Saya mulai saja tulisan ini tanpa babibu: Bali Major adalah event esports paling ora mashok. Alih-alih mengenalkan esports Indonesia ke dunia, yang terjadi justru event ini menembak esports Indonesia tepat di jantung alias sabotase.
Kenapa saya bisa bilang seberani ini? Lihat saja harga tiketnya. Asu, ra mashok!
The Seating Map and Ticketing Tiers for the Bali Major! pic.twitter.com/EuuvKapMT2
— IO Esports @ Bali Major (@ioesportsgg) May 24, 2023
Harga tiket termurah adalah 388 dolar alias 5.8 juta rupiah. Saya nggak perlu nulis tiket termahal ya, karena nggak penting juga. Poinnya adalah, jika tiket termurah saja sudah tidak bisa dijangkau, apalagi yang paling mahal?
Padahal jujur saja, Bali Major bisa jadi event titik balik untuk esports Indonesia. Maksudnya adalah, reputasi esports di Indonesia bisa jadi berubah total ke arah positif jika event ini sukses merangkul segala kalangan. Dan memang itulah seharusnya jadi tujuan Major.
Tapi Bali Major malah seakan-akan mensabotase Indonesia. Harga tiket mahal, kursi yang sedikit, dan diadakan di tempat amat mewah justru menjadikan DOTA 2 seakan-akan hanya milik elit. Jelas bertolak belakang dengan harapan banyak orang, bahwa Major ini nantinya akan membuka pandangan kolot orang Indonesia tentang esports. Pemerintah tahu bahwa event ini memang bisa menarik animo massa. Jika ramai dan sukses, orang yang terjun di dunia esports tak lagi dianggap sebelah mata. Simply karena ada buktinya, yaitu Major. Tapi, Bali Major justru melakukan sebaliknya: peduli setan dengan lokal, mari kita jadikan Major sebagai event sultan. Fuck esports.
DOTA 2 adalah olahraga rakyat
Padahal, DOTA 2, tidak bisa tidak, adalah olahraga rakyat. Anda mau bilang kek mana, jangan mungkiri bahwa DOTA adalah game yang paling mengena di benak gamers Indonesia. Banyak yang mulai mengenal Pudge dan Invoker karena Dendi, dan pengin punya jersi kuning hitam ala NaVi.
Mobile Legends memang jadi game terpopuler di Indonesia, tapi itu semua karena kehadirannya sebagai alternatif, bukan utama. Duh, itu game nggak bakal ada kalau nggak ada LoL. Besok-besok lagi, jangan taruh Mobile Legends satu kasta dengan DOTA. Ini kayak menganggap Wrexham AFC setara dengan Real Madrid.
Tak mengherankan jika banyak yang berharap Indonesia jadi tuan rumah Major atau bahkan The International. Karena ya itu tadi, DOTA adalah olahraga rakyat. Kalau masih bingung, bayangkan Indonesia jadi tuan rumah final Liga Champions. Bisa membayangkan betapa tinggi antusiasnya kan?
Tapi Bali Major menjadikan DOTA 2 jadi event yang terbatas untuk orang berkocek dalam dan turis saja. Esports Indonesia seakan-akan tak dianggap sama sekali. Event ini tak lebih dari sebuah acara yang bertujuan untuk merampok uang, bukan untuk merayakan pesta olahraga.
Saya yakin betul, sejak diumumkan, banyak orang Indonesia yang ingin nonton dan menjadi saksi event bersejarah. Tapi, saya yakin juga, banyak yang akhirnya memilih berdamai dengan takdir karena tiketnya nggak terjangkau.
Meraih keuntungan tidak sama dengan merampok
Saya tahu betul bahwa tujuan sebuah event diadakan itu memang untuk meraih keuntungan. Tapi, meraih keuntungan tidak sama dengan merampok. Tiket Manila Major hanya sekitar 3 dolar, dan Bali Major 388 dolar, 126 kali lipat lebih mahal. Apa ini namanya kalau bukan perampokan?
Valve Major harusnya adalah event yang bisa diakses siapa pun. Seperti hakikatnya DOTA 2, game yang bisa dimainkan siapa saja, dari jelata yang mengumpulkan koin demi koin hingga anak raja Arab, semua punya kesempatan yang sama di depan DOTA 2.
Bali Major, mengkhianati ini semua. Pemain DOTA dianggap tak lebih dari sapi perah, dan esports Indonesia disabotase dengan memberikan sentimen bahwa hanya orang elit yang bisa mengaksesnya.
Saya tak akan menyerukan boikot pada Bali Major. Ngapain, nggak ada untungnya juga. Tapi jika kalian sama muaknya dengan saya, cara paling mudah adalah jangan berangkat, jangan beli tiket lewat calo, dan nonton aja lewat Twitch. Jelas gratis, enak, iso karo galer.
Sebagai penutup, fuck Bali Major. Semoga orang yang memberi ide harga tiket semahal ini kalau kentut ampasnya ikut keluar.
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Review Djarum King: Rokok Ringan Teman Pekerja Kreatif