Coba bayangkan, suatu pagi, udara Semarang yang penuh kenangan, polusinya masih tipis dan cuaca belum benar-benar panas. Kamu naik Honda BeAT kesayangan, bonceng istri atau pacar (atau mungkin mantan yang belum move on). Tujuanmu mulia: melewati jalur Gaza atau mau jalan-jalan ke Umbul Sidomukti sebelum siang.
Tapi kemudian, tragedi terjadi: Honda BeAT kamu megap-megap. Mesin meraung seperti orasi mahasiswa, tapi bannya tetap statis. Kamu geser gas pelan-pelan, berharap ada keajaiban, tapi BeAT hanya melambat dengan elegan.
Kejadian seperti itu bukan saja bikin panik dan menjengkelkan. Tapi tanda bahwa BeAT bukanlah kendaraan segala medan. Dia kendaraan segala kesabaran.
Honda BeAT: motor rakyat, tapi bukan motor nanjak
Honda BeAT adalah motor paling banyak berseliweran di jalanan Indonesia. Populasinya mungkin lebih banyak dari kucing kampung. Spesifikasinya cukup bersahaja: mesin 110cc dengan tenaga maksimal 8,89 PS dan torsi 9,3 Nm. Bobotnya ringan, 89 kg, cocok buat pemula.
Namun saat kamu menggabungkan motor ini dengan faktor-faktor seperti tanjakan brutal, boncengan dua orang, dan beban galon, maka itu bukan riding, itu ritual tirakat. Kamu seperti diuji apakah cinta sejati itu benar-benar ada.
Dan di saat bersamaan akhirnya kamu sadar butuh solusi agar Honda BeAT mampu melibas jalanan model apa pun.
Solusi nyeleneh tapi ampuh: buang Honda BeAT, ganti Honda CRF 250L
Karena itu, saya punya solusi, walaupun agak tidak masuk akal. Tapi, hei, siapa bilang hidup harus masuk akal?
Nah, solusinya adalah, ganti aja motormu ke Honda CRF 250L.
Ya, saya tahu, ini seperti menyarankan pakai tank baja untuk antar galon. Tapi dengar dulu: motor ini dilengkapi mesin 249cc DOHC dengan tenaga 24,4 PS dan torsi 23 Nm. Ground clearance-nya 277 mm, dan bobotnya 140 kg. Suspensi depan Upside Down Showa, dan belakang Pro-Link. Intinya: tanjakan apa pun dilibas seperti jalanan datar di lapangan futsal.
Saya pernah naik CRF 250L pinjeman dari bawah Umbul Sidomukti sampai atas, sendiri, berdua, bertiga (oke, yang ini ilegal), dan motor ini nggak pernah mengeluh. Mesin tetap adem, kopling nggak bergetar, dan saya tetap bisa gaya pakai helm cermin.
Harganya? Ya, sekitar 79 juta-an. Tapi itu sepadan. Karena kamu nggak hanya beli motor, kamu beli harga diri. Nggak ada lagi drama “dorong motor saat tanjakan terjal”.
Solusi yang lebih masuk akal: Vario 125
Oke, oke. Saya sadar tidak semua orang siap mental dan finansial ganti BeAT ke motor trail. Maka izinkan saya kasih solusi yang lebih realistis: Honda Vario 125.
Motor ini seperti abang sulung dari BeAT: lebih dewasa, lebih bijaksana, tapi tetap irit. Mesinnya 124,8cc eSP, tenaga 11 PS dan torsi 10,8 Nm. Transmisinya CVT, tangki bensin 5,5 liter, dan bagasi cukup luas (bisa muat galon kecil kalau kamu nekat).
Saya sendiri pernah ngetes motor ini di tanjakan Jalur Gaza, dan motor ini melibasnya dengan penuh percaya diri. Bahkan, saya sempat ngebut pakai satu tangan, tangan satunya megang tangan pasangan. Rodo dredek soal e (agak gemeteran soalnya).
Saran alternatif: Yamaha Gear 125
Kalau kamu masih ingin opsi yang tetap 125cc, tapi agak beda dari Honda, maka cobalah Yamaha Gear 125. Ini motor underrated yang sering diremehkan karena tampilannya yang kalem. Tapi jangan salah, Gear 125 punya torsi 9,5 Nm dan bobot cuma 95 kg. Dia seperti anak kalem yang ternyata jago pelajaran olahraga.
Dengan fitur seperti electric power socket, pijakan kaki tambahan buat anak-anak, dan mesin Blue Core yang tangguh, Gear 125 bisa diajak naik ke kampung atas gunung tanpa perlu panik. Harganya pun terjangkau, di kisaran 18 juta-an.
Namun jika semua solusi di atas terasa terlalu jauh—baik secara ekonomi maupun spiritual—maka mungkin solusi terbaik adalah: bersyukur.
Ya, Honda BeAT memang bukan motor paling kuat, tapi dia sudah setia menemani banyak orang dari kampus ke kos, dari Indomaret ke rumah mantan, dari gang sempit ke POM bensin. Setidaknya dari mesin kecilnya telah jadi saksi perjalanan hidup.
Dia laiknya teman baik: nggak hebat, tapi setia. Kalau dia tidak kuat nanjak, mungkin memang bukan salah dia. Mungkin tanjakannya yang terlalu ambisius. Atau kamu yang terlalu menuntut.
Kesimpulan: nggak semua masalah butuh solusi mahal
Akhir kata, hidup memang penuh tanjakan. Kadang kamu butuh CRF 250L untuk mengatasinya, kadang cukup Vario 125. Tapi di banyak kasus, cukup dengan tahu kapan harus sabar dan kapan harus ngojek online aja.
Sebab BeAT, dengan segala keterbatasannya, telah mengajarkan kita bahwa tak semua hal harus cepat, tak semua tanjakan harus ditaklukkan. Kadang, cukup menikmati perjalanan, meski harus sambil dorong motor sedikit.
Dan itulah, kawan, arti sejati dari mengendarai Hodna BeAT: bukan hanya sampai tujuan, tapi merasakan setiap detiknya—termasuk saat ngos-ngosan di pinggir tanjakan, sambil berkata dalam hati:
“Ya Allah, kuatkan hamba.”
Penulis: Budi
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















