Hilman “Lupus” Hariwijaya adalah penulis novel komedi legendaris yang tak terbantahkan. Penulis sekaliber Raditya Dika pun ter-influence dari karakter Lupus yang hobi ngunyah permen karet. Bukunya laris sampai jutaan eksemplar pada masanya. Ketika divisualkan pun, sinetron dan filmnya juga sangat digemari sampai-sampai di-repackage beberapa kali, mulai dari diperankan Oka Sugawa, Irgi Achmad Fahrezi, sampai Miqdad Addausy.
Mungkin bukan cuma saya yang ketika membaca serial Lupus sampai tertawa terbahak-bahak bahkan mengeluarkan air mata. Namun, pagi kemarin (9 Maret 2022), saya benar-benar meneteskan air mata tanpa sedikit pun tertawa. Idola saya itu telah pergi. Influencer yang mempengaruhi banyak penulis komedi itu benar-benar sudah tiada.
Bagi yang tak suka baca buku karya Hilman Hariwijaya, pasti pernah mendengar sinetron Cinta Fitri, Melati untuk Marvel, Catatan Hati Seorang Istri, Cinta Suci, Love Story The Series, atau Dari Jendela SMP. Ataupun sinetron Anak Langit, Anak Jalanan, Anak Band, dan anak-anak lain yang juga populer di kalangan pecinta sinetron. Saya bahkan sempat usul biar dia bikin Anak Setan sekalian.
Ya, ketika Hilman Hariwijaya sudah tak aktif melanjutkan novel Lupus, ia lebih banyak berkecimpung di dunia kepenulisan skenario. Sebetulnya, ada beberapa novel lain yang sempat terbit, seperti Finding Srimulat atau The Wall, meski memang tak sesukses serial Lupus. Bahkan, serial Miss Lebay yang saya tulis duet dengannya, nggak terdengar gemanya sedikit pun.
Pertemuan pertama saya dengan Mas Hilman, saat saya masih menjadi pengamen di jalanan Bandung. Saat itu, Mas Hilman mengadakan acara talkshow di Paris Van Java untuk promo buku dan film The Wall. Itulah pertemuan pertama kami, setelah sekian lama saya hanya bisa mengagumi karya-karyanya dari jauh. Ketika itu, saya membawa semua koleksi buku Lupus saya untuk ditandatangani, lalu berfoto dengannya dan Mbak Nessa Sadin, aktris antagonis yang saat itu masih menjadi pacarnya.
Beruntungnya, kemudian dipertemukan lagi di sebuah grup kepenulisan di Facebook. Suatu hari, saya memberanikan diri meminta nomor teleponnya via inbox dan dia memberikannya begitu saja. Ya, sama ketika Prilly ngasih nomor HP-nya begitu saja ketika diminta sama fansnya.
Setelah sering berinteraksi di Facebook, suatu ketika Mas Hilman menelpon saya dan meminta saya untuk datang ke rumahnya. Saat masuk ke rumahnya yang sangat besar (mungkin 20 kali lipat lebih besar dari kontrakan saya waktu itu), saya merasa sangat kecil. Saya merasa minder.
Pertemuan kedua kami ini terasa sangat canggung bagi saya. Padahal, tampaknya ia biasa saja. Di pertemuan itu, ia kasih joke, tapi saya nggak tertawa. Saya malah bingung. Baru setelah ia jelaskan inti jokesnya, saya baru mengerti. Kalau kata juri Stand Up Comedy, mungkin delivery-nya kurang karena ekspresi dan suaranya yang terlalu flat. Ternyata Mas Hilman nggak selucu Lupus. Suaranya cenderung pelan, irit bicara, pendiam, tapi sangat dermawan. Di pertemuan kedua itu, dia mentraktir saya makan di restoran Padang. Bahkan ia memberi saya ongkos setelah mengantar saya pool travel.
Tujuan Mas Hilman mengajak saya bertemu adalah menawari saya untuk menulis novel/serial bareng. Mungkin pertimbangannya mengajak saya setelah dia melihat kelakuan saya di grup kepenulisan yang suka rusuh dan ngebodor garing-garing receh. Atau mungkin saat dia melihat beberapa tulisan saya di wall Facebook. Namun yang jelas, saat itu saya belum paham-paham amat dengan dunia kepenulisan. Dari ajakan kolaborasi itu, lahirlah serial Miss Lebay yang muncul setiap Minggu di Tabloid Gaul. Lalu, serial tersebut menjadi buku yang diterbitkan di Gramedia, impian semua penulis.
Singkat cerita, saya melamar jadi karyawan TransTV sebagai script editor. Namun, di luar jam kerja, saya juga nyambi mbantuin nulis skenario di program yang sedang dia kerjakan, di TV kompetitor. Sampai akhirnya, saya memutuskan untuk keluar dari TransTV setelah 4 tahun bekerja dan bergabung dengan timnya. Ia sempat menenangkan saya, kalau saya ikut dia dan loyal, akan selalu ada program, akan selalu ada kerjaan. Sebagai salah satu penulis skenario grade A yang program-programnya selalu ngehits dan berumur panjang sampai ratusan episode, kata-kata itu seakan jadi jaminan.
Begitu selama bertahun-tahun. Kami berkolaborasi menulis buku atau nulis skenario sinetron, ketemu untuk sekadar ngopi, makan bareng, nonton di bioskop, atau menghabiskan weekend dengan mengajak keluarga saya menginap di rumahnya.
Nah, kalau mau melihat kelucuan dan celetukan nyeleneh Lupus langsung dari mulut Mas Hilman, di sini tempatnya: duduk di sebelahnya saat nonton bioskop dan dengarkan celotehannya. Bioskop seperti rumah kedua baginya sebelum muncul Netflix, dan semacamnya. Karena itulah, saya tak terlalu kaget ketika ia cerita nonton premier Spider-man No Way Home dengan kondisi sebagian tubuhnya lumpuh karena stroke. Ia memang se-addict itu dengan kursi bioskop.
Dari sejak saya belum punya apa-apa, sampai sekarang saya sudah berkeluarga hingga punya rumah dan mobil sendiri, Mas Hilman bukan cuma berkontribusi pada karier saya, tapi juga dalam kehidupan saya. Setiap kami makan di restoran mahal, meskipun saya sudah naik level dalam hal finansial, dia masih sama seperti dulu: tak mau ditraktir, maunya mentraktir.
Setiap bulan Agustus, kami selalu bertukar kado karena kami sama-sama lahir di bulan itu. Isinya tak jauh beda setiap tahun. Saya dikirimin action figure spider-man, saya mengirimi dia action figure batman. Koleksi action figure di etalasenya memang berisi para superhero DC dan Marvel.
Kemarin, saat melihat jenazahnya, saya merasa kaku. Setelah ini, mungkin kami tak bisa saling bertukar kado lagi. Namun, sulit dimungkiri bahwa Mas Hilman adalah kado terindah sepanjang hidup saya. Dia membuat saya mencintai komedi sekaligus dunia tulis menulis. Dunia yang kemudian jadi sandaran untuk perjalanan hidup saya.
Terima kasih dan selamat jalan, Mas Hilman, sahabat, kakak, bos, partner, inspirator, dan guru besar penulis komedi Indonesia.
Penulis: Cepi Komara
Editor: Audian Laili