Betapa Susahnya Hidup dengan Daihatsu Sigra Saat Mentalmu Masih Mental Honda Vario

Motor Honda Vario 150, Sahabat Terbaik Toko Kelontong (Unsplash). daihatsu sigra

Motor Honda Vario 150, Sahabat Terbaik Toko Kelontong (Unsplash).

Seiring bertambahnya jumlah roda, bertambah pula dana yang dirogoh dari kocek pemiliknya. Inilah pesan moral abal-abal yang saya dapat ketika beralih dari Honda Vario ke Daihatsu Sigra.

Saya merupakan fans Honda sejati. 3 Honda vario yang nangkring di ruang tamu rumah saya sudah jadi bukti otentik kecintaan saya pada pabrikan berlogo sayap itu. Iya saya tidak punya halaman luas jadi mau tidak mau motor-motor tersebut masuk ke ruang tamu rumah saya. Tapi sayangnya, sebesar apa pun cinta saya pada Vario, tulisan ini bukan tentang motor Honda Vario.

Selama kurang lebih 8 tahun, Vario 2015 selalu menjadi kendaraan tempur saya untuk menempuh perjalanan dari rumah saya ke kantor dengan jarak kurang lebih 37 km sekali jalan. Artinya setiap hari vario saya itu menempuh jarak minimal 74 km untuk 5 hari kerja setiap minggunya. Karena sudah 8 tahun melakoni rutinitas itu, maka saya sudah hafal betul berapa bensin yang diperlukan, servis, dan pajaknya.

Pertemuan dengan Sigra, selamat tinggal Honda Vario

Semua berubah ketika Oktober ini saya mengucapkan janji suci sekali untuk selamanya. Singkat cerita karena di tempat ibu mertua saya ada mobil nganggur, jadilah mobil itu kami bawa untuk transportasi kami sehari-hari. Awalnya saya menolak, karena sudah biasa dengan Vario kecintaan saya. Namun istri saya bersikeras, untuk jalan-jalan honeymoon katanya. Akhirnya jadilah saya pulang membawa sebuah Daihatsu Sigra matic 1200 cc 2016.

Sebagai keluarga baru, kami memutuskan untuk mencari rumah kontrakan di dekat kantor saya. Di sinilah culture shock pertama saya terjadi. Saat menggunakan motor Honda Vario, tentu saya tidak perlu memikirkan lebar jalan akses ke rumah, pekarangan rumah, dan garasi rumah. Lha wong tinggal dimasukkan ke ruang tamu saja. Tapi mengingat si roda empat ini sekarang berada di tangan saya, akhirnya saya harus mencari kontrakan dengan jalan lebar, yang ada parkirannya. Jelas, rumah yang spesifikasinya begitu, tentu lebih mahal.

Dengan bermodal niat, semangat, kuota internet, dan akun Facebook, akhirnya kami berhasil menemukan rumah kontrakan yang bisa dihuni kami berdua. Plus ada “kamar” khusus bagi si Daihatsu Sigra ini. Saya kira semua aman terkendali. Kenyataannya berkata lain.

Sebulan berlalu dan setelah kami cek budget bulanan kami, lah kok pengeluaran kami overbudget sampai ratusan ribu. Rupanya gara-gara si Sigra yang lumayan rakus ini. Saat kami membuat bajet bulanan, kami memperhitungan BBM dengan asumsi kendaraan roda 2 alias si Vario kesayangan saya. Lha tapi kenyataanya kami menggunakan roda 4. Dan kalau Anda berasumsi biaya bensinnya naik 2 kali lipat, sayangnya anda salah, biaya BBM kami naik 3 kali lipat.

Bensine marai boncos

Terpaksa kami ambil dari pos-pos pengeluaran lain yang masih bisa untuk dipangkas. Sambil menulis tulisan ini, saya masih terheran heran. Kok bisa orang-orang berangkat kerja tiap hari pakai mobil, berapa ya gajinya. Saya yang tidak tiap hari naik mobil saja terkaget-kaget dengan ongkos bensinnya.

