-Solo, saya biasanya hanya mengisi bensin full tank sekali saja.
Sungguh motor idaman yang cocok untuk dijadikan pendamping hidup. Sudah harganya murah, desain cakep, nggak rewel pula. Kalo soal goyang, itu mah selera yah. Tidak salah jika banyak koperasi yang memilih motor ini sebagai kendaraan operasional karyawannya. Saya yang bukan karyawan koperasi saja sudah membuktikan kesetiaannya.
Dulu, motor ini digunakan salah satunya untuk mengantar saya sekolah. Kini, ia saya gunakan untuk mengantar anak saya imunisasi. Besar kemungkinan, ia akan tetap bertahan beberapa tahun ke depan hingga saatnya saya mengantar anak saya sekolah.
Sumber Gambar: Pixabay