Baru-baru ini muncul berita Menteri Keuangan, Sri Mulyani dijemput dengan Alphard di apron bandara. Tak perlu ditebak lagi, hal ini memicu kehebohan di antara para netizen. Ada netizen yang membela dan ada pula netizen yang mengkritisi penjemputan dengan Alphard tersebut. Akhir-akhir ini Kemenkeu menuai sorotan masyarakat sejak kasus penganiayaan yang berbuntut terbukanya borok pegawai-pegawai yang bernaung di bawah Kemenkeu.
Masalahnya adalah, Sri Mulyani telah melarang pegawai kementerian keuangan untuk flexing di sosial media. Artinya larangan tersebut juga berarti larangan untuk menunjukkan kemewahan dalam kehidupan sehari-hari. Namun dengan penjemputan Sri Mulyani menggunakan Alphard sampai di apron bandara, banyak pihak menganggap beliau telah melanggar perintahnya sendiri. Irony is stonk in this one.
Para netizen yang membela Bu Ani umumnya menganggap penjemputan menggunakan Alphard bagi seorang menteri adalah normal. Hal ini karena pertimbangan faktor kecepatan dan keamanan. Bayangkan, tanggung jawab keuangan negara berada di tangan Bu Ani. Bahkan ada yang mengatakan bila perlu Bu Ani dijemput menggunakan helikopter pun juga wajar-wajar saja.
Kritik ke Sri Mulyani yang masih biasa
Akan tetapi namanya juga pejabat, pasti kritik akan datang dari arah mana saja, apalagi ketika kementerian yang dipimpinnya saat ini tengah viral. Bu Sri Mulyani agaknya juga maklum, bukankah di era SBY, blio juga pernah didemo karena dikaitkan dengan kasus Bank Century? Sehingga protes masyarakat semacam ini masih terhitung biasa.
Penjemputan Sri Mulyani menggunakan Alphard sampai apron bandara tidak bisa disamakan dengan flexing atau memamerkan kemewahan. Mengapa? Karena seperti yang telah dijelaskan di atas penjemputan tersebut berkaitan dengan keperluan negara. Siapa tahu Bu Sri Mulyani baru saja pulang dari kunjungan-kunjungan formal yang melelahkan, sehingga cukup wajar dijemput sampai ke apron bandara. Tentu saja, dengan naik Alphard bisa jadi kelelahan beliau akan sirna setelah melihat bagian interior mobil indah. Kita juga yang untung kan kalau tenaga beliau pulih dengan cepat?
Nah, mungkin lain kali beliau tidak perlu dijemput dengan menggunakan Alphard, melainkan dengan tank militer, supaya orang-orang tahu bertapa vitalnya keamanan seorang menteri. Selain itu, mustahil ada tuduhan negatif bila dijemput menggunakan tank, karena tidak mungkin lah flexing menggunakan tank. Apabila beliau dijemput dengan tank, yang terjadi malah akan dipuji-puji sebagai tindakan heroik. Siapa tahu juga setelah naik tank, akan ada penambahan anggaran militer.
Kepercayaan publik yang anjlok
Oke, sekarang serius.
Begini lho, memang, nggak ada salahnya menteri dijemput sampai apron. Cumaaan, posisinya kan kepercayaan publik sedang anjlok dan merasa dikhianati karena tingkah laku pejabat yang suka flexing, padahal banyak rakyat yang merasa mereka tidak mendapat pelayanan yang seharusnya. Bahkan banyak yang menyuarakan “dendam pribadi”, seperti mereka dikejar petugas pajak sebegitunya, tapi melihat polah pegawai pajak, jadi dongkol sendiri.
Dengan tersorotnya kehidupan pejabat dan pegawai pemerintah, maka sudah sewajarnya mereka introspeksi diri. Profesi sebagai pejabat maupun pegawai pemerintah bukankah profesi yang perlu dibangga-banggakan, akan tetapi tanggung jawab harus menjadi prioritas utama bagi mereka. Masyarakat akan selalu mengawasi kehidupan mereka, sehingga sedikit saja kesalahan, bisa menjadi heboh di media.
Pencitraan itu perlu
Penjagaan citra positif sesuai nilai demokrasi perlu ditekankan. Mengapa? Karena kita tidak hidup di zaman feodalisme, yang mana di zaman tersebut pejabat dan pegawai pemerintah memang menyandang status istimewa dengan memegang gelar kehormatan tertentu.
Akan tetapi di zaman modern sekarang, semua posisi yang digaji oleh negara bisa diawasi oleh masyarakat. Dan masyarakat juga berhak menegur apabila ada kekeliruan. Tidak ada lagi tuan besar, nyonya besar, dan ndoro saat ini. Oleh sebab itu apabila kita sedang bekerja sebagai pejabat atau pegawai pemerintah, status kita turun dari rakyat menjadi pelayan rakyat. Begitulah seharusnya pejabat dan pegawai pemerintah dalam negara demokrasi.
Goncangan demi goncangan yang ada kepada Sri Mulyani dan kolega seharusnya bisa dipahami sebagai pengingat untuk mereka, bahwa segala keistimewaan yang mereka terima sekarang itu terwujud karena rakyat. Misal rakyat mulai nggak suka dengan hal tersebut, ya udah, ngalah saja. Lagian, nanti rakyat lama-lama lupa.
Tapi untuk kali ini, keknya nggak bakalan lupa sih.
Penulis: Yogaswara Fajar Buwana
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Sri Mulyani, Kecaman Gaya Hidup Mewah Itu Nggak Akan Ada Efeknya