Selanjutnya, selain bensin, culture shock lainnya adalah ketika di jalan raya. Ketika menggunakan motor Honda Vario, saya bisa enak bermanuver. Tapi dengan mobil saya tidak bisa meliuk liuk seperti menggunakan motor. Biasanya saya bisa mengatasi kemacetan, sekarang malah saya ikut terjebak di dalamnya. Sisi positif menggunakan mobil ya kalau macet, saya nggak kepanasan. Tapi kalau macet terus bensinnya itu lho, bikin ngeri.

Selain itu saat mau menyeberang jalan, mau putar balik, tidak jarang ada pak ogah yang membantu kita untuk menyeberang. Receh demi receh itu tidak pernah saya keluarkan sebelumnya, saat saya menggunakan motor. Kalau sehari saya habis 2 ribu saja untuk pak ogah, sebulan sudah 60 ribu. Uang segitu sudah bisa buat isi bensin motor saya selama dua minggu.

Sebenarnya untuk mengatasi macet, saya bisa memilih lewat jalan tol. Tapi rupanya hal ini malah menambah kekagetan saya. Sebab satu bulan kemarin saja, saya sudah mengisi e-money lebih dari setengah juta hanya untuk bayar tol. Sayangnya tidak seperti uang bensin yang overbudget, uang untuk isi e money bahkan tidak ada di budget saya, duh Gusti.

Kalau lewat jalan biasa boros bensin, sedangkan lewat tol boros e-money. Dalam pandangan saya dua opsi ini sama-sama tidak lebih menyenangkan dibanding naik motor.

Baca halaman selanjutnya

Cari tempat parkir kok susah ya

Parkirnya susah!

Saat sampai tujuan, ada juga perbedaan yang memaksa saya harus beradaptasi. Pertama, lahan parkir mobil itu terbatas, lebih sulit mencari tempat parkir mobil dibanding motor. Ada saja hari di mana saya harus parkir cukup jauh dari tempat tujuan karena tidak dapat parkir. Kalau pakai Vario, selama ini sih aman aman saja.

Kedua saat selesai parkir, tarifnya pun berbeda, dan tentu lebih mahal daripada parkir motor. Ada satu hari di mana saya terkaget-kaget setelah diminta membayar parkir 26 ribu rupiah di suatu mall. Ya maklum saya ngga pernah ke mall bawa mobil sebelumnya. Bahkan seingat saya, tarif parkir termahal yang pernah saya bayar itu 18 ribu rupiah. Itu pun karena harus membayar denda akibat tiket parkir saya hilang.

Poin terakhir kekagetan saya adalah ketika saya membaca STNK si Sigra, tercantum angka untuk pajak senilai lebih dari 1.5 juta rupiah. Angka ini berarti 5 kali tarif pajak Vario saya. Memang  pajaknya belum jatuh tempo sih, tapi tetap saja sebagai warga negara yang baik, kita harus tetap taat dan rajin membayar pajak.

Hanya membayangkan bulan Januari ini harus membayar pajak mobil saja sudah membuat saya harus menarik napas dalam dalam, apalagi besok melakoninya. Doakan saya ya para pembaca yang budiman, hehehe.

Sebenarnya masih ada sih yang saya yakin akan membuat saya merasakan culture shock, yaitu biaya servis. Tapi sampai sekarang, mobil itu belum waktunya diservis jadi saya belum bisa bercerita ke para pembaca sekalian.

Mobil Sigra, mental Vario

Mohon maaf apabila sepanjang tulisan ini, saya terkesan mengeluh. Bukan kesannya sih, memang saya mengeluh. Bukannya tidak bersyukur sudah dipinjami mobil oleh ibu mertua saya. Tapi niat saya hanya ingin memberi gambaran bahwa punya mobil itu bukan hanya sekadar mampu beli mobil. Tapi ada biaya-biaya mengerikan yang perlu ditanggung.

Saya adalah contoh terbaik orang yang tak siap. Mental saya masih mental Honda Vario, tapi harus menghadapi realitas Daihatsu Sigra. Dan saya harap, tak ada pembaca yang bernasib seperti saya di masa depan.

Penulis: Enrique Kevin Prasetyo Nugroho
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Honda Vario 110: Sebaik-baiknya Skutik untuk Yang-yangan, Bikin Ketiduran Dibonceng Mas Mantan

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